Ratusan bait syair tentang sejarah kehidupan Rasulullah itu ia hafal di luar kepala.
Dari sebuah toko kaset di Jalan Kartini, salah satu sudut kota Bekasi, terdengar lantunan Maulid yang mendayu berlanggam hadhrami, berirama khas Hadramaut. Syair tersebut, meski sangat populer, tak cukup akrab di telinga muhibin, yang lebih sering mendengar maulid Simthud Durar, yaitu Maulid Diba’. Sang pelantun seorang habib bersuara emas asal Bekasi yang sering kali melantunkannya tanpa sedikit pun membaca. Ratusan bait syair tentang sejarah kehidupan Rasulullah itu ia hafal di luar kepala. Tak tanggung-tanggung, empat buah album kaset maulid, ratib, dan selawat telah diluncurkannya sejak tahun 1993 lalu.
Figur kita, yang kerap tampak di perhelatan spiritual para habib, kali ini adalah Habib Ali bin Soleh Alatas, ulama yang kental berdialek Betawi, pengasuh Majelis Taklim Ar-Ridwan, Bekasi Kidul. Ihwal kepiawaian Habib Ali membaca maulid karya Syekh Abdurrahman Ad-Diba’i ini berasal dari sang kakek, Habib Muhammad bin Muhsin Alatas, generasi pertama habaib yang menjejakkan kaki di Bekasi, dan ayahnya, Habib Soleh bin Abdullah Alatas.
Sang ayah, Habib Soleh Alatas, adalah kemenakan sekaligus menantu Habib Muhammad bin Muhsin Alatas. Sebelum menetap di Bekasi, ia pernah merantau ke Jambi, dan sempat menikah dengan seorang gadis yang memberinya lima orang anak. Beberapa tahun kemudian, Habib Soleh kemudian menetap di Bekasi dan mendirikan majelis taklim Ar-Ridwan, yang diasuhnya hingga wafat pada malam Kamis, 10 Muharam, atau 23 Januari tahun 1975.
Di Bekasi, Habib Soleh menikah dengan putri pamannya, Habib Muhammad bin Muhsin Alatas, Syarifah Nur, yang kemudian memberinya tujuh orang putra-putri. Habib Ali sendiri lahir pada tahun 1950, putra sulung pasangan tersebut.
Dari sang mertua pula Habib Soleh pertama kali belajar melantunkan bait-bait maulid Ad-Diba’i, yang kemudian diturunkan kepada semua putra-putrinya. Meski kemudian hanya Habib Ali yang mewarisi kepiawaian sang ayahanda, menghafal dan melantunkan maulid Diba’.
Ketika Habib Soleh wafat pada 10 Muharam atau 23 Januari 1975, Habib Ali pun mulai sering diminta membaca maulid Diba’ di berbagai tempat. Ia juga melanjutkan kebiasaan sang Ayah, membaca maulid tersebut setiap malam Jumat di musala sebelah rumahnya. Dari seringnya membaca, Habib Ali pun akhirnya hafal di luar kepala.
Berbincang dengan ulama yang satu ini memang terasa segar. Derai tawa renyah sering mengiringi ungkapan-ungkapannya yang penuh hikmah. Di beranda rumahnya di Jalan Kartini/Mayor Oking, Bekasi Kidul, Habib Ali bertutur tentang perjalanan hidupnya.
Habib Ali bin Soleh Alatas mulai belajar agama kepada sang ayah, yang menurutnya sangat keras dalam mendidik. Selain itu, di waktu kecil, ia juga mengaji fikih kepada mualim Mu’thi dan belajar membaca Al-Quran kepada Ustaz Muhammad Ali, guru ngaji setempat. Ketika beranjak dewasa, secara intensif Habib Ali mengikuti pengajian Habib Abdurrahman Asegaf, Bukitduri.
Ayahnya, Habib Soleh, sangat menekankan pendidikan keluarga pada bidang akhlak dan moralitas. Menurut Habib Ali, abanya sering sekali mengatakan, “Orang berilmu belum tentu berakhlak, tetapi orang yang berakhlak sudah tentu berilmu. Biar ilmunya banyak kalau akhlaknya rendah, rendah derajatnya. Dan sebaliknya, biarpun sedikit ilmunya tetapi tinggi akhlaknya, tinggi pula derajatnya.”
Habib Ali kemudian mengutip perumpamaan orang yang berilmu tetapi tidak berakhlak, yang sering diucapkan sang aba waktu mengajarnya, “Kalau ente berjalan di tempat terbuka waktu hujan sambil membawa payung, kehujanan nggak? Ya tetep kehujanan, kecuali kalau payungnya dibuka dan dipakai.”
Akhlak, tandas Habib Ali, adalah wujud pengamalan ilmu, dan saat ini banyak orang yang ke mana-mana membawa ilmu tetapi tidak pernah memakainya. “Bukankah Rasulullah sendiri diutus untuk menyempurnakan akhlak umatnya?” ungkap Habib Ali. Orang yang belajar tetapi tanpa akhlak dan ihtiram, penghormatan terhadap ilmu, tidak akan mendapat berkah.
Dari perkawinannya dengan Syarifah Lu’lu binti Abdullah Alatas, Habib Ali dikaruniai tujuh orang anak. Beberapa tahun lalu hatinya sempat gundah, saat putra sulungnya, penghafal Diba’ yang diharapkan akan meneruskan jejaknya, meninggal. Ia baru lega, ketika mengetahui bahwa Abdullah, anak keempatnya yang baru pulang dari Hadramaut, ternyata juga sudah menguasai maulid Diba’ dan siap meneruskan jejaknya.
