Tidak Mau Dipusingkan Masalah Furu’iyah
“Dalam situasi sekarang ini, ketika gempuran dan serangan dari musuh-musuh Islam makin besar, tidak ada jalan lain, umat Islam harus bersatu. Pegang teguh ukhuwah Islamiah,” ujar adik kandung Hj. Tuti Alawiyah ini, penuh harap.
Minggu, 4 September 2005, atau 1 Syakban 1426 Hijriah, puluhan ribu umat Islam dari berbagai daerah memadati sebuah pondok pesantren di kawasan Pulo Air, Sukabumi. Dengan khusyuk, hadirin melantunkan surah Ya-Sin, tahlil, dan doa, dipimpin oleh seorang pria paruh baya. Seminggu sebelumnya, 28 Agustus 2005, bertempat di Masjid Al-Barkah, Jakarta Selatan, ratusan jemaah juga berkumpul untuk tujuan dan acara yang sama.
Dua acara tersebut diadakan untuk memperingati haul ulama besar dan mubalig Betawi yang kondang pada periode tahun ’60 hingga ‘80-an, K.H. Abdullah Syafi’ie. Sang mualim wafat pada tangal 3 September 1985, setelah mendirikan 33 lembaga pendidikan, 19 lembaga dakwah, dan 11 lembaga sosial. Perguruan Asyafi’iyah sendiri ketika itu memiliki lebih dari 700 santriwan dan santriwati.
Pembacaan surah Ya-Sin dan tahlil dalam acara haul tersebut dipimpin oleh putra kedua bersaudara sang mualim, yang kini meneruskan jejak langkahnya mengajar dan berdakwah, K.H. Abdul Rasyid Abdullah Syafi’ie. Selesai memimpin majelis taklim yang berlangsung selama dua jam, dengan beberapa penceramah, K.H. Abdul Rasyid A.S. kemudian membagi-bagikan sedekah kepada lebih dari 100 anak dan orang tua dari daerah sekitarnya.
Setengah jam sebelum acara berakhir, anak-anak dan beberapa orang tua telah mengantre dengan tertib di depan halaman Masjid Al-Barakah. Sambil membacakan selawat, masing-masing anak mendapat uang Rp 1.000 dan orang tua Rp 2.000. Kegiatan di dua majelis taklim itu, sebagaimana juga kegiatan majelis taklim khusus untuk kaum ibu tiap Kamis pagi, disiarkan oleh Radio Asyafi’iyah dan Radio Alaikas Salam, Jakarta, dan Radio Pulo Air di Sukabumi, tiga stasiun radio milik yayasan Asyafi’iyah.
Sementara di kediamannya, yang jaraknya sekitar 50 meter dari masjid, telah menunggu beberapa orang, sejumlah kaum duafa yang kemudian diberi uang oleh Pak Kiai, beberapa orang yang bermaksud minta didoakan, termasuk seorang tua yang tengah menderita stroke, dan sejumlah kiai yang datang dari berbagai tempat di ibu kota, menyampaikan undangan kepadanya untuk memberikan siraman rohani.
Seperti juga ayahnya, K.H. Abdul Rasyid tampaknya sibuk dalam kegiatan dakwah. ”Saya hari Jumat (26/8-20005) jadi khatib di Masjid Al-Riyad Kwitang, yang dibangun oleh Habib Ali Kwitang,” kata ayah tujuh anak dari buah perkawinannya dengan Hj. Azizah binti Aziz ini dengan bersemangat.
Di hari yang sama, di lantai dua kediamannya, berkumpul 56 orang calon jemaah haji ONH Biasa yang akan diberangkatkan pada musim haji mendatang. Mereka adalah anggota rombongan jemaah Ar-Rasyidiah, yang akan dipimpin sendiri oleh K.H. Abdul Rasyid dan istrinya. Ar-Rasyidiah adalah kelompok jemah haji plus yang bernaung di bawah biro perjalanan hajinya yang telah berdiri sejak tahun 1989. “Lebih dari 2.000 jemaah yang telah berangkat haji melalui Ar-Rasyidiah,” kata kiai kelahiran Jakarta, 30 November 1942, ini.
Semula Restoran
Tak pernah terbayangkan di benak K.H. Abdul Rasyid Abdullah Syafi’ie untuk membangun Pesantren Al-Quran di daerah Sukabumi. Ini bermula dari ajakan H. Soekarno (alm.), koleganya yang mempunyai rumah makan Sunda di Sukabumi, untuk mengunjungi salah satu tempat usahanya di kota tersebut sekitar tahun 1987.
“H. Soekarno mengajak saya untuk pergi ke Sukabumi, mampir di tempat usahanya, yakni Restoran Nikmat. Letak persisnya di Jalan Raya Cianjur-Sukabumi Kilometer 10, atau lebih tepatnya Kampung Pulo Air, Sukabumi,” kenang K.H. Abdul Rasyid Syafi’ie mengawali cerita tentang awal mula berdirinya pondok pesantren yang kini ia kelola.
Setelah menikmati pemandangan yang indah dan menu restoran yang nikmat, keduanya mengelilingi area kolam ikan dan restoran yang luasnya kira-kira tiga hektare. H. Soekarno menunjukkan batas-batas tanah yang dimilikinya itu.
“Di sebuah balai-balai, ia mengajak berbincang sebentar. Kemudian ia menyerahkan seluruh bangunan beserta asetnya. Beliau bilang, ‘Tempat ini saya serahkan pada Saudara, buatlah pesantren yang baik’,” kata K.H. Abdul Rasyid menirukan H. Soekarno, kala itu. “Dengan niat bismillahirahmanirrahim, seraya menyerahkan diri pada Allah SWT, saya menerima tawaran H. Soekarno.”
Ketika itu H. Soekarno yang baru saja menjalani operasi jantung di Australia pun menangis. “Ia terharu setelah mewakafkan tanahnya tersebut. Saat itu usianya sudah lanjut, 70-an,” kata K.H. Abdul Rasyid. Memang tak berapa lama setelah peristiwa bersejarah itu, pengusaha restoran yang berasal dari Ciamis dan banyak tinggal di Sukabumi itu pun wafat.
K.H. Abdul Rasyid Abdullah Syafi’ie, yang telah menerima amanah dari H. Soekarno, pun dengan bersunguh-sungguh mengemban amanah yang telah diterimanya itu. “Saya mondar-mandir Jakarta-Sukabumi selama satu tahun untuk mewujudkan pondok pesantren,” tutur K.H. Abdul Rasyid.
Perlahan, dengan niat mensyiarkan Islam agar lebih luas dan maju, Kiai Abdul Rasyid pun kemudian menyulap Restoran Nikmat itu menjadi bangunan Pondok Pesantren Al-Quran. Dalam waktu setahun, 1989-1990, sembilan lokal bangunan pesantren pun berhasil dibangun, dan dinamakan Pesantren Al-Quran K.H. Abdullah Syafi’ie. ”Semula pesantren ini diniatkan untuk anak-anak SD, yang pada awalnya masih berjumlah sekitar 17 anak,” ujarnya.
Lambat laun, minat masyarakat untuk menitipkan anaknya ke Pesantren Al-Quran pun semakin besar. Mereka berbondong-bondong menitipkan anaknya ke pondok pesantren tersebut. Hingga kini pesantren yang tanahnya telah berkembang menjadi sekitar 28 hektare ini telah menampung hampir sekitar 500 santri. Terakhir, Pesantren Al-Quran K.H. Abdullah Syafi’ie telah meluluskan 15 santri yang hafal Quran. Selain mendapat gemblengan pelajaran agama, para santri juga mendapat materi umum melalui program pendidikan TK sampai SMA.
