Kamis, 08 November 2012

Pribadi Wanita Kuat di Tengah Bencana



Kondisi perempuan, khususnya kaum ibu dalam suatu bencana, baik yang terjadi karena faktor-faktor alam maupun bencana dalam pengertian konflik seringkali tidak menguntungkan dan sangat menyulitkan. Penderitaan yang harus dijalani mereka terjadi saat bencana maupun konflik massa itu berlangsung dan masa setelahnya, yakni masa recovery atau penanggulangan dan pemulihan. Bagaimana itu bisa terjadi?
Mari kita tengok sejenak peristiwa Tsunami di Aceh beberapa tahun lalu. Jurnal Perempuan menurunkan laporan bahwa hampir sebagian besar korban tewas perempuan tidak terpisahkan dengan korban anak-anak yang masih kecil atau dalam posisi masih mendekap anak-anaknya. Hal itu disebabkan karena mereka tidak bisa berlari cepat, meninggalkan rumah dengan cepat tanpa kepastian apakah anak-anaknya sudah selamat atau belum.
Para ibu, tak bisa menampik menjalankan perannya mengurus keluarga walau suami tak berpenghasilan atau meninggal karena tertelan bencana. Mereka perlu menguatkan mental dan memperkaya kreativitas agar tak mati langkah.
Ibu (tanpa menafikan peran kaum bapak) nyaris tidak bisa memikirkan bagaimana dia selamat, tetapi juga bagaimana dia pun harus menyelamatkan anak-anaknya. Inilah yang menjadikan beban mereka bertambah saat menyelamatkan diri karena mereka harus menggendong atau menggandeng anaknya.
            Situasi bencana akibat konflik sosial maupun politik seperti perseteruan antar kelompok adat, kelompok agama, perang dan yang lainnya juga berimbas sama, menimpa kaum ibu. Mereka harus menanggung derita yang berkepanjangan. Mulai dari intimidasi maupun teror, bahkan dijadikan sandera saat keluarga laki-lakinya terlibat pertikaian, dijadikan sebagai ’alat’ pemuas seks, mengalami perkosaan dan pelecehan seksual, serta sederet derita lainnya.
Maka, belum lagi hilang trauma akibat bencana, perempuan-perempuan di tengah bencana ibarat semakin dibenamkan bencana baru. Belum lagi lenyap bayangan gemuruh Tsunami, terjangan banjir, goyangan gempa, muntahan lava pijar dan abu vulkanik yang keluar dari gunung, atau kehilangan suami, kakak, adik, anak akibat diterkam senjata musuh di tengah huru-hara konflik, mereka juga terkena imbas tak menguntungkan saat bencana berlangsung.
Malangnya, derita kaum ibu ini tidak berhenti sampai di sana. Penderitaan nyatanya terus berlanjut ketika mereka harus tinggal di pengungsian. Barak pengungsian sedianya menjadi tempat menuju proses pemulihan dirinya. Paling tidak mereka bisa memastikan dirinya pulih dan sehat usai ditimpa bencana, membangun rumah yang hancur, menata kembali keluarga yang tercerai-berai, melanjutkan sisa umur yang tersisa dan menatap masa depan.

Derita kaum ibu di sini terkait dengan pemenuhan kebutuhan mereka yang banyak tidak terpenuhi. Padahal, menilik perannya di ruang domestik [kerumahtanggaan] atau karena alasan jenis kelamin, mereka semestinya difasilitasi secara khusus. Beberapa kebutuhan khusus tersebut, misalnya, ketersediaan pembalut perempuan, susu bayi, ketersediaan air bersih baik untuk memasak, minum dan yang lainnya, juga toilet atau tempat pemandian yang tidak aman karena keterbatasan tempat dimana mereka harus berbagi dengan kaum laki-laki.
Peran kerumahtanggan yang melekat pada kaum ibu pun mau tidak mau mengharuskan mereka menjalankan perannya, sekalipun di pengungsian. Mereka tetap mengurus anak, memasak, mencuci pakaian, mengurus orangtua yang berusia lanjut atau kerabat yang sakit, dan anggota keluarga yang memiliki ketidaksempurnaan fisik/mental. Pada kasus Merapi, misalnya, sebagian dari mereka malah banyak juga yang terlibat membantu mencari nafkah dengan mencari rumput dan mengayak serta mengangkut pasir.
Beberapa waktu lalu, media massa seringkali mewartakan pengungsi dilanda kebosanan akibat tidak adanya aktivitas yang bisa dilakukan. Para pengungsi tersebut biasanya kaum lelaki; bapak, anak lelaki, juga termasuk di dalamnya remaja perempuan, meskipun tingkatnya minim. Dus, jika melihat minimnya aktivitas yang dilakukan para pengungsi di barak-barak pengungsian tersebut semestinya peran kerumahtanggaan di pengungsian bukan lagi dimainkan kelompok ibu semata. Akan tetapi menjadi tanggungjawab semua pihak. Seluruh keluarga tanpa melihat jenis kelamin dan usianya, terlibat bahu-membahu, saling membantu satu dengan lainnya.

Beban Ganda & Perdagangan manusia (human trafficking)

Kehilangan harta benda akibat terjangan bencana adalah sisi lain derita yang tak bisa dielakkan. Kehidupan harus dimulai lagi dari nol karena tiada lagi yang bisa dijadikan sandaran hidup. Sementara di sisi lain, kehidupan di pengungsian tak menjamin kelangsungan hidup sehingga pada akhirnya para korban bencana pun terpaksa pergi keluar meninggalkan pengungsian untuk mengais rezeki.
Dalam kondisi ini, lagi-lagi, kaum ibu pun berpasrah diam di tempat pengungsian karena harus mengurus anak-anaknya. Masih untung jika harapan yang digantungkan pada pundak suami dapat terwujud. Masih untung jika suami-suami mereka mau kembali pulang dengan membawa pundi-pundi rezeki demi menyambung hidup. Tetapi, kenyataan di lapangan acapkali berkata lain. Para ibu dan perempuan lainnya yang ditinggalkan itu lama-kelamaan nyatanya juga memainkan peran pencari nafkah karena tulang punggung keluarga mereka tak kunjung datang.
Dalam hal ini, malangnya lagi ibu-ibu di pengungsian tidak memiliki kebebasan berpindah tempat untuk mencari pekerjaan setelah mengalami bencana, mengingat ketiadaan tempat tinggal bagi diri dan anak-anaknya. Para ibu korban bencana tidak mungkin mengadu peruntungan di tempat yang jauh, namun meninggalkan anak-anaknya di pengungsian. Maka cara yang dilakukan adalah mengambil peran suaminya sebagai tulang punggung keluarga dengan melakukan pekerjaan apa saja (serabutan, red) asalkan menghasilkan uang seraya tetap bisa kembali ke barak untuk mengurus anak-anaknya.
Di tengah persoalan baru tersebut, perempuan juga tidak terlepas dari persoalan kekerasan, pelecehan seksual dan rentan untuk mengalami perdagangan manusia. Kebuntuan akan harapan melanjutkan masa depan membuat banyak orang mengambil jalan pintas. Kedatangan para pelaku trafficking di tempat pengungsian seakan membawa mimpi manis dengan janji-janji palsu tawaran pekerjaan bergaji besar. Kenyataan sesungguhnya para korban bencana tersebut akan dikorbankan lagi untuk dipekerjaan secara tidak layak dan terhormat.
Di Merapi, sebagaimana diberitakan mediaindonesia.com bahwa Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP dan PA) menyatakan telah terdapat indikasi praktik perdagangan orang (trafficking) di dalam lingkungan pengungsian bencana letusan Gunung Merapi. Sebagai antisipasinya, KPP dan PA menghimbau pada pihak kepolisian agar menugaskan anggota polisi wanita (polwan) di kantong pengungsian dengan cara menyamar.
"Di daerah pengungsian wajib ada petugas hukum wanita. Di samping mencegah praktik trafficking anak yang terpisah dari orang tua, juga untuk menangkal kasus kekerasan dan eksploitasi pada anak dan perempuan di pengungsian," sebut Menteri PP dan PA, Linda Amalia Sari Gumelar, usai meresmikan Sekretariat Bersama (Sekber) Relawan Peduli Anak dan Perempuan Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, Senin (15/11).
Pasca bencana, perempuan sesungguhnya harus mendapatkan perhatian serius pemerintah dan berbagai pihak lainnya yang dianggap bertanggung jawab terhadap hal itu. Karena masa ini mereka sangat rawan terhadap bentuk-bentuk eksploitasi baru oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab. Perempuan yang susah dan menderita sangat mudah ditipu untuk diperdagangkan. Mereka menjadi sasaran empuk para penjahat traffiking yang menyuplai ke berbagai penjuru Tanah Air maupun mancanegara.

Semangat dan Kreativitas

Derasnya derita yang datang akibat bencana memang bisa melumat apapun yang dimiliki para korban, bahkan sampai tak menyisakan apapun. Para korban bencana mau tak mau harus bergumul dengan situasi baru yang tak pasti dalam menyongong kehidupan. Inilah fase yang akhirnya membuat mereka patah semangat, hilang arah dan tujuan karena merasa keadaan semakin memiskinkan hidup mereka.
Ketidakmampuan menerima bencana dengan lapang dada serta bertahan melanjutkan kehidupan akibatnya menyeret mereka pada nestapa kepiluan yang menyesakan. Mereka frustasi, linglung, bahkan gila. Syahdan, sebuah bencana diturunkan Sang Ilahi semata-mata demi menguji rasa sabar dan ketangguhan kita sebagai mahluk hidup. Untuk itulah semangat harus tetap dinyalakan mengingat sesungguhnya Allah akan menyertai langkah mahluk-Nya yang tak berputus asa.
Untuk meneguhkan jalan ke sana, kita pun harus semakin kreatif menggali potensi diri. Sebab kreativitas dibutuhkan untuk memecah kebuntuan harapan hidup akibat mandegnya ekonomi keluarga. Dan tanggungjawab ini, tentu saja, bukan hanya milik para korban bencana. Dalam skala besar pengambil kebijakan, tentunya ada pemerintah yang bisa memfasilitasi dengan terobosan program pemberdayaan, selain juga menjadi PR seluruh pihak. [Berbagai sumber]

Tampil Cantik dan Sikap Tabarruj

Seorang penceramah terkenal di seantero negeri ini, dalam banyak kesempatan, berkali-kali sering berujar, “Bagaimana suami bisa betah di rumah, kalau setiap kali suami pulang, istri masih bau, pakai daster sekenanya, rambut aut-autan?”  Sontak ujaran tersebut disambut riuh rendah suara jamaah yang hadir. Penulis sendiri sesaat tersadar mengapa banyak perempuan-perempuan yang sudah bersuami bertindak serupa?
Celotehan semacam itu kenyataannya memang sering menjadi kalimat ampuh dalam menilai istri-istri yang sudah bersuami. Tetapi, yang agak sedikit mengejutkan bahwa pernyataan seperti itu keluar juga dari ustadz yang selama ini dinilai lurus pemberitaan pribadinya. Kondisi para istri yang disinggung sang ustadz rupanya cukup menjadi perhatian serius, sampai-sampai sang ustadz menekankan bahwa penting bagi setiap istri untuk tampil cantik secara maksimal. “Saya tidak habis pikir pada suami yang tidak membolehkan istrinya dandan, pergi ke salon, menicure-pedicure, creambath dan sebagainya. Padahal sepanjang untuk kepentingan keharmonisan rumahtangga dan tidak diumbar, bukankah itu sangat baik? Nggak senang bapak-bapak lihat istri cantik?” ujarnya seraya tersenyum.
Sikap berlebihan, apa pun bentuknya, tidak diperkenankan. Namun memaksimalkan diri menjadi cantik bagi seorang perempuan adalah sebuah kepatutan yang wajar.
Cara demikian, lanjut sang ustadz, bukan saja sebagai bentuk apresiasi atas hubungan suami-istri, tetapi juga upaya bagaimana mengikat hati pasangan agar tak mudah melirik perempuan lain, di samping kepercayaan diri si istri pun akan bangkit kembali seiring usianya yang bertambah.

Syukur Nikmat

Luhur budi, pintar merawat rumah, anak, dan suami, adalah hal jamak yang disorot setiap perempuan berumahtangga. Akan tetapi, dalam urusan penampilan, tak semua peduli dalam hal ini. Pasalnya mengurus rumahtangga dan keluarga sendiri pun sudah sangat menyita waktu, tenaga dan pikiran sehingga meluangkan sejenak untuk kepentingan diri sendiri menjadi hal yang sulit.
Yang demikian memang tidak bisa ditampik sebab tugas kerumahtanggaan merupakan pekerjaan yang berlangsung sepanjang waktu. Sejak dari bangun pagi sampai kembali memejamkan mata, para istri tanpa henti didera kesibukan yang tak kunjung selesai. Maka dengan mampunya mereka menjalani peran sebagai ibu rumahtanga haruslah diapresiasi sama baiknya seperti suami yang bekerja di luar rumah.
Meski begitu, sangat elok bila istri pun mampu menyediakan waktu khusus bagi dirinya baik untuk memanjakan diri atau hanya sekadar refreshing. Di saat-saat seperti inilah, sebaiknya, seorang istri merawat wajah, badan serta anggota tubuh lainnya yang memang perlu perawatan khusus mengingat usia yang bertambah sudah pasti akan menggerogoti kecantikannya. Jangan sampai di saat usia sudah benar-benar tua, barulah keinginan merawat tubuh muncul alih-alih menjadi sia-sia.
Mengurus diri untuk tampil cantik pada hakikatnya adalah bentuk apresiasi syukur nikmat. Allah telah menganugerahi fisik yang sempurna kepada manusia sehingga sangat wajar bila harus dirawat, mulai dari ujung rambut sampai dengan ujung kaki. Selain cantik, tubuh pun dijamin bersih dan jauh dari penyakit. Dalam sebuah hadits disebutkan, "..Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan… " (HR. Muslim)

Tabarruj

Kekhawatiran yang kerapkali muncul saat menyoal muslimah tampil cantik adalah sikap tabarruj. Secara istilah, tabarruj adalah memperlihatkan dengan sengaja apa yang seharusnya disembunyikan. Kemudian dalam perkembangannya, tabarruj diartikan sebagai keluarnya perempuan dari kesopanan, menampakkan bagian-bagian tubuh yang vital yang mengakibatkan fitnah atau dengan sengaja memperlihatkan perhiasan-perhiasan yang dipakainya untuk umum.
Dus, untuk tampil cantik seakan-akan menjadi hal yang sulit mengingat begitu banyak muslimah yang juga khawatir akan tenggelam dalam sikap tabarruj. Misalnya saja saat mereka memakai lipstik. Secara hukum, tak ada yang salah dengannya bila ingin digunakan kaum muslimah. Sebab kedudukannya sama seperti alat-alat lainnya seperti televisi, radio dan lainnya. Namun yang dikhawatirkan adalah ‘imbas’ dari penampilan yang menarik karena lipstick, acapkali membuat kaum muslimah bersikap tabarruj. Ingin menampilkan pesona kecantikan dirinya yang selama ini tak terlihat di muka publik secara berlebihan seraya berharap mendapat pujian sedemikian rupa. Padahal tentu saja niat awal dari berpenampilan demikian adalah untuk suami dan keluarganya.
Batasan ini tidak ada yang bisa menjamin sebab semuanya terpulang pada pribadi masing-masing muslimah. Namun jika niat mengawali tampil cantik adalah untuk beribadah, seyogyanya dibarengi dengan sikap yang sejalan, bukan justru menabrak pakem atau batasan yang sudah berlaku.

Support Suami

Peran suami dalam hal menonjolkan penampilan istrinya sangat diperlukan. Sebab niat tampil cantik pun hakikatnya untuk membahagiakan suami. Suami yang merasa bahagia niscaya  tak akan pelit melimpahkan kasih sayang dan perhatiannya kepada istrinya. Karena itu, sudah sepatutnya suami mendorong istrinya untuk tampil cantik. Tentu tak hanya di waktu-waktu khusus seperti saat pergi ke walimah ‘urs atau undangan lainnya. Justru di rumah atau momen-momen saat suami dan istri berduaanlah istri semestinya berpenampilan menarik.
Namun bila istri benar-benar berada dalam situasi yang tidak siap dan malas berdandan, selain memotivasinya, segera introspeksi bahwa bisa jadi kondisi ini sebenarnya disebabkan oleh ‘ulah’ suaminya juga. Hal ini pernah dialami oleh seorang sahabat perempuan di masa Rasulullah: Ummu Darda. Kala itu, suaminya, Abu Darda, tidak peduli kepada istrinya hingga sang istripun tidak merasa harus merawat tubuh dan menjaga penampilan.
“Dari 'Aun bin Abu Juhaifah dari ayahnya berkata; Nabi saw mempersaudarakan Salman dan Abu Darda'. Suatu hari, Salman mengunjungi Abu Darda', lalu ia melihat Ummu Darda' dengan baju yang kumuh, dan ia berkata kepadanya: "Ada apa denganmu?" Dia menjawab: "Saudaramu, Abu Darda', dia tidak memperhatikan kebutuhan dunia". Kemudian Abu Darda' datang, lalu ia membuat makanan untuk Salman. Salman berkata kepada Abu Darda': "Makanlah!". Abu Darda' menjawab: "Aku sedang berpuasa". Salman berkata: "Aku tidak akan makan hingga engkau makan". Dia berkata: "Lalu Abu Darda' ikut makan". Pada malam hari Abu Darda' bangun, lalu Salman berkata: "Teruskanlah tidur". Maka ia pun tidur lalu bangun lagi, lalu Salman berkata: "Teruskanlah tidur". Maka iapun tidur lagi. Pada akhir malam, Salman berkata: "Sekarang bangunlah". Kemudian mereka berdua shalat malam". Lalu Salman berkata kepada Abu Darda': "Sesungguhnya Rabb-mu mempunyai hak atasmu, dan jiwamu mempunyai hak atasmu, dan istrimu mempunyai hak atasmu, maka berilah setiap hak kepada orang yang berhak". Kemudian Abu Darda' menemui Nabi saw lalu ia menceritakan hal itu. Maka beliau bersabda: "Salman benar". [HR. Bukhari]
Memotivasi istri untuk tampil cantik harus diiringi dengan memberi waktu khusus kepadanya dan juga sesekali memberi anggaran yang sepantasnya menurut kadar kemampuan suami. Sang istri pun sepatutnya mengapresiasi keinginan dan jerih payah suaminya tersebut.
Kesempatan untuk perawatan bagi seorang ibu rumahtangga harus dipahami pula cukup menyita waktu. Sehingga bila suami tidak turun tangan meringankan pekerjaannya, akan sangat sulit baginya untuk mewujudkan keinginannya tersebut. Dan cara seperti ini sungguh ditunjukkan oleh Rasulullah kala membantu Aisyah. Dari Al-Aswad berkata, "Aku pernah bertanya kepada Aisyah tentang apa yang dikerjakan Nabi saw ketika berada di rumah. 'Aisyah pun menjawab, "Beliau selalu membantu keluarganya, jika datang waktu shalat maka beliau keluar untuk melaksanakannya." [HR Bukhari]
Salon muslimah kini marak bertebaran. Jika memiliki waktu luang, suami bisa menyisihkan uangnya untuk kebutuhan kosmetik istri, mengantarkannya ke salon perawatan tubuh dan wajah. Atau jika tidak, di rumah pun, bersama pasangan, Anda bisa saling memanjakan tubuh dengan sejumlah peralatan yang ada. Maka rayakanlah menjadi cantik demi kemaslahatan berumahtangga.  [Berbagai sumber]

Kala Ulama Mazhab Bicara Posisi Istri

Kasur, dapur, sumur. Tiga kata ini sering dilekatkan kepada istri dalam memerankan posisinya sebagai ibu rumahtangga. Kasur identik dengan pelayanan kebutuhan seksual kepada suami. Sementara dapur dan sumur merupakan wilayah kewajiban mereka dalam mengurus segala keperluan rumahtangga. Mulai dari memasak, mencuci, membereskan rumah, mengurus anak, serta seabrek aktivitas rumahtangga lainnya.
Atas dasar sejumlah kewajiban tersebutlah mereka tidak dibebankan mencari nafkah. Para istri hanya bertugas sebagai pelaksana rumahtangga, menjalankan sejumlah kewajiban sesuai amanah suami. Sementara suami, adalah pencari nafkah guna memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya. Ia adalah pemimpin atas istri dan anak-anaknya. Orang yang bertanggungjawab atas hidup dan kehidupan keluarganya. Menilik beban yang berat itulah, bisa dimaklumi bila urusan rumahtangga tak mungkin bisa dilakukan para suami. Akan sangat repot bila di luar rumah mereka harus mencari nafkah seharian, sementara di rumah juga harus terlibat urusan rumahtangga secara penuh.
Para ulama berpendapat, istri adalah obyek penerima, bukan pencari, penyedia dan pelaksana kebutuhan rumahtangga. Konsekwensinya, segala urusan rumahtangga, sekecil apa pun, tak wajib dikerjakan istri, melainkan sang suami.
Sebagai makmum, istri seyogyanya membantu suaminya dengan mengerjakan segala urusan rumahtangga. Apalagi bila para istri memang sehari-hari berada di rumah, tidak keluar mencari nafkah seperti suami mereka. Dan inilah yang jamak dipahami oleh seluruh keluarga di belahan dunia manapun. Tak terkecuali dalam kehidupan rumahtangga keluarga muslim.
Akan tetapi, para ulama mazhab memiliki pandangan yang berbeda dengan kelaziman tersebut. Menurut mereka, yang mencari nafkah dan pemenuh kebutuhan yang meliputi makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan kebutuhan lainnya yang layak, adalah sepenuhnya kewajiban suami. Dengan kata lain, kewajiban mereka tidak sebatas memberikan uang belanja kepada istrinya semata, melainkan urusan memasak, mencuci, bersih-bersih rumah pun adalah tanggung jawab para suami. Karena semua itu bagian dari nafkah yang wajib diberikan suami kepada istri. Sebagaimana firman Allah swt, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisa' : 34)
Ahmad Sarwat LC, sebagaimana dilansir www.warnaislam.com/syariah/pernikahan merincinya sebagai berikut:
-Mazhab Hanafi
 Imam Al-Kasani dalam kitab Al-Badai' menyebutkan bahwa seandainya suami pulang membawa bahan pangan yang masih harus dimasak dan diolah, lalu istrinya enggan untuk memasak dan mengolahnya, maka si istri tidak boleh dipaksa. Sebab suaminya diperintahkan untuk pulang membawa makanan yang siap santap.
Tidak hanya itu. Di dalam Al-Fatawa Al-Hindiyah fi Fiqhil Hanafiyah disebutkan bahwa seandainya seorang istri berkata, "Saya tidak mau masak dan membuat roti", si istri pun tetap tidak boleh dipaksa untuk melakukannya. Dan suami, harus memberinya makanan siap santap, atau menyediakan pembantu untuk memasak makanan.
-      Mazhab Maliki
Dalam kitab Asy-syarhul Kabir disebutkan bahwa wajib atas suami berkhidmat (melayani) istrinya. Walaupun, misalnya, suami memiliki keluasan rezeki dan istrinya pun punya kemampuan untuk melayani suaminya, namun tetap saja kewajiban istri bukan berkhidmat. Suami tetap merupakan pihak yang wajib melayani. Dalam kondisi suami yang memang mampu secara finansial, wajib atas suami untuk menyediakan pembantu bagi istrinya.
-      Mazhab Syafi'i
Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab karya Abu Ishaq Asy-Syirazi menyebutkan bahwa tidak wajib atas istri berkhidmat untuk membuat roti, memasak, mencuci dan bentuk pelayanan lainnya, karena yang ditetapkan (dalam pernikahan) adalah kewajiban untuk memberi pelayanan seksual (istimta'), sedangkan pelayanan lainnya tidak termasuk kewajiban.

-      Mazhab Hanabilah
Seorang istri tidak diwajibkan untuk berkhidmat kepada suaminya, baik berupa mengadoni bahan makanan, membuat roti, memasak, dan yang sejenisnya, termasuk menyapu rumah, menimba air di sumur. Karena yang ditekankan hanya kewajiban pelayanan seksual, maka pelayanan dalam bentuk selain itu, tidak wajib dilakukan istri, seperti memberi minum kuda atau memanen tanaman, misalnya.

-      Mazhab Az-Zhahiri
Dalam mazhab yang dipelopori Daud Adz-Dzahiri ini, para ulama juga berpendapat bahwa tidak ada kewajiban bagi istri untuk mengadoni dan membuat roti, memasak dan memberikan pelayanan lain yang sejenisnya, sekalipun suaminya anak seorang petinggi/pejabat. Suami tetap wajib menyediakan orang yang bisa menyiapkan makanan dan minuman yang siap santap bagi istrinya, baik untuk makan pagi maupun makan malam, serta wajib menyediakan pelayan (pembantu) yang bekerja menyapu dan menyiapkan tempat tidur.
Pandangan para ulama mazhab ini seirama dengan potret kehidupan rumahtangga Rasulullah saw dan para sahabat. Rasulullah menjahit sendiri bajunya yang robek, membersihkan rumah padahal ia juga mencari nafkah untuk keluarganya.
Sa’ad bin Amir, sahabat yang diangkat Umar bin Khattab menjadi gubernur di kota Himsh, dikomplain warganya gara-gara sering telat datang bertugas. Ia berkilah sangat kerepotan karena tidak punya pembantu. Tidak ada orang yang bisa disuruh menyediakan keperluan untuk istrinya.
Berbeda dengan Saad, Asma' binti Abu Bakar diberi pembantu oleh ayahnya. Abu Bakar menyediakan pembantu oleh karena suami Asma’ tidak mampu menyediakannya. Langkah ini, setidaknya bisa meringankan kewajiban suami Asma’ dalam hal nafkah kepada Asma’.

Sedekah Istri

Bila istri tetap melakukan pekerjaan rumahtangga untuk keluarganya, menurut para ulama, dinilai sedekah baginya. Mengapa? Sebab yang ia lakukan atas dasar kerelaan hati membantu suaminya. Sejarah menunjukkan bahwa putri Rasulullah, Fatimah, melakukan sendiri seluruh aktivitas rumah tangganya. Sang ayah, bukan tidak mampu menyediakan pembantu. Namun Rasul menganggap bahwa yang dilakukan Fatimah menjadi tabungan amalnya di Hari Akhir. "Aku bisa memberimu seribu budak, namun setiap tetes keringat yang kau keluarkan untuk mengurus rumah, balasannya adalah surga." Demikianlah Rasul menjanjikan anak yang paling dikasihinya itu.
Sebab itulah Fatimah berujar, “Wahai kaum wanita. Seandainya engkau mengerti kewajiban terhadap suamimu, tentu seorang istri akan menyapu debu dari kedua telapak kaki suaminya dengan sebagian mukanya.”

Pandangan Berbeda

Beban berat yang ditanggung suami dalam hal mencari nafkah agaknya membuat ulama fiqih kontemporer Dr. Yusuf Al-Qaradlawi mengeluarkan pandangan yang berbeda. Menurutnya, istri tetap wajib melayani suami di luar urusan pelayanan seksual. Istri tetap wajib memasak, menyapu, mengepel dan membersihkan rumah. Bentuk pelayanan tersebut semata-mata merupakan imbal balik dari nafkah yang diberikan suami kepada istrinya. Nafkah yang bukan hanya meliputi kebutuhan rumahtangga seperti kebutuhan dapur, makanan, pakaian, serta kebutuhan rumah tangga lainnya, melainkan nafkah yang mutlak diberikan kepada istri, di luar semua kebutuhan rumah tangga.

Hubungan Cinta Kasih

Silang pendapat para ulama boleh saja mewarnai persoalan wajib tidaknya istri mengerjakan pekerjaan rumahtangga. Namun di luar itu, patut disadari pula bahwa relasi yang dibangun antara istri dengan suaminya adalah hubungan cinta, kasih sayang, kerelaan, saling memiliki, saling tolong; senasib sepenanggungan. Apa yang dilakukan keduanya bertujuan ingin saling membahagiakan. Sehingga istri yang pada dasarnya boleh jadi tidak punya kewajiban mengurus rumahtangga, dengan rela melayani suaminya, memasak untuk suami, mencuci baju suami. Semua dilakukan semata-mata karena cinta dan sayang. Di luar itu, ia pun akan diganjar pahala dari apa yang dikerjakannya. Karena dengan bantuannya itu, suami menjadi senang dan ridha kepadanya.
Kalaupun memang urusan rumahtangga menjadi wajib dilakukan istri, suami semestinya tidak lupa bahwa urusan rumahtangga memiliki jam kerja tak berbatas. Tidak seperti halnya suami yang bekerja di luar rumah dan mendapat upah atas apa yang dikerjakannya. Untuk itu, teramat wajar bila ia harus mendapat nafkah atas apa yang dikerjakannya. Toh semua yang ia kerjakan pun agar suami bisa berkonsentrasi penuh mencari nafkah. Juga, agar kehidupan rumah tangga berjalan seimbang dan harmonis. Menjadi sakinah mawaddah wa rahmah. [Berbagai sumber]

BILA ISTRI MENOLAK "AJAKAN" SUAMI...




Sebaik-baik kamu adalah yang paling baik kepada istrimu.” (HR at-Tirmizi)
Ani, sebut saja begitu, agak tak enak hati menyuguhkan kopi hangat untuk suami tercintanya pagi itu. Pasalnya, sang suami, Mas Hendra, nampak cuek. Wajahnya pun masam seperti orang kesal. Sebagai istri, Ani yakin muara kemuraman itu karena dia. Sudah tiga hari belakangan ini ia menampik ajakan Mas Hendra untuk berhubungan intim. Pertama, ia merasa lelah. Esok malamnya merasa tidak mood. Sedang malam ketiga ia tidur lebih awal dari biasanya.
Untuk menebus rasa bersalahnya, Ani pun tampil cantik dan berusaha bergairah di depan Mas Hendra. Namun karena mungkin terlanjur kesal, sang suami tidak menggubrisnya. Ani pun jadi meradang karena tidak mendapat tanggapan.
Rasa hati tak karuan itu segera ia bagi pada sahabatnya, Aisyah, yang sudah lebih lama berumahtangga. Sebagai sahabat, sang teman menasehatinya untuk segera meminta maaf. Apalagi perbuatan Ani itu termasuk berdosa.
Alasan yang dikemukakan Aisyah itu tentu saja bersandar pada sebuah hadits shahih riwayat Imam Bukhari, “Jika suami memanggil istrinya untuk tidur bersama (bersenggama), lalu istri menolak sehingga semalam itu suami menjadi jengkel (marah) pada istrinya, maka para malaikat mengutuk pada istri itu hingga pagi hari.”
Sebagai suami dan kepala rumahtangga, tentu Hendra punya otoritas penuh atas istrinya. Tak salah kalau ia marah. Tapi di satu sisi, kadang ia lupa bahwa sang istri tentu punya alasan di balik penolakannya, dan inilah yang kurang dipahami.
Menurut Syeikh Sa’ad Yusuf Abdul Aziz dalam Shahih Washaya ar-Rasul lin Nisa, seorang istri boleh saja menolak ajakan suaminya berhubungan badan sepanjanghal itu merupakan uzur syar’i atau sesuatu yang dibolehkan agama.
Jika perintah sang suami berbau hal-hal maksiat, seperti menyuruh istri meninggalkan shalat, membuka jilbab, membolehkan teman-teman suaminya untuk masuk ke dalam rumahnya ketika suami tidak ada, atau memerintahkannya untuk memutus tali silaturahim, barulah hal itu tidak perlu didengar atau dipatuhi. Sebab sabda Nabi saw, “Tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu hanya pada hal-hal yang baik saja (ma’ruf).” (HR Bukhari dan Muslim)
Senada dengan itu, pendiri Pusat Kajian Hadits, DR. H. Lutfi Fathullah MA, mengatakan bahwa ketika suami tidak ‘diberi’ di saat syahwatnya timbul, maka bisa muncul dua kemungkinan; apakah dia sanggup menahannya, ataukah dia tidak bisa menahan, alih-alih malah terjerumus ke arah perzinaan. “Maka pilihannya kalau tidak mau berzina, istri harus memberikan haknya,” ungkapnya.
Lagi pula, kendati tidak ada asbabul wurud, hadits permintaan bersenggama dari suami ini sebenarnya bisa saja dita’wilkan sebagai ‘senjata’ untuk menolak permintaan suami. Mengapa?
Di mata Lutfi, sebagaimana fakta umum di masyarakat, tak dimungkiri bahwa hasrat terbesar suami terhadap istrinya adalah keinginan menyalurkan nafsu seks.
Maka ketika keinginan tersebut tidak terpenuhi, mereka pun kecewa dan marah. Sedang kecenderungan hasrat terbesar istri pada suami adalah ekonomi atau yang lainnya, sementara seks bisa jadi prioritas kesekian. Sebab itu, tatkala keinginan istri tidak terpenuhi, mereka kerap menggunakan alasan tidak mau memenuhi kebutuhan seks suaminya.

Hak yang Sama
Pada hakikatnya, hubungan dua insan tidak akan terwujud bila salah satunya tidak menikmati. Keduanya harus saling terlibat berpartisipasi. Badriyah Fayumi, dalam Fikih Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender mengatakan bahwa mu’asyarah bi al-ma’ruf yang dijalankan suami-istri adalah harus saling memberi dan menerima, saling mengasihi dan menyayangi, tidak saling menyakiti, tidak saling memperlihatkan kebencian, dan masing-masing tidak saling mengabaikan hak dan kewajibannya. Tak terkecuali dalam masalah hubungan seks.
Maka, sebenarnya jika istri ‘minta’ tapi suami tidak memberi, juga dihukumi berdosa. Karena seks dalam sebuah pernikahan merupakan hak kedua belah pihak. Hanya saja, pihak istri jarang sekali ‘meminta’ lebih dulu. Hal ini disinyalir karena umumnya istri lebih kuat untuk menahan nafsunya ketimbang suami.
“Suami kalau sudah minta, kadang harus dituruti, bahkan lepas kendali kalau tidak dituruti,” tegas Luthfi yang menamatkan S2 di Jordan University itu.
Di zaman rasulullah pun pernah terjadi hal serupa. Ketika seorang sahabat bernama Abdullah bin Amr bin ‘Ash pernah tidak memberikan nafkah kepada istrinya. Rasulullah menegurnya keras, karena istri pun punya hak yang sama.
Dalam Al-Fiqhul Islami karangan DR. Wahbah az-Zuhaili, ihwal hubungan seks itu sendiri dalam pandangan mazhab fiqih Islam berbeda-beda. Mazhab Maliki mengatakan bahwa suami wajib menggauli istrinya, selama tidak ada halangan atau uzur, sebagaimana zahir teks hadits. Namun dari sini timbul pemahaman, bahwa ketika seorang istri menghendaki hubungan seks, suami pun wajib memenuhinya.
Sementara mazhab Syafi’i mengatakan bahwa kewajiban suami menyetubuhi istrinya pada dasarnya hanyalah sekali saja selama mereka masih menjadi suami-istri. Kewajiban ini hanyalah untuk menjaga moral istrinya.
Pandangan ini dilatarbelakangi oleh prinsip bahwa melakukan hubungan seks adalah hak seorang suami. Istri, menurut pendapat ini disamakan dengan rumah atau tempat tinggal yang disewa. Alasan lain adalah bahwa orang hanya bisa melakukan hubungan seks apabila ada dorongan syahwat (nafsu), dan ini tidak bisa dipaksakan. Akan tetapi, sebaiknya suami tidak membiarkan keinginan seks istrinya itu agar hubungan mereka tidak berantakan.
Adapun mazhab Hanbali menyatakan bahwa suami wajib menggauli istrinya paling tidak sekali dalam empat bulan, apabila tidak ada uzur. Jika batas maksimal ini dilanggar oleh suami, maka antara keduanya harus diceraikan. Mazhab ini mendasarkan pandangannya pada ketentuan ila’ (sumpah untuk tidak menggauli istri).

Keengganan istri melayani suami tentu saja memiliki alasan. Sebab itulah seorang suami harus bisa memahami alasan dibalik penolakan istrinya. Secara umum, istri kerap menolak ‘ajakan’ suami dalam kondisi seperti berikut:

1. Istri Hamil
Postur tubuh istri yang bertambah besar ditambah adanya si jabang bayi di dalam perut tentu agak menyulitkan melakukan senggama. Karenanya dalam kondisi hamil, hasrat seksual istri cenderung menurun. Namun hubungan intim selama hamil dibenarkan agama.
Dalam Fatwa-fatwa Kontemporer Tentang Problematika Wanita yang dikarang Musa Shalih Syaraf, dibolehkan suami-istri melakukan hubungan intim, kecuali jika ada pertimbangan kesehatan yang melarang sehingga menimbulkan beberapa bahaya bagi istri. Yang demikian itu bisa saja dilakukan dengan meminta saran kepada dokter spesialis kandungan, karena masa-masa kehamilan itu dituntut mengikuti nasehat-nasehat medis.

2. Istri Capek/Lelah
Mengurus rumahtangga dan anak bukanlah perkara mudah yang bisa dikerjakan dengan santai. Selain menguras tenaga dan waktu, pikiran pun harus terfokus penuh pada perkembangan anak. Mulai dari bangun tidur sampai kembali waktu tidur tiba. Tak heran jika energi istri pun terkuras tak bersisa. Apalagi istri yang punya peran ganda. Selain sebagai ibu rumahtangga, istri pun terlibat menopang kehidupan dapur keluarga.
Tak heran ketika ada sedikit kesempatan istirahat, mereka lebih memilih rehat ketimbang mengurus diri sendiri, bahkan tak jarang keberadaan suami pun terabaikan.
 Maka sebagai suami bijak, sudah sepatutnya tak terburu-buru menanggapi sikap istri dengan amarah. Justru memahami kesulitan sang istri bisa menjadi jalan terbukanya komunikasi yang baik. Pada akhirnya bahkan hubungan di atas ranjang pun tak mudah terganjal.

3.Istri Sakit
Dalam masalah ibadah apa pun, sakit adalah uzur yang sangat bisa dimaklumi. Kondisi badan yang tidak fit memang tidak memungkinkan seseorang beraktivitas. Apalagi jika sakit itu sudah amat membahayakan. Sudah sepatutnya suami memahami kondisi ini.

4. Istri Haid
Bersenggama dalam kondisi istri sedang haid adalah haram, sebagaimana al-Qur’an menyatakan, “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Haid itu adalah suatu kotoran.’ Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid.” (QS. al-Baqarah: 222)
Alasan di balik pengharaman ini dikarenakan darah haid itu memiliki bau yang tidak sedap dan dapat mendatangkan beberapa penyakit yang berbahaya bagi suami dan istri. Namun, Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat, jika ada orang yang akhirnya melakukan senggama pada waktu haid, disunnahkan baginya bersedekah setengah atau satu dinar.
Sejatinya hubungan seks bukanlah sekedar penyaluran syahwat. Hubungan seks antar suami-istri juga merupakan ungkapan cinta kasih agar pondasi rumahtangga semakin kokoh.
Mengungkapkan rasa cinta tentu saja tidak bisa dengan bahasa kasar dan memaksa. Sebab itulah hadits terkait menggunakan lafaz da’aa (meminta, mengajak). Hal ini, bagi Lutfi, sekaligus menyanggah anggapan kalangan yang menyatakan bahwa perkosaan dalam rumahtangga itu ada. Adapun lafaz rajul (laki-laki, suami) sebagai subyek, tak lain merupakan ungkapan kebiasaan.
“Dalam banyak firman-Nya, Allah menggunakan lafaz sesuai kebiasaan, misalnya was sariqu was sariqatu, laki-laki dan perempuan pencuri, lelaki disebut lebih dulu karena yang biasa mencuri laki-laki, baru kemudian disusul dengan perempuan, namun di tempat lain kadang perempuan dulu yang disebutkan,” jelas ustadz yang mengenyam studi S3 di Universitas Kebangsaan Malaysia.
Jika hubungan seks telah sama-sama dipahami sebagai kebutuhan bersama, akan sangat mudah mengkomunikasikan segala kendala yang datang. Maka saat uzur syar’i seperti haid jadi kendala, tentu saja keduanya tetap bisa melakukan hubungan intim selama tidak memasuki wilayah yang dilarang (antara pusar-lutut).
Bahkan ketika salah satu pasangan tidak mood, bisa saja gairah dibangkitkan selama keduanya sama-sama mau terbuka membicarakannya. Perbincangan ringan bukan tidak mungkin melahirkan candaan-candaan mesra, yang pada akhirnya bisa membangkitkan gairah untuk bercinta.[ ]

Sekilas kehidupan Imam Hasan as

 
Imam Hasan as adalah cucu pertama Rasulullah Saw dari Ali bin Abi Thalib as dan Sayidah Fathimah as. Beliau lahir pertengahan bulan Ramadhan pada tahun 3 hijriah di kota Madinah.Beliau tidak lama hidup bersama kakeknya. Karena ketika berumur tujuh tahun, kakeknya telah meninggalkannya untuk selama-lamanya. Setelah Rasulullah saw meninggal, kurang lebih 30 tahun beliau hidup bersama ayahnya Ali bin Abi Thalib as. Setelah syahadah Imam Ali as, tahun 40 hijriah, selama 10 tahun beliau memimpin umat Islam. Pada tahun 50 hijriah atas rencana jahat Muawiyah, beliau diracun. Pada umur 48 tahun Imam Hasan as meninggal dunia.
Pembela orang miskin
Dalam agama Islam, orang-orang kaya memiliki kewajiban atas orang-orang tidak mampu. Berdasarkan aturan Islam, mereka yang memiliki diwajibkan untuk membantu mereka yang tidak mampu. Nabi Muhammad Saw dan para Imam senantiasa menekankan masalah ini. Setiap dari mereka pada zamannya menjadi contoh sebagai pengayom orang-orang miskin. Hal yang sama dengan Imam Hasan as. Selain dikenal sebagai alim, takwa, zuhud dan lain-lain, beliau dikenal juga sebagai orang dermawan. Di zamannya Imam Hasan dikenal sebagai orang paling dermawan. Setiap fakir yang datang ke rumahnya pasti pulang dengan membawa sesuatu dari pemberian Imam Hasan as. Bahkan sering kali sebelum seorang fakir membuka mulut untuk meminta pertolongan darinya, dengan melihat keadaannya, Imam Hasan as langsung menolongnya.
Allamah Suyuthi dalam buku sejarahnya menyebutkan: "Hasan bin Ali memiliki keutamaan akhlak yang sangat banyak. Ia seorang pribadi yang sabar, lapang dada, tegas, berwibawa dan dermawan. Orang yang banyak dipuji oleh rakyat kebanyakan".
Keluarga ilmu dan keutamaan
Suatu hari Utsman bin Affan duduk di pinggir masjid. Ada seorang fakir yang meminta pertolongan darinya. Utsman memberinya 5 dirham. Orang fakir itu berkata padanya, "Tolong tunjukkan aku orang bisa membantuku lebih banyak?" Pada waktu itu di pojok masjid duduk Hasan Mujtaba, Husin bin Ali dan Abdullah bin Ja'far. Utsman memberikan isyarah kepada mereka dan berkata: "Pergilah kepada tiga anak muda yang duduk di sana. Mereka pasti akan membantumu".
Si fakir kemudian pergi menghadap mereka dan menjelaskan keperluannya. Imam Hasan as berkata, "Meminta tolong harta kepada orang lain tidak baik, kecuali pada tiga kondisi; uang tebusan yang menjadi tanggungan seseorang yang tidak mampu menebusnya, hutang yang banyak dan tidak mampu untuk dibayar, fakir yang telah berusaha tapi tidak mampu lagi. Di antara ketiga kondisi ini, engkau termasuk yang mana?"
Si fakir menjawab, "Kondisiku salah satu di antara ketiga masalah yang engkau gambarkan itu".
Imam Hasan as kemudian memberikannya uang 50 dirham. Imam Husein as memberikannya 49 dirham dan berikutnya Abdullah bin Ja'far memberinya 48 dirham.
Ketika kembali, ia sempat melewati Utsman. Setelah melihatnya Utsman berkata, "Apa yang telah engkau lakukan?"
Ia menjawab, "Aku meminta uang darimu dan engkau memberikannya. Masalahnya adalah engkau tidak bertanya untuk apa aku memerlukan uang itu. Berbeda dengan engkau, salah satu dari mereka, Hasan bin Ali, bertanya kepada saya, untuk apa uang itu akan saya pakai. Saya kemudian menjawab apa yang akan saya lakukan dengan uang itu, kemudian mereka memberiku uang.
Utsman berkata, "Keluarga ini pusat ilmu dan kebijakan. Sumber kebaikan dan keutamaan. Di mana dapat ditemukan pribadi-pribadi seperti mereka?" (Bihar al-Anwar, Teheran, 1393 HQ, jilid 43, hal 333).
Disebutkan, "Dalam hidupnya, Imam Hasan as pernah mendermakan seluruh hartanya sebanyak dua kali. Tiga kali ia mendermakan setengah hartanya. Setengah untuk dirinya dan setengah lainnya diinfakkan di jalan Allah" (Suyuthi, Tarikh al-Khulafa, cet 3, Baghdad,1383 HQ, hal 190. Ibnu Wadhih, Tarikh Ya'qubi, Najaf, 1384 HQ, jilid 2, hal 215. Ibnu Jauzy, Tadzkirah al-Khawash, Najaf, 1383 HQ, hal 196. Syaikh Muhammad Shibyan, Is'af ar-Raghibin, Kairo, hal 179).[] IRIB

Imam Sajjad, Teladan Pengabdian

 
Tanggal lima Sya'ban tahun 38 H seorang manusia mulia lahir ke dunia. Beliau adalah Imam Ali bin Husein yang dikenal dengan panggilan Imam Ali Zainal Abidin. Beliau juga dijuluki dengan sebutan Imam Sajjad, karena tekun beribadah dan bersujud kepada Allah Swt. Selain dekat dengan Tuhan, Imam Sajjad juga dikenal sebagai orang yang sangat dermawan, penyantun terutama kepada orang miskin, anak yatim dan orang-orang tertindas.

Manusia mulia ini juga dikenal dengan doa-doanya yang memiliki ketinggian bahasa dan kedalaman maknanya yang menjulang. Beliau menjalani malam dengan doa dan ibadah kepada sang maha Pencipta. Tentang ini, Imam Baqir as, putra Imam Sajjad berkata, "Ketika semua orang di rumah tertidur di awal malam, ayahku, Imam Sajjad bangun mengambil wudhu dan shalat dua rakaat. Kemudian beliau mengambil bahan makanan dalam karung dan memanggulnya sendirian menuju daerah orang-orang miskin dan membagikan makanan kepada mereka. Tidak ada seorangpun yang mengenalnya. Setiap malam orang-orang miskin menunggu beliau di depan rumah mereka untuk menerima jatah makanannya. Tapak hitam dipunggung ayahku merupakan bukti bahwa beliau memanggul sendiri makanan yang dibagikan kepada orang miskin."
Salah satu karakteristik manusia sejak dulu hingga kini adalah hidup bermasyarakat. Dalam interaksi sosial, potensi setiap orang akan muncul untuk memenuhi kebutuhannya masing-masing sekaligus orang lain. Demikian juga dengan kita sebagai anggota masyarakat. Kita tidak bisa hidup seorang diri tanpa orang lain. Menurut Imam Sajjad, hanya Allah yang tidak membutuhkan yang lain, kita sebagai makhluk saling membutuhkan. Untuk itu, ketika seseorang berkata, "Tuhanku, jadikan aku orang yang tidak membutuhkan orang lain," beliau berkata. Jangan begitu, setiap orang membutuhkan orang lain. Seharusnya beginilah doamu, "Tuhanku! Jadikan aku orang yang tidak membutuhkan orang-orang yang buruk."
Sejatinya, persahabatan dan pengabdian terhadap sesama merupakan salah satu sifat terpuji manusia. Setiap anggota masyarakat memiliki tanggung jawab yang sama dalam menjalani kehidupan ini. Imam Zainal Abidin dalam Risalah Huquq menyinggung hak antarsesama manusia. Dengan cemerlang, Imam Sajjad menjelaskan bagaimana hak pemimpin terhadap bawahannya dan sebaliknya. Tidak hanya itu, Imam Sajjad juga menjelaskan bagaimana hubungan keluarga menyangkut hak orang tua terhadap anaknya dan sebaliknya, hak bertetangga, berteman dan hak terhadap harta.
Menurut Imam Sajjad, manusia adalah pelayan bagi yang lain, sehingga di masyarakat tumbuh budaya gotong-royong dan saling membantu. Di bagian lain Imam Sajjad mengungkapkan perkataan tentang saudara. Beliau berkata, "Saudara yang buruk adalah orang yang memperhatikanmu ketika keadaan lapang, namun menjauhi ketika sulit." Untuk itu seorang mukmin berkewajiban untuk berbuat baik kepada orang lain.
Dalam pandangan Imam Sajjad, melayani orang lain memiliki berbagai dampak yang sangat besar baik di dunia maupun di akhirat. Salah satunya yang paling natural adalah membantu orang yang terkena musibah dan membutuhkan pertolongan. Imam Sajjad berkata, "Di dunia ini tidak ada yang lebih mulia dari berbuat baik kepada saudara."
Imam Sajjad dalam berbagai riwayat lain menjelaskan bahwa orang yang membantu orang lain akan mendapat ganjaran pahala akhirat, ampunan dosa, kedudukan yang tinggi di surga serta pahala lainnya. Beliau berkata, "Tuhanku, semoga shalawat tercurah atas Muhammad dan keluarganya.., anugerahilah tanganku ini agar bisa berbuat baik kepada orang lain, dan jangan rusakkan kebaikan itu dengan riya dalam diriku."
Imam Sajjad bahkan dalam doanyapun memberikan contoh bagaimana mengabdi dan melayani kebutuhan orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Imam Zainal Abidin kepada putranya berkata, "Barang siapa yang meminta tolong padamu untuk melakukan suatu pekerjaan baik, maka lakukanlah. Jika kamu ahlinya maka lakukan dengan sebaik-baiknya, Jika bukan engkau telah berbuat baik."
Pengabdian adalah tindakan yang dilakukan untuk memenuhi hak orang lain baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini meliputi hubungan antar sesama manusia, hubungan dengan Tuhan, dan alam semesta.
Pengabdian terhadap masyarakat akan memiliki kedudukan tinggi bukan diukur dari seberapa besar pekerjaan itu. Tapi, kualitas layanan dan ketulusan niatlah yang menjadi ukuran dari bernilai atau tidaknya pekerjaan itu. Dengan demikian akan menciptakan sebuah ketenangan spiritual bagi seseorang yang bisa berbuat kebaikan bagi orang lain. Terkait hal ini Imam Sajjad berkata, "Sikap bersahabat dan bersaudara seorang mukmin kepada saudara mukmin lainnya adalah ibadah."
Di bagian lain, Imam Sajjad mengingatkan nilai spiritual berbuat baik kepada orang lain dengan mengatakan, " Allah akan menggembirakan orang yang telah menggembirakan saudaramu."
Imam Sajjad dengan tanpa pamrih dan hanya mengharap keridhaan Allah berbuat baik terhadap orang lain. Ketika bersama rombongan bergerak menuju Mekah untuk menjalankan ibadah haji, beliau meminta supaya pengurus rombongan tidak memperkenalkan jati dirinya kepada yang lain. Dengan cara ini rombongan lain tidak mengenalinya, dan beliau bisa leluasa melayani keperluan mereka yang hendak berangkat untuk menunaikan ibadah haji.
Dalam sebuah perjalanan seseorang mengenalinya dan berkata, "Apakah kalian tahu siapa pemuda ini " Ia tidak lain adalah Ali bin Hussein. Rombongan itu berlari mendekati Imam Sajjad dan memberi hormat serta memohon maaf karena tidak mengenalinya. Imam berkata, "Suatu hari saya berangkat bersama rombongan haji dan anggota rombongan mengenalnya dan menghormatiku, sebagaimana mereka menghormati Rasulullah. Akhirnya merekalah yang melayani keperluanku bukan sebaliknya. Padahal saya ingin melayani keperluan mereka. Inilah alasan saya tidak ingin dikenali oleh mereka." [] IRIB

Sayyidah Zainab as, Srikandi Keadilan

Hari ini tepat tanggal 15 Rajab, kita memperingati wafatnya Sayidah Zainab al-Kubra binti Ali bin Abi Thalib as. Beliau adalah wanita agung yang memainkan peran besar dalam perjalanan sejarah Islam saat membela keadilan, kebenaran dan ajaran Allah dengan penuh kesabaran. Ketabahannya menghadapi berbagai musibah dan bencana sangat mengagumkan. Nama Zainab selalu disebut kala kisah Karbala diungkap. Beliaulah yang memikul misi melanjutkan perjuangan Imam Husein dalam membela kebenaran dan agama Allah. Perjuangan Zainab sarat dengan derita dan musibah. Tak salah jika beliau menjadi simbol ketegaran dalam perjuangan.
Saat terjadinya peristiwa pembantaian keluarga Nabi di padang Karbala dan rangkaian peristiwa yang terjadi setelahnya, Zainab as menunjukkan perilaku yang bersumber dari keimanan dan makrifat yang dalam. Semua yang dilakukannya dalam membela kebenaran adalah demi mengharap ridha Allah Swt dan karena kecintaannya kepada Sang Maha Esa. Demi menjalankan perintah Allah, beliau rela meninggalkan kehidupannya yang nyaman di Madinah untuk pergi mengikuti saudaranya dalam sebuah safari penuh duka.
Zainab menyertai Imam Husein dalam sebuah gerakan kebangkitan besar untuk menghidupkan ajaran Nabi yang sudah disimpangkan dan menegakkan amar makruf dan nahi munkar. Imam Husein juga menyebut kebangkitannya ini dimaksudkan untuk memperbaiki kondisi umat Islam. Sebab, di masa itu dasar-dasar pemikiran Islam terancam diselewengkan oleh penguasa bani Umayah yang berkuasa atas nama agama padahal mereka tidak patuh melaksanakan perintah agama. Bisa dikata, gerakan Imam Husein ibarat percikan api yang menggugah kesadaran umat dan menggelora setelah Zainab al-Kubra dan Imam Sajjad as mengungkap kebobrokan bani Umayah dan menyadarkan umat akan ajaran Nabi yang benar.
Pidato-pidato yang disampaikan Zainab as setelah peristiwa Karbala memiliki kesamaan dalam satu hal, yaitu penekanannya pada logika dan rasionalitas. Dengan itu, beliau menjelaskan kepada masyarakat umum akan tujuan dari kebangkitan Imam Husein as dengan disertai argumentasi yang kokoh. Di Kufah maupun di istana Yazid di Damaskus, putri Ali ini menjelaskan apa yang terjadi di tengah masyarakat Islam saat itu dengan ungkapan yang indah dan tegas. Beliau menggugah akal umat untuk menghakimi sendiri apa yang terjadi. Zainab as meyakini bahwa Imam Husein bukan milik kelompok, daerah atau waktu tertentu. Husein as adalah gerakan sejarah. Untuk itu, beliau dalam banyak kesempatan menerangkan misi kebangkitan saudara dan imamnya itu untuk menggugah umat dan mereka yang tertindas agar bangkit melawan kezaliman.
Sekitar 14 abad sudah berlalu dari tragedi Karbala. Namun sampai saat ini, peristiwa agung itu tetap mengilhami kebangkitan kaum tertindas dan para pejuang kebenaran. Tak syak bahwa kebangkitan Islam yang kita saksikan saat ini di berbagai belahan dunia Islam terinspirasi oleh gerakan Imam Husein as di Karbala.
Keistimewaan lain dari gerakan pencerahan Zainab as adalah ketepatan dalam mengenal waktu dan kesempatan. Beliau mengenal dengan baik seluruh dimensi peristiwa Karbala dan rangkaian peristiwa setelahnya. Di saat banyak tokoh zaman itu yang meski dikenal dengan kedalaman ilmu dan keberanian meragukan misi gerakan Imam Husein sehingga membuat mereka enggan terlibat dan membantu beliau, Zainab justeru membulatkan tekad untuk menyertai saudaranya dalam perjuangan ini. Zainab tahu bahaya dan kesulitan yang ada. Namun semua itu tak membuat tekadnya mengendur untuk tetap mendampingi al-Husein as.
Zainab al-Kubra dikenal dengan kefasihan lisan dan ketinggian makrifatnya. Dengan bekal kefasihan dan makrifat itulah beliau memberikan pencerahan kepada umat. Tema-tema yang dibicarakannya dalam berbagai kesempatan di Kufah dan di Syam adalah soal nilai-nilai agama yang sudah dilupakan atau mulai dicampakkan oleh kaum Muslimin. Beliau mencela umat yang bungkam menyaksikan kejahatan Bani Umayah. Dengan kepiawaiannya dalam berpidato, Zainab mencegah pemutarbalikan fakta yang dilakukan oleh penguasa Syam dan kaki tangannya.
Kisah masuknya rombongan tawanan Karbala yang terdiri dari keluarga suci Nabi yang rata-rata perempuan dan anak kecil dalam kondisi kaki dan tangan terbelenggu ke kota Kufah merupakan pentas kesedihan tersendiri. Beberapa tahun sebelumnya, kota itu adalah markas para pencinta Ahlul Bait. Di sanalah Zainab al-Kubra menangkis konspirasi Ubaidillah bin Ziyad yang berusaha mengesankan keluarga Nabi sebagai kelompok pemberontak yang memecahbelah persatuan umat. Dengan kesabaran yang tiada tara, Zainab menjelaskan kepada umat akan apa sebenarnya yang terjadi dan misi apa yang diperjuangkan oleh Imam Husein as. Kesabaran putri Ali itu adalah bagian dari perjuangan dan aksinya dalam melawan penguasa yang zalim.
Dalam khotbahnya, Zainab menerangkan kedekatan hubungannya dengan Nabi Saw dengan menyebut beliau dengan sebutan ayah. Dengan cara ini, Zainab menggugah kesadaran umat akan siapa sebenarnya tawanan Karbala ini yang tak lain adalah anak cucu Nabi Saw. Beliau lantas menyinggung pengkhianatan warga Kufah. Dengan kata-kata yang indah memukau dan tajam, Zainab menjelaskan kejahatan besar apa yang telah dilakukan warga Kufah terhadap keluarga Nabi. Dalam salah satu penggalan khotbahnya yang menjelaskan pedihnya tragedi Karbala, Zainab berkata, "Hampir saja langit terbuka, bumi terbelah dan gunung berhamburan. Bukan hal yang mengherankan jika langit menurunkan tetesan-tetesan darah karena kepedihan duka ini."
Hal lain yang dilakukan Zainab dalam mengenalkan misi pengorbanan Imam Husein adalah dengan menggelar acara berkabung saat berada di Syam, pusat kekuasaan Bani Umayah. Acara berkabung itu menimbulkan kesan yang sangat dalam sehingga mereka yang menyaksikan atau mendengarnya terbakar kesedihan yang berujung pada gejolak umum untuk menyerang Yazid bin Muawiyah. Untuk menunjukkan kesedihan yang dalam, Zainab memerintahkan untuk memasang kain hitam supaya masyarakat mengetahui bahwa putra-putri Fathimah sedang berkabung.
Bagi pihak musuh, apa yang dilakukan srikandi Karbala ini terkesan kecil dan remeh. Namun tanpa mereka sadari, kesan yang ditimbulkannya sangat besar dan berhasil melahirkan gelombang penentangan terhadap kekuasaan Bani Umayah. Zainab hanya bertahan hidup setahun setelah peristiwa Karbala. Namun dalam masa yang singkat itu, setiap kesempatan selalu beliau manfaatkan untuk menerangkan misi kebangkitan Imam Husein yang berujung pada kesyahidan beliau di Karbala. Sosok Zainab menjadi teladan sepanjang sejarah untuk rasionalitas, ketegaran, keberanian, semangat, ketegasan dan kebesaran jiwa.
Dengan mengucapkan bela sungkawa atas peringatan wafatnya wanita suci cucu tercinta Nabi ini, sangat tepat bila kita menyimak bersama penggalan dari kata-kata Pemimpin Besar Revolusi Islam Ayatollah al-Udzma Sayid Ali Khamenei mengenai Zainab al-Kubra as. Beliau mengatakan, "Zainab adalah sosok wanita Muslimah teladan dalam bentuknya yang sempurna. Artinya, ini adalah teladan yang diperkenalkan Islam kepada semua orang dalam mendidik perempuan. Zainab memiliki kepribadian multi dimensi. Beliau adalah sosok yang pandai, berpengalaman, memiliki makrifat yang tinggi dan manusia yang menonjol. Siapa saja yang berhadapan dengannya akan tertunduk menyaksikan keagungan ilmu dan jiwanya... Zainab mengkombinasikan antara emosi dan afeksi dengan keagungan dan kekokohan hati seorang insan yang mukmin... Keberserahandirinya kepada rahmat Ilahi yang memberinya keagungan telah membuat segala derita dan musibah besar nampak kecil dan kerdil di matanya. Musibah besar seperti yang terjadi di hari Asyura tak mampu melumpuhkan Zainab.." []Irib

Nasiruddin Al-Tusi, Ilmuwan Persia yang Serba Bisa

Ilmuwan serba bisa. Julukan itu rasanya amat pantas disandang Nasiruddin Al-Tusi. Sumbangannya bagi perkembangan ilmu pengetahuan modern sungguh tak ternilai besarnya.
Selama hidupnya, ilmuwan Muslim dari Persia itu mendedikasikan diri untuk mengembangkan beragam ilmu seperti, astronomi, biologi, kimia, matematika, filsafat, kedokteran, hingga ilmu agama Islam.
Sarjana Muslim yang kemasyhurannya setara dengan teolog dan filsuf besar sejarah gereja, Thomas Aquinas, itu memiliki nama lengkap Abu Ja'far Muhammad ibn Muhammad ibn Al-Hasan Nasiruddin Al-Tusi.
Ia lahir pada 18 Februari 1201 M di Kota Tus yang terletak di dekat Meshed, sebelah timur laut Iran. Sebagai seorang ilmuwan yang amat kondang di zamannya, Nasiruddin memiliki banyak nama. Antara lain Muhaqqiq Al-Tusi, Khuwaja Tusi, dan Khuwaja Nasir.
Nasiruddin lahir di awal abad ke-13 M, ketika dunia Islam tengah mengalami masa-masa sulit. Pada era itu, kekuatan militer Mongol yang begitu kuat menginvasi wilayah kekuasaan Islam yang amat luas. Kota-kota Islam dihancurkan dan penduduknya dibantai habis tentara Mongol dengan sangat kejam.
Menurut JJ O'Connor dan EF Robertson, pada masa itu dunia diliputi kecemasan. Hilangnya rasa aman dan ketenangan itu membuat banyak ilmuwan sulit untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
Nasiruddin pun tak dapat mengelak dari konflik yang melanda negerinya. Sejak kecil, Nasiruddin digembleng ilmu agama oleh ayahnya yang berprofesi sebagai seorang ahli hukum di Sekolah Imam Keduabelas.
Selain digembleng ilmu agama di sekolah itu, Nasiruddin juga mempelajari beragam topik ilmu pengetahuan lainnya dari sang paman. Menurut O'Connor dan Robertson, pengetahuan tambahan yang diperoleh dari pamannya itu begitu berpengaruh pada perkembangan intelektual Nasiruddin.
Pengetahuan pertama yang diperolehnya dari sang paman antara lain logika, fisika, dan metafisika. Selain itu, Nasiruddin juga mempelajari matematika pada guru lainnya. Ia begitu tertarik pada aljabar dan geometri.
Ketika menginjak usia 13 tahun, kondisi keamanan kian tak menentu. Pasukan Mongol di bawah pimpinan Jengis Khan yang berutal dan sadis mulai bergerak cepat dari Cina ke wilayah barat. Sebelum tentara Mongol menghancurkan kota kelahirannya, dia sudah mempelajari dan menguasai beragam ilmu pengetahuan.
Untuk menimba ilmu lebih banyak lagi, Nasiruddin hijrah dari kota kelahirannya ke Nishapur—sebuah kota yang berjarak 75 kilometer di sebelah barat Tus.
Di kota itulah, Nasiruddin menyelesaikan pendidikan filsafat, kedokteran, dan matematika. Dia sungguh beruntung, karena bisa belajar matematika dari Kamaluddin ibn Yunus. Kariernya mulai melejit di Nishapur. Nasiruddin pun mulai dikenal sebagai seorang sarjana yang hebat.
Pada tahun 1220 M, invasi militer Mongol telah mencapai Tus dan kota kelahiran Nasiruddin pun dihancurkan. Ketika situasi keamanan tak menentu, penguasa Ismailiyah Nasiruddin 'Abdurrahim mengajak sang ilmuwan itu untuk bergabung.
Tawaran itu tak disia-siakannya. Nasiruddin pun bergabung menjadi salah seorang pejabat di Istana Ismailiyah. Selama mengabdi di istana itu, Nasiruddin mengisi waktunya untuk menulis beragam karya yang penting tentang logika, filsafat, matematika, serta astronomi. Karya pertamanya adalah kitab Akhlag-i Nasiri yang ditulisnya pada 1232 M.
Pasukan Mongol yang dipimpin Hulagu Khan—cucu Jengis Khan—pada tahun 1251 M akhirnya menguasai Istana Alamut dan meluluh-lantakannya. Nyawa Nasiruddin selamat, karena Hulagu ternyata sangat menaruh minat terhadap ilmu pengetahuan.
Hulagu yang dikenal bengis dan kejam memperlakukan Nasiruddin dengan penuh hormat. Dia pun diangkat Hulagu menjadi penasihat di bidang ilmu pengetahuan.
Meski telah menjadi penasihat pasukan Mongol, sayangnya Nasiruddin tak mampu menghentikan ulah dan kebiadaban Hulagu Khan yang membumihanguskan kota metropolis intelektual dunia, Baghdad, pada tahun 1258 M.
Terlebih, saat itu Dinasti Abbasiyah berada dalam kekuasaan Khalifah Al-Musta'sim yang lemah. Terbukti, militer Abbasiyah tak mampu membendung gempuran pasukan Mongol.

Meski tak mampu mencegah terjadinya serangan bangsa Mongol, paling tidak Nasiruddin bisa menyelamatkan dirinya dan masih berkesempatan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya.
"Hulagu sangat bangga karena berhasil menaklukkan Baghdad dan lebih bangga lagi karena ilmuwan terkemuka seperti Al-Tusi bisa bergabung bersamanya,'' papar O'Connor dan Robertson dalam tulisannya tentang sejarah Nasiruddin.
Hulagu juga amat senang, ketika Nasirrudin mengungkapan rencananya untuk membangun Observatorium di Maragha.
Saat itu, Hulagu telah menjadikan Maragha yang berada di wilayah Azerbaijan sebagai ibu kota pemerintahannya.
Pada tahun 1259 M, Nasiruddin pun mulai membangun observatorium yang megah. Jejak dan bekas bangunan observatorium itu masih ada hingga sekarang.
Observatorium Maragha mulai beroperasi pada tahun 1262 M. Pembangunan dan operasional observatorium itu melibatkan sarjana dari Persia dibantu astronom dari Cina.
Teknologi yang digunakan di observatorium itu terbilang canggih pada zamannya. Beberapa peralatan dan teknologi penguak luar angkasa yang digunakan di observatorium itu ternyata merupakan penemuan Nasiruddin, salah satunya adalah 'kuadran azimuth'.
Selain itu, dia juga membangun perpustakaan di observatorium itu. Koleksi bukunya tebilang lengkap, terdiri dari beragam ilmu pengetahuan. Di tempat itu, Nasiruddin tak cuma mengembangkan bidang astronomi saja. Dia pun turut mengembangkan matematika dan filsafat.
Di observatorium yang dipimpinnya itu, Nasiruddin Al-Tusi berhasil membuat tabel pergerakan planet yang sangat akurat. Kontribusi lainnya yang amat penting bagi perkembangan astronomi adalah kitab Zij-i Ilkhani yang ditulis dalam bahasa Persia dan lalu diterjemahkan dalam bahasa Arab. Kitab itu disusun setelah 12 tahun memimpin Observatorium Maragha.
Selain itu, Nasiruddin juga berhasil menulis kitab terkemuka lainnya berjudul Al-Tadhkira fi'ilm Al-Hay'a (Memoar Astronomi). Nasiruddin mampu memodifikasi model semesta episiklus Ptolomeus dengan prinsip-prinsip mekanika untuk menjaga keseragaman rotasi benda-benda langit.
Nasiruddin meninggal dunia pada 26 Juni 1274 M di Baghdad. Meski begitu, jasa dan kontribusinya dalam pengembangan ilmu pengetahuan masih tetap dikenang. Namanya, dibadikan mejadi salah satu nama kawah di bulan./ROL

Imam Muhammad Al Baqir, Penyingkap Khazanah Ilmu

Hari Lahir

Imam Muhammad Al-Baqir as dilahirkan pada awal bulan Rajab tahun 57 Hijriah di Madinah Al-Munawwarah. Beliau adalah Imam kelima Ahlulbait as. Ayahnya adalah Imam Ali Zainal Abidin as, dan ibunya adalah seorang wanita dari keturunan Imam Hasan as yang bernama Fatimah.
Dengan demikian, Imam Muhammad Baqir as adalah imam pertama yang memiliki nasab keturunan Rasulullah saw dari pihak ayah dan ibu, sekaligus.
Imam Al-Baqir as mengalami hidup bersama kakeknya, Imam Husain as pada saat tragedi Karbala, yang ketika itu beliau masih berusia empat tahun.
Beliau hidup bersama ayahnya selama 18 tahun dan masa itu adalah masa keimamahan (kepemimpinan)-nya. Beliau mengkhidmatkan masa-masa hidupnya demi menyebarkan ilmu pengetahuan Islam.
Orang-orang memberi beliau gelar Al-Baqir (Sang Jenius), karena beliau telah membongkar ilmu pengetahuan dari khazanah-khazanahnya. Imam as juga memiliki gelar-gelar lain yang menunjukkan sifat dan akhlak agung beliau, seperti Asy-Syakir (yang banyak bersyukur) dan Al-Hadi (pemberi petunjuk).
Sewaktu masih berusia belia, Imam Muhammad Al-Baqir as bertemu dengan sebagian besar sahabat utama Nabi, seperti Jabir bin Abdillah Al-Anshari. Kepada beliau Jabir mengatakan, “Rasulullah mengirimkan salam untukmu.” Salam ini membuat orang-orang yang hