Mungkin saat kita berdiskusi dengan golongan yang mengaku sebagai salafi, salafiyun atau salafush shalih, akan menimbulkan kesan bahwa golongan ini merasa paling benar sendiri dan cenderung mencela golongan lain. Sehingga tidak ada golongan yang begitu aktif mencela golongan lain selain salafi, baik melalui buku-buku dan website mereka
Karakter-karakter salafi dapat kita simpulkan sebagai berikut:
1. Merasa dirinya paling benar dan Satu-satunya golongan yang selamat, benar dan masuk syurga
Salafi meyakini bahwa merekalah yang disebut-sebut dalam hadits Nabi sebagai golongan yang selamat dan masuk syurga, sedangkan 72 golongan lainnya kelompok sesat dan bid’ah dan akan masuk neraka. Hadits tersebut berbunyi,
Umatku akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu golongan." Ditanyakan kepada beliau: "Siapakah mereka, wahai Rasul Allah?" Beliau menjawab: "Orang-orang yang mengikutiku dan para sahabatku." [HR Abu Dawud, At-Tirmizi, Ibnu Majah, Ahmad, Ad-Darami dan Al-Hakim].
Keyakinan salafi ini diperkuat oleh kaidah yang mereka gunakan: “Kebenaran hanya satu sedangkan kesesatan jumlahnya banyak sekali”, hal ini berasal dari pemahaman salafi terhadap hadits Rasulullah Saw, Rasulullah saw bersabda: ‘Inilah jalan Allah yang lurus’ Lalu beliau membuat beberapa garis kesebelah kanan dan kiri, kemudian beliau bersabda: ‘Inilah jalan-jalan (yang begitu banyak) yang bercerai-berai, atas setiap jalan itu terdapat syaithan yang mengajak kearahnya’ Kemudian beliau membaca ayat, Dan (katakanlah): ‘Sesungguhnya inilah jalanku yang lurus maka ikutilah dia. Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa. (Qs. al-An’aam [6]: 153). [HR Ahmad, Ibnu Hibban dan Hakim]. (lihat 5, hal 47-48).
Dengan mengutip dua hadits tentang; satu golongan yang selamat dari 73 golongan dan hanya satu jalan yang lurus, maka salafi meyakini bahwa merekalah yang disebut-sebut kedua hadits tersebut. Salafi-lah satu-satunya golongan yang selamat dan masuk syurga, serta golongan yang menempuh jalan yang lurus itu. Simaklah pernyataan salafi,
“Dan orang-orang yang tetap diatas manhaj Nabi saw, mereka dinisbahkan kepada salaf as-shalih. Kepada mereka dikatakan as-salaf, as-salafiyun. Yang menisbatkan kepada mereka dinamakan salafi” (lihat 1, hal 33 catatan kaki).
“Kami diatas manhaj yang selamat, diatas akidah yang selamat. Kita mempunyai segala kebaikan –alhamdulillah-” (lihat 1, hal 76-77).
“Jadi jika benar dia diatas manhaj Rasulullah Saw dan manhaj salafu ash-shalih, maka dia dari ahlu jannah. Bila dia menjadi orang yang berbeda diatas manhaj sesat, maka dia terancam neraka” (lihat 1, hal 110).
“Saya (Abu Abdillah) berkata: Subhanallah! Bagaimana dia membolehkan dirinya menggabungkan antara manhaj salaf yang benar dengan manhaj-manhaj dan kelompok-kelompok bid’ah yang sesat dan bathil” (lihat 1, hal 32 catatan kaki).
“Jalan merekalah yang harus ditempuh oleh generasi yang datang setelahnya, memahami dengan pemahaman mereka, menerapkan dan mendakwahkannya seperti mereka. Jalan merekalah yang kemudian dikenal dengan istilah manhaj salaf, metode salaf, ajaran salaf atau pemahaman salaf dan lain-lain” (lihat 4).
Akibatnya, sulit bagi salafi untuk menerima ijtihad golongan/ulama lain yang berbeda dengan mereka, karena salafi meyakini kebenaran hanya satu dan salafi-lah pemilik kebenaran itu, karena merekalah golongan yang paling sesuai dengan as-sunnah, yang paling benar, selamat dan ahlu jannah.
Dalam hadits tersebut ada kata firqah, tapi dalam konteks ini sebagai seseorang/golongan yang dikutuk karena tindakan yang mereka lakukan telah menyimpang dari wahyu Allah. Firqah yang dihukum dan masuk kedalam api neraka, serta firqah yang selamat dan masuk syurga tidak bisa dinisbatkan kepada golongan tertentu. Oleh karena itu, mereka-mereka yang mengikuti mazhab-mazhab tertentu atau golongan lain selain salafi tidaklah bisa diberi label ‘sesat’. (lihat 2).
Kebenaran hanya milik Allah swt, bukan milik satu golongan. Bahkan para Imam Madzhab sendiri tidak pernah meng-klaim bahwa diri (madzhab) merekalah yang paling benar, simaklah pernyataan para Imam Madzhab tersebut,
Imam Abu Hanifah (Hanafi): “Jika suatu hadits shahih, itulah madzhabku”. “Tidak halal bagi seseorang mengikuti perkataan kami bila ia tidak tahu darimana kami mengambil sumbernya”
Imam Malik (Maliki): “Saya hanyalah seorang manusia, terkadang salah, terkadang benar. Oleh karena itu, telitilah pendapatku. Bila sesuai dengan al-Qur'an dan sunnah, ambillah, dan bila tidak sesuai dengan al-Quran dan sunnah, tinggalkanlah”
Imam Syafi’i: “Bila kalian menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlainan dengan hadits Rasulullah Saw, peganglah hadits Rasulullah Saw itu dan tinggalkanlah pendapatku itu”
Imam Ahmad bin Hambal (Hambali): “Janganlah engkau taqlid kepadaku atau kepada Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, tetapi ambillah dari sumber mereka mengambil” (lihat 8, hal 53-60).
Begitulah para Imam Madzhab menganjurkan untuk tidak merasa paling benar sendiri dan tidak taqlid kepada satu golongan, merekalah salafus shalih yang benar. Ketika salafi merasa paling benar sendiri, maka salafi bukanlah salafush shalih yang benar seperti yang telah dicontohkan oleh para Imam Madzhab.
Bahkan diantara Imam Madzhab terdapat perbedaan ijtihad dalam beberapa masalah furu’, mereka tidak saling membid’ahkan dan menyesatkan satu sama lain. Bahkan menganjurkan untuk menelaah dulu hujjah mereka dan jika ada hujjah yang lebih kuat (quwwatut dalil) silahkan diambil hujjah itu.
Dilain hal, jaminan Allah SWT terhadap hamba-Nya ahli syurga adalah kepada orang yang mukmin, tidak ada klasifikasi apakah mukmin salafi, mukmin ikhwani, mukmin tahriri, mukmin tablighi, dan mukmin-mukmin tertentu saja. Selama mukmin tersebut menjalankan semua perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya, maka Allah SWT menjanjikan syurga bagi mukmin tersebut,
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan syurga untuk mereka. (Qs. at-Taubah [9]: 111).
Golongan yang lain adalah sesat dan bid’ah serta lebih berbahaya daripada golongan fasik
Salafi meyakini golongan lain yang berbeda dengan mereka sebagai sesat dan ahlu bid’ah. Golongan bi’dah ini lebih berbahaya dari pada golongan fasik (pelaku maksiat), karena golongan fasik masih bisa dinasehati dan diajak kejalan yang benar karena mereka tahu telah berbuat maksiat, sedangkan ahlu bid’ah tidak tahu bahwa mereka telah sesat, sehingga sulit untuk diajak kejalan yang benar.
“Sebab pelaku maksiat masih bisa diharap untuk bertaubat, karena dia merasa berdosa dan tahu bahwa dirinya berbuat maksiat. Berbeda dengan ahli bid’ah, sedikit sekali kemungkinannya untuk bertaubat. Karena mubtadi’ (pelaku bid’ah) menyangka kalau dirinya diatas kebenaraan, dan menyangka bahwa dirinya orang yang taat serta diatas ketaatan.” (lihat 1, hal 22).
Istiqamahnya golongan yang dianggap sesat dan bid’ah oleh salafi dengan pendapat (ijtihad) mereka, adalah hal yang wajar dan dapat dipahami, karena golongan ini mempunyai hujjah yang kuat juga untuk mempertahankan ijtihad mereka. Disisi lain, perbedaan dalam masalah furu’iyah khilafiyah merupakan hal yang biasa dalam khasanah Islam dan para mujtahid (lihat penjelasan pada poin 2).
Hanya mereka yang berhak menyandang nama salafi
Salafi meyakini bahwa wajib memberikan nama golongan yang selamat itu sebagai salafi dan melarang golongan lain menggunakan nama salafi, “Jadi penisbatan kepada salaf adalah penisbatan yang harus, sehingga jelaslah bagi salafi (pengikut salaf) terhadap al-haq” (lihat 1, hal 33 catatan kaki).
“Oleh karenanya tidak boleh memakai nama salafiyah, bila tidak diatas manhaj salaf” (lihat 1, hal 34).
Sikap ini menunjukkan rasa ‘ashabiyyah yang kental, dengan menganggap golongannya yang paling benar dan Rasulullah Saw mencela sikap ‘ashabiyyah ini,
Bukan dari golongan kami orang-orang yang menyeru kepada 'ashabiyyah, orang yang berperang karena 'ashabiyyah, serta orang yang mati karena 'ashabiyyah. [HR Abu Dawud].
Bahkan Shalih bin Fauzan Al-Fauzan yang merekomendasikan kitab “Menepis penyimpangan manhaj Dakwah”, dalam kitabnya Al-Wala’ dan Al-Bara’ melarang bersikap ‘ashabiyyah,
“Inilah keadaan orang-orang yang ashabiyah pada saat ini dari sebagian pengikut-pengikut madzhab, aliran tasawuf serta penyembah-penyembah kubur. Apabila mereka diajak untuk mengikuti Al-Kitab dan as-sunnah serta membuang jauh apa-apa yang menyelisihi keduanya (Al-Kitab dan as-sunnah) mereka berhujjah (berdalih) dengan madzhab-madzhab, syaikh-syaikh, bapak-bapak dan nenek moyang mereka” (lihat 3, hal 63-64).
Bagaimana bisa timbul pertentangan, satu sisi merekomendasikan sebuah kitab yang sangat kental sikap ‘ashabiyyahnya karena merasa golongan yang paling benar dan hanya mengacu kepada ijtihad ulamanya sendiri, tetapi dalam kitab lain melarang orang-orang bersikap ‘ashabiyyah. Ini salah satu pertentangan beberapa kitab diantara ulama-ulama salafi, bahkan dalam satu kitab bisa terjadi pertentangan satu sama lain.
2. Mencela golongan/ulama lain
Tidak boleh berkasih sayang, berteman, semajelis dan shalat dibelakang golongan sesat dan bid’ah. Jangan ungkapkan kebaikannya dan selalu ungkapkan keburukan golongan sesat dan bid’ah.
Terkait dengan poin 1 diatas dimana hanya golongan salafi-lah yang paling benar, mengakibatkan salafi dengan mudah mencela golongan/ulama lain yang berbeda ijtihad dengan mereka, bahkan salafi melarang berkasih sayang dan berteman dengan mereka,
“Adapun apabila bermaksud berkasih sayang dengan mereka atau berteman dengan mereka tanpa (ada maksud) mendakwahi dan menjelaskan yang haq, maka tidak boleh. Seseorang tidak boleh bergaul dengan orang-orang yang menyimpang tersebut, kecuali didalamnya didapatkan faedah syar’i, yaitu menyeru mereka kepada Islam yang benar dan menjelaskan al-haq agar kembali kepada kebenaran” (lihat 1, hal 26).
Tidak boleh semajelis dengan mereka, “Abu Qalabah berkata: Janganlah kalian bermajelis dengan mereka dan jangan kalian bergaul dengan mereka. Sesungguhnya saya tidak merasa aman dari mereka yang akan menceburkan kalian dalam kesesatannya. Atau mengaburkan kebenaran-kebenaran yang telah kalian ketahui” (lihat 1, hal 111 catatan kaki).
Bahkan salafi tidak boleh shalat dibelakang mereka,
“Jangan shalat dibelakang mereka, seperti Jahmiyah dan Mu’tazilah” (lihat 1, hal 66 catatan kaki).
Tidak boleh mengungkapkan secuilpun kebaikan mereka karena mengakibatkan orang awam akan mengikuti mereka, harus diungkapkan keburukan-keburukannya,
“Apabila engkau menyebutkan kebaikan-kebaikannya, berarti engkau menyeru untuk mengikuti mereka. Jangan… jangan engkau sebutkan kebaikan-kebaikannya. Sebutkan saja penyimpangan-penyimpangan yang ada pada mereka. Karena engkau diserahi untuk menjelaskan kedudukan mereka dan kesalahan-kesalahan agar mereka mau bertaubat, dan agar orang lain berhati-hati terhadapnya” (lihat 1, hal 28-29).
Begitu berbahayanya golongan yang dianggap sebagai sesat dan bid’ah tersebut, sehingga “nyaris” diperlakukan seperti orang kafir, tidak boleh berteman, berkasih sayang dan semajelis dengan mereka. Karena begitulah perintah Allah swt dalam memperlakukan orang-orang kafir, mukmin tidak boleh berteman dekat dengan orang kafir,
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang diluar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. (Qs. Ali'Imraan [3]: 118).
Tidak boleh semajelis dengan mereka,
Dan sungguh Allah telah menurunkan padamu didalam Al-Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan, maka janganlah kamu duduk berserta mereka. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian) tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir didalam neraka jahanam. (Qs. an-Nisaa’ [4]: 140).
Padahal sesama mukmin itu bersaudara, apapun golongan, kebangsaan, dan sukunya, selama ia seorang muslim maka ia saudara bagi muslim yang lain. Rasulullah saw tidak pernah membedakan antara Abu Bakar dan Umar yang Arab, Bilal yang Habsyi (negro), Salman yang Persi dan Shuhail yang Rumawi, semuanya sama dihadapan Rasulullah Saw selama mereka beriman kepada Allah dan rasul-Nya.
Sesungguhnya kaum mukmin itu bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat. (Qs. al-Hujuraat [49]: 10).
Sesama mukmin tidak boleh saling mencela, mendzalimi dan merendahkan, serta harus berda’wah dengan lemah lembut,
Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya; satu sama lain tidak boleh saling mendzalimi, menelantarkan dan merendahkan. [HR Muslim dan Ahmad].
Maka disebabkan rahmat Allah, kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka. (Qs. Ali-'Imraan [3]: 159)
Golongan sesat dan bid’ah harus dihambat gerakannya dan kalau perlu dimusnahkan
Salafi meyakini golongan sesat dan menyesatkan ini (termasuk partai politik dan salafi memberikan istilah hizbiyyah atau haraqah, metode da’wah hizbiyyah ini beraneka ragam, ruwet, lagi kacau lihat 6, hal 39) harus dihambat gerakannya dan kalau perlu dimusnahkan karena sangat berbahaya bagi masyarakat, karena golongan ini akan meracuni masyarakat dan menyebar perpecahan umat.
“Da’i salafiyun tidak boleh memberi kelapangan bagi tersebarnya manhaj-manhaj mereka. Bahkan wajib mempersempit ruang gerak dan memusnahkan manhaj mereka” (lihat 1, hal 69 catatan kaki).
Sehingga kaum muslimin harus menyatu dalam satu golongan saja, yakni salafi. Tidak boleh ada golongan-golongan lain yang eksis, adanya jamaah-jamaah, kelompok-kelompok atau golongan-golongan menunjukkan adanya perpecahan umat Islam. (lihat 6, hal 39).
Hampir semua golongan dianggap sesat dan menyesatkan oleh salafi, mereka pukul rata antara golongan yang sesat dengan golongan yang benar. Hanya gara-gara beberapa perbedaan ijitihad dalam masalah furu’, dengan mudah salafi menyesatkan golongan tersebut.
Salafi menyesatkan golongan syi’ah (rafidhah) dan Ahmadiyah, salafi juga menyesatkan pula golongan lain yang berbeda ijtihad dalam beberapa hal dengan mereka semisal Ikhwanul Muslimin, Jamaah Tabligh, Hizbut Tahrir, NII, Tasawuf, dan lain-lain. (lihat 5, hal 95-145).
“Saya (Abu Abdillah) berkata: Ya Allah ya Rab kami saksikanlah bahwa kami bara’ (berlepas diri) dari dakwah IM dan pendirinya, yang menyelisihi al-kitab dan as-sunnah dan apa-apa yang ada pada pendahulu umat ini” (lihat 1, hal 26 catatan kaki).
Ulama yang berbeda ijtihad dengan salafi dianggap sesat dan ahlu bid’ah, diharamkan membaca kitab-kitab mereka
Ulama-ulama besar dan berjasa bagi kebangkitan kaum muslimin tidak luput dari celaan salafi, menganggap mereka ahlu bid’ah, dilarang memuji, mengagungkan mereka, mengharamkan untuk membaca kitab-kitab mereka dan mendengarkan kaset-kaset mereka. Hal ini terjadi karena perbedaan ijtihad dalam beberapa hal saja. Ulama yang mereka anggap sesat dan ahlu bid’ah antara lain; Hasan Al-Banna, Sayyid Qutb, Muhammad Qutb, Abul A’la Al-Maududi, Taqiyuddin An-Nabhani, Muhammad Al-Ghazali, Muhammad Surur, Hasan Turabi, Yusuf Qaradhawi, dan lain-lain.
Bahkan ada orang yang memuji-muji: “Abul A’la Al-Maududi dan kitab-kitabnya, Muhammad Surur bin Nayif Zainal Abidin, Hasan Al-Banna, Sayyid Qutb, Hasan Turabi dan yang semisal mereka dari kalangan ahlu bid’ah” (lihat 1, 129 catatan kaki).
“Tidak boleh membaca kitab-kitab ahlu bid’ah maupun mendengarkan kaset-kaset mereka. Kecuali orang yang ingin membantah dan menjelaskan kerusakan mereka” (lihat 1, hal 111).
“Hingga siapa saja yang memuji, memuliakan, mengagungkan kitab-kitab mereka, atau memberi udzur (maaf) untuk mereka, maka samakan dia dengan mereka (ahlul bid’ah dan ahlu ahwa’), dan tidak ada kemuliaan bagi mereka semua” (lihat 1, hal 133 catatan kaki).
“Hati-hati engkau terhadap kitab-kitab ini. Ini adalah kitab-kitab bid’ah dan sesat, berpeganglah kalian kepada atsar” (lihat 1, hal 112 catatan kaki).
Sungguh sikap tercela dengan menganggap golongan/ulama itu sesat, hanya karena dalam beberapa hal ijtihad mereka berseberangan dengan salafi. Dalam masalah-masalah furu’iyah khilafiyah bisa saja perbedaan ijtihad, para sahabat seringkali berbeda pendapat dalam banyak hal, yang terkait kepada masalah-masalah furu’. Mujtahid-mujtahid besar dalam Islam-pun mempunyai perbedaan pendapat diberbagai aspek agama Islam, tetapi sekali lagi masalah yang menjadi dasar perbedaan tersebut adalah dalam furu’. Tetapi mereka tidak saling menyesatkan dan membid’ahkan. (lihat 2)
Kasus yang sangat populer dizaman Rasulullah Saw dimana diyakini sebagai landasan dibolehkannya perbedaan (ikhtilaf) dalam masalah furu’, adalah saat perang Khandaq. Dimana para sahabat memahami berbeda perintah Rasulullah Saw,
Janganlah salah seorang dari kalian melaksanakan shalat ashar kecuali di(daerah) Bani Quraizhah.
Para sahabat ada yang shalat ashar dalam perjalanan, ada juga yang mengakhirkan shalat ‘ashar hingga sampai di Bani Quraizhah, maka Rasulullah Saw-pun mendiamkan (taqrir) kedua kelompok sahabat yang berbeda itu (lihat 7, hal 14). Hal ini diyakini bahwa dibolehkan terjadinya ikhtilaf dalam masalah furu’ dan membantah dengan tegas pernyataan salafi bahwa “Kebenaran hanya satu”, karena dalam kasus melaksanakan shalat ‘ashar yang berbeda diantara dua kelompok sahabat ini didiamkan (taqrir) oleh Rasulullah saw atau kedua kelompok sahabat itu benar dan tidak ada yang salah.
Khatimah:
1. Salafi merasa dirinya yang paling benar, karena mereka meyakini kebenaran hanya satu, indikasi yang terdapat dalam hadits hanya satu golongan yang masuk syurga dari 73 golongan adalah golongan salafi, serta salafi menganggap sesat dan bid’ah golongan yang berseberangan ijtihad dengan mereka. Sehingga sulit bagi salafi untuk menerima ijtihad yang berbeda dengan mereka dan sangat taqlid dengan ijtihad ulama-ulama mereka.
2. Salafi cenderung mencela golongan lain, karena salafi diperintahkan untuk mengungkapkan semua keburukan golongan sesat dan bid’ah itu dan dilarang mengungkapkan secuil-pun kebaikan mereka. Karena mengungkapkan kebaikan mereka akan menyebabkan orang lain mengikuti golongan sesat dan bid’ah itu. Sehingga tidak heran jika buku-buku dan website-website salafi banyak memuat celaan sesat dan bid’ah kepada golongan lain.
3. Salafi juga melarang untuk berkasih sayang, berteman dengan golongan selain mereka, bahkan tidak boleh shalat dibelakang mereka, salafi menyesatkan ulama yang mereka anggap ahlu bid’ah, melarang memuji, mengagungkan, membaca kitab dan mendengarkan kaset ulama-ulama tersebut. Sehingga salafi akan mengalami kesulitan dalam menjalin ukhuwah dengan golongan lain, malah akan menimbulkan pertentangan dan perpecahan dengan golongan lain.
4. Salafi akan menghambat gerak da’wah golongan yang dianggap sesat dan bid’ah oleh mereka, bahkan harus memusnahkan mereka (golongan da’wah dan partai politik), karena golongan itu akan meracuni umat dan menimbulkan perpecahan. Sehingga akan timbul benturan dimedan da’wah antara salafi dengan golongan lain, karena golongan lain merasa dihalang-halangi saat berda’wah diarea-area yang dikuasai oleh salafi.
Diharapkan setelah memahami karakter salafi ini, kita mampu mengantisipasi menghadapi golongan seperti ini. Tetapi jangan kaget, jika penjelasan dari kitab-kitab salafi diatas, akan ditemukan pertentangan dalam kitab-kitab salafi yang lain. Karena diantara ulama salafi sendiri bisa terjadi saling pertentangan, seperti halnya terpecahnya salafi dalam beberapa golongan. Wallahua’lam,,,,,
Fauzi Alhamkee Zein
2 komentar:
Ass. Salam kenal aja!
Setelah saya membaca artikel di atas, puaslah hati dan pikirannya menjadi tenang, karena Allah telah memberikan petunjuk tentang salafi itu sebenarnya yang akhir2 ini selalu menghujat orang2 sufi dan ajaran tasawwuf, saya sebenarnya tidak suka mereka, tp mrk adalah saudara kita, semoga Allah, memberi petunjuk untuk mereka dan kita semua. Amin
salam ukhuwah islamiyah....!!!
Posting Komentar