Sejak kecil hingga dewasa, K.H. Abdur Rasyid banyak belajar agama di pendidikan tinggi Islam As-Syafi’iyah milik sang ayahanda. Praktis, ia banyak dididik langsung oleh sang ayahanda, yang kemudian meninggalkan kesan yang sangat mendalam.
“Keikhlasannya dan semangatnya tinggi di dalam menegakkan kalimat Allah dan menyampaikan ilmu sebagai amanah dari Allah SWT. Almarhum juga sangat bersemangat mencanangkan umat untuk lebih mencintai Al-Quran sebagai mukjizat terbesar dari nabi kita Muhammad SAW,” komentar K.H. Abdul Rasyid Abdullah Syafi’ie mengenai sosok sang ayah.
Selain berkiprah di Pondok Al-Quran Sukabumi, ia juga masih sempat mengelola Majelis Taklim Al-Barakah yang ada di Jln. Al-Barkah, Tebet, Jakarta Selatan.
Kitab Kuning
Pengajian di As-Syafi’iyah banyak menggunakan kitab kuning, termasuk kitab karangan Habib Abdullah Al-Haddad, yang banyak digunakan di kalangan habaib. Demikian juga pengajiannya selalu diisi dengan Maulid Barjanji. Tapi ini tidak menyebabkan dia menjauhkan diri dari kelompok lain. Dia sekarang menjadi ketua umum KISDI (Komite Internasional untuk Solidaritas Dunia Islam), yang anggotanya sejumlah organisasi Islam di Indonesia. Bahkan dia juga telah diangkat sebagai pembina Dewan Dakwah Islam Indonesia, yang didirikan oleh almarhum H. Mohamad Natsir tahun 1970-an.
“Saya ini meneruskan kiprah almarhum ayah. Ayah saya berteman baik dengan tokoh-tokoh Masyumi, seperti Mohamad Natsir, Mohamad Roem, Prawoto, dan Syafrudin Prawiranegara,” kata K.H. Abdul Rasyid, yang, meniru jejak ayahnya, tidak mau dipusingkan dengan masalah furu’iyah, perbedaan pendapat dalam masalah fikih. “Dalam situasi sekarang ini, ketika gempuran dan serangan dari musuh-musuh Islam makin besar, tidak ada jalan lain, umat Islam harus bersatu. Pegang teguh ukhuwah Islamiah,” ujar adik kandung Hj. Tuti Alawiyah ini, penuh harap.
Di samping bersatu, dia juga mengingatkan agar umat Islam tidak melupakan kewajiban untuk menuntut ilmu, seperti yang banyak dianjurkan Al-Quran dan hadis Nabi SAW. Tanpa itu, jangan mimpi umat Islam akan bangkit.
Ditanya tentang kesan-kesannya terhadap generasi muda Islam, dia menyatakan, di satu pihak para pemuda-pemudinya bangkit, tapi di pihak lain kita prihatin, karena banyak di antara mereka yang terbius oleh arus kebudayaan asing, Barat. Hal ini bertambah gawat, karena pornografi, pornoaksi, mistik, dan takhayul ditayangkan secara luas oleh media.
Dari tujuh anaknya, enam orang sudah menikah. Dalam regenerasi di As-Syafi’iyah, “Saya libatkan mereka, baik di pengajian majelis taklim, pesantren di Pulo Air, maupun di tiga siaran radio yang dikelola Asyafi’iyah.”
Tapi keinginannya untuk meningkatan dakwah dan kesejahteraan umat tidak berhenti. Di Pulo Air Sukabumi, katanya, ada tanah 28 hektare yang akan dibangun Universitas K.H. Abdullah Syafi’ie. Dan masih ada cita-cita luhur lainnya, ingin mendirikan rumah sakit Islam di Sukabumi. “Doakan, insya Allah cita-cita ini akan direstui Allah SWT.”
Alwi Shihab, AST/Ft. Ao
Tidak ada komentar:
Posting Komentar