Rabu, 15 April 2009

KH. Maimoen Zubair


Ulama Sepuh, Politisi Ampuh

Ulama sepuh ini sangat teguh dalam berpendirian, tapi di sisi lain ia juga sangat menghargai perbedaan.

Di kalangan para ulama Nahdlatul Ulama, bahtsul masail diniyyah (pembahasan masalah-masalah keagamaan) merupakan forum untuk berdiskusi, bermusyawarah, dan memutuskan berbagai masalah keagamaan mutakhir dengan merujuk berbagai dalil yang tercantum dalam kitab-kitab klasik.
Dalam forum seperti itu, Pondok Pesantren Al-Anwar (di Desa Karangmangu, Sarang, Rembang, Jawa Tengah) sangat disegani. Bukan saja karena ketangguhan para santrinya dalam penguasaan hukum Islam, tapi juga karena sosok kiai pengasuhnya yang termasyhur sebagai faqih jempolan. Kiai yang dimaksud adalah K.H. Maimoen Zoebair.
Meski sudah sangat sepuh, 78 tahun, alumnus Ma’had Syaikh Yasin Al-Fadani di Makkah itu masih aktif menebar ilmu dan nasihat kepada umat. Di sela-sela kegiatan mengajarkan kitab Ihya Ulumiddin dan kitab-kitab tasawuf lainnya kepada pada santri senior setiap ba’da subuh dan ashar, Mbah Maimoen, demikian ia biasa dipanggil, masih menyempatkan diri menghadiri undangan ceramah dari kampung ke kampung, dari masjid ke masjid, dari pesantren ke pesantren.
Dalam berbagai ceramahnya, kearifan Mbah Maimoen selalu tampak. Di sela-sela tausiyahnya tentang ibadah dan muamalah, ia tidak pernah lupa menyuntikkan optimisme kepada umat yang tengah dihantam musibah bertubi-tubi.
Ia memang ulama yang sangat disegani di kalangan NU, kalangan pesantren, dan terutama sekali kalangan kaum muslimin di pesisir utara Jawa. Ceramahnya sarat dengan tinjauan sejarah, dan kaya dengan nuansa fiqih, sehingga membuat betah jamaah pengajian untuk berlama-lama menyimaknya.
Kiai sepuh beranak 15 (tujuh putra, delapan putri) ini memang unik. Tidak seperti kebanyakan kiai, ia juga sering diminta memberi ceramah dan fatwa untuk urusan nonpesantren. Rumahnya di tepi jalur Pantura tak pernah sepi dari tokoh-tokoh nasional, terutama dari kalangan NU dan PPP, yang sowan minta fatwa politik, nasihat, atau sekadar silaturahmi. Ia memang salah seorang sesepuh warga nahdliyin yang bernaung di bawah partai berlambang Ka’bah itu.
Belum lagi ribuan mantan santrinya yang secara rutin sowan untuk berbagi cerita mengenai kiprah dakwah masing-masing di kampung halaman. Beberapa di antara mereka berhasil menjadi tokoh di daerah masing-masing, seperti K.H. Habib Abdullah Zaki bin Syaikh Al-Kaff (Bandung), K.H. Abdul Adzim (Sidogiri, Pasuruan), K.H. Hafidz (Mojokerto), K.H. Hamzah Ibrahim, K.H. Khayatul Makki (Mantrianom, Banjarnegara), K.H. Dr. Zuhrul Anam (Leler, Banyumas), dan masih banyak lagi.

Kiai Gaul
K.H. Maimoen adalah putra K.H. Zoebair, ulama besar di kawasan Pantura Jawa Tengah dan bagian barat Jawa Timur. Lahir di Dusun Karangmangu, Sarang, pada bulan Oktober 1928, ia anak pertama sulung dari 14 bersaudara. Meski keturunan ulama besar, Maimoen tidak dibesarkan di menara gading yang terpisah dari lingkungannya. Orangtuanya justru mendidiknya agar membaur ke dalam masyarakat.
Dari pergaulan dengan teman-teman sepermainan yang rata-rata santri kampung itulah, ia belajar sebagai kiai yang bergaul luas dan demokratis. “Para santri kan sangat heterogen. Kelebihan seseorang diukur berdasarkan penguasaan ilmu yang pasti tidak berkaitan dengan ras, suku, pangkat, atau nasab. Semua sama. Siapa yang tekun, pasti akan mendapat ilmu. Man jadda wajada (siapa yang bersungguh-sungguh akan mendapatkan),” katanya.
Sejak kecil, setiap hari, usai belajar di madrasah ibtidaiyah di kompleks pesantren, ia diwajibkan mengaji kepada ayahanda di masjid. Jangan heran jika, di usianya yang relatif masih muda, Maimoen telah mewarisi pengetahuan agama ayahandanya. Santri yang pernah belajar kepada ayahandanya dan kini menjadi tokoh nasional, antara lain, K.H. Sahal Mahfudz, K.H. Hasyim Muzadi.
Selain mengajarkan ilmu agama, Kiai Zoebair juga membekali putranya itu dengan pengetahuan umum, seperti ilmu-ilmu sosial, politik, dan ekonomi – sesuatu yang tak lazim di kalangan pesantren yang saat itu tengah gencar-gencarnya melakukan gerakan non-kooperatif terhadap penjajah Belanda.
Sejak berusia tujuh tahun, Maimoen sudah diperkenalkan dengan dunia buku oleh orangtuanya, terutama buku-buku terbitan Balai Pustaka, Jakarta. Sejak itulah ia mencintai dan menghargai ilmu pengetahuan, tanpa membedakan pengetahuan agama atau pengetahuan umum.
Usai menamatkan madrasah (1943), ia melanjutkan pengajiannya ke Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri (1944-1948). Di sana ia sangat terkesan pada metode mengajar salah seorang gurunya, K.H. Abdul Karim. “Beliau sangat tekun dalam mengajar. Sampai sekarang metode mengajar beliau saya tiru dalam mengajarkan kitab kuning kepada para santri,” katanya. Selepas mengaji di Lirboyo, dua tahun berikutnya ia kembali mengaji di rumah.
Pada 1950 ia menunaikan ibadah haji ke Makkah, sekaligus menimba ilmu agama kepada para Haramain, seperti Sayid Alwi Al-Maliki Al-Hasani, Syaikh Amin Kutbi, Sayid Hasan Masdah, dan Syaikh Yasin Al-Fadani. Pada akhir 1952 ia pulang ke kampung halamannya, lalu mengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang, Jawa Tengah, hingga kini.
Selain mengajar dan berdakwah, ia masih sempat menulis kitab taqrirat (penetapan hukum suatu masalah) dan syarah (komentar atas kitab salaf). Kitab yang dibuatkan taqrirat olehnya, antara lain, Jawharut Tauhid, Ba’dul ‘Amali, Alfiyah. Sedangkan kitab yang dibuatkan syarah, Syarah ‘Imriti. Semuanya dicetak dalam jumlah terbatas untuk kalangan Pesantren Al-Anwar.
Sebagaimana kebanyakan para kiai Jawa Timur, Mbah Maimoen juga aktif di Nahdlatul Ulama. Berbagai jabatan pernah diembannya, mulai dari ketua ranting NU Desa Karangmangu (1950), sampai anggota Syuriah PBNU pada periode kepemimpinan K.H. Ahmad Siddiq Jember (1984-1989).

Rahim Keragaman
Bukan hanya sebagai kiai, ia juga dikenal sebagai politisi yang teguh dengan pendiriannya. Ketika banyak ulama NU hijrah ke Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), ia tetap berjuang di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bersama beberapa ulama NU yang lain, seperti (alm.) K.H. Syafi’i Hadzami (Jakarta), K.H. Alawy Muhammad At-Taroqy (Sampang, Madura), K.H. Muhammad Hasan Syaiful Islam (Genggong, Probolinggo), K.H. Fawa’id As’ad Syamsul Arifin (Asembagus, Situbondo), dan K.H. Thoyfoer M.C. (Rembang).
Menurut kiai sepuh ini, perbedaan pendapat dalam tubuh NU adalah hal yang biasa, bahkan sudah merupakan ciri khas. “Yang terpenting, bagaimana kita menyikapinya secara arif, dan menyadari bahwa beda pendapat adalah sunatullah. Dalam berpolitik, NU telah memilih Khittah 1926, tapi tidak bisa melarang warganya untuk berpolitik. NU tidak ke mana-mana, tapi ada di mana-mana,” katanya.
Ia lalu memberi contoh: K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Faqih Mas Kumambang adalah dua kiai yang bisa bersatu dalam perbedaan. Ketika Kiai Hasjim, yang saat itu menjabat rais am PBNU, menganjurkan memukul kentongan setiap kali datang waktu shalat, K.H. Faqih Mas Kumambang, yang saat itu wakil rais am PBNU, berpendapat sebaliknya. “Namun, perbedaan itu tidak membuat hubungan mereka menjadi renggang,” tambahnya.
Di lingkungan PPP, Kiai Maimoen juga pernah mengemban berbagai jabatan, mulai dari tingkat ranting hingga tingkat pusat. Jabatan yang hingga kini masih diembannya ialah ketua Majelis Pertimbangan Partai PPP (MPP PPP), yang bertugas memberikan fatwa kepada Pengurus Harian Pusat PPP (PHP PPP), yang kini masih dipimpin oleh H. Hamzah Haz. Salah satu fatwa yang terkenal ialah agar Hamzah Haz tampil sebagai wakil presiden periode 2001-2004 lalu.
“Kekuasaan tidak bisa baik jika ulama tidak terlibat dalam mewujudkan situasi kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat yang kondusif. Kekuasaan tidak bisa baik tanpa ikut sertanya ulama, yang membantu pelaksanaan terwujudnya negara aman dan tenang. Demikian pula sebaliknya,” kata Mbah Maimoen.
Ia meyakini, krisis multidimensi yang kini berkepanjangan di Indonesia bisa diakhiri jika kehidupan beragama dikembangkan terus-menerus, terutama oleh kalangan pesantren. “Pondok pesantren adalah kelompok pendidikan yang meluluskan para santri untuk hidup mandiri, tidak menjadi beban penguasa. Mereka memiliki tanggung jawab untuk melakukan pembinaan umat agar hidup berlandaskan ketaqwaan. Ketaqwaan merupakan sarana untuk mengatasi berbagai kesulitan hidup,” tambahnya.
Menurutnya, tantangan terbesar dalam berdakwah saat ini ialah mengembalikan umat kepada agama, tanpa membedakan-bedakan golongan atau partai. Dengan nada suara yang sejuk, ia menyampaikan nasihat, “Mayoritas bangsa kita beragama Islam, dan tidak bisa ditekan atau digiring dalam satu partai. Partai boleh berbeda, tapi harus saling menghargai. Dari rahim keragaman inilah akan lahir kekuatan besar untuk mengatasi persoalan bangsa sekarang ini.”

Tidak ada komentar:

"MAJELIS RASULULLAH SAW"

"MAJELIS RASULULLAH SAW"









"PERADABAN BARU ISLAM (FITRAH MANUSIA)"

Seaching Blog