Dalam mendidik putra-putrinya, Habib Ali memang cukup demokrat. Ia tidak pernah memaksa anaknya untuk menjadi ini-itu. “Biar anak yang memilih jalannya sendiri, orangtua tinggal mendukung. Yang penting mereka tetap berada di jalan Allah,” tuturnya. Seyogianya orangtua, tambah Habib Ali, tidak mendidik anak agar takut kepada mereka, melainkan agar secara sadar dan ikhlas menghormati.
Mulai Rekaman
Tahun 1990, Habib Ali bin Soleh Alatas diminta oleh Radio Asyafi’iyyah, Jatiwaringin, untuk membacakan maulid Diba’ dan disyiarkan secara luas. Langgam, irama maulidnya, yang khas, segera menarik perhatian para pendengar. Sejak itu pula undangan membaca maulid Diba’ semakin membanjir. Bahkan pada tahun 1993, ia diminta rekaman oleh perusahaan Virgo Record.
Setelah album perdananya, berturut-turut permintaan rekaman berdatangan dari Naviri Record dan beberapa studio rekaman lain, untuk melantunkan ratib, Simthud Durar, dan terakhir kumpulan selawat yang diiringi organ tunggal. Sebagian album kaset tersebut hingga kini masih terpajang rapi di etalase toko minyak wangi dan peralatan muslim miliknya yang tak terlalu jauh dari rumah.
Dengan kepiawaiannya, banyak orang yang meminta Habib Ali mengajari pembacaan maulid Diba’ secara khusus. Namun, keterbatasan waktunya, yang padat dengan kegiatan mengajar dan berdakwah, membuat Habib Ali belum bisa memenuhi permintaan tersebut. Di luar aktivitas mengasuh majelis taklim peninggalan sang ayah, ia juga mengajar di beberapa majelis taklim di Pengasinan, Kemayoran, Cikuning, Pondok Kelapa, dan Jatimakmur, Bekasi. Ia, tuturnya merendah, ingin mengamalkan sedikit ilmunya, seraya berharap keberkahan.
Kanker Payudara
Kini, anggota jemaah pengajian Habib Ali mencapai seribuan orang, termasuk pengajian setiap malam Jumat di musala sebelah rumahnya. Ia mengaku materi pengajiannya sangat ringan dan mudah dicerna, karena kebanyakan tentang akhlak dan perilaku sehari-hari.
Materi yang paling sering diangkatnya adalah persoalan keluarga. Ini karena ia mulai sangat khawatir dengan kondisi anak-anak zaman sekarang. Misalnya motivasi sekolah yang lebih kepada nilai ijazah daripada pengamalan dan keberkahan ilmu.
Faktor terbesar yang menunjang proses demoralisasi ini, ungkap Habib Ali berapi-api, adalah keteledoran orangtua yang seharusnya menjadi murabbi, pendidik, bagi anak-anaknya. Kesalahan itu biasanya dimulai dari penyerahan pengasuhan anak kepada baby sitter atau orang lain, yang tentu tidak akan sebaik ibu kandungnya. Lalu ditambah dengan dirampasnya rezeki anak yang paling mendasar, yang telah diamanatkan Allah melalui orangtua, pemberian ASI.
Belakangan, karena alasan berkarier atau kesibukan, banyak orangtua yang tidak mau terlalu lama terbebani tugas menyusui. Ibu-ibu pun kemudian mempercepat penghentian pemberian ASI dan menggantinya dengan susu sapi. Padahal, menurut konsep Al-Quran, anak mempunyai hak disusui oleh ibunya selama dua tahun.
“Bukankah ini sebuah kezaliman orangtua terhadap anak?” tambah Habib Ali keras. “Maka jangan salahkan anak, jika setelah besar berbuat zalim kepada orangtuanya.” Akhirnya, ketika tidak menyukuri rezeki alami yang diberikan Allah, kaum perempuan pun mulai menuai peringatan dan azab, dengan datangnya berbagai macam penyakit, seperti kanker payudara.
Dakwah Bil Hal
Materi-materi sederhana memang selalu ditekankan Habib yang selalu berusaha memberikan contoh dalam kebaikan ini, setiap kali mengajar. “Justru karena sederhana, sering disepelekan,” ungkapnya. Habib yang masih tampak energik ini juga menambahkan, “Padahal konsep baldatun thayyibah wa rabbun ghafur, atau dalam bahasa kita disebut negara adil makmur sejahtera, itu dimulai dari keluarga yang saleh dan bahagia.”
Konsep ajaran Islam itu indah, dan penuh penghormatan. Anak harus menghormati orangtua, orangtua menyayangi yang lebih muda; antar-tetangga, meskipun bukan muslim tetap harus saling menghormati.
Kini di usianya yang telah melewati separuh abad, Habib Ali merasa bersyukur tinggal di tengah masyarakat yang rata-rata muhibin. Untuk itulah ia berusaha melayani mereka semampunya.
Para tetangga mengakui, Habib Ali sangat peduli dengan kondisi masyarakat sekitar. Ia sering kali menjadi pelopor dalam setiap kegiatan. Setiap kali ada tetangga yang meronda atau berjaga di sekitar rumahnya, dengan sigap Habib Ali selalu menyediakan konsumsi, bahkan terkadang ikut menemani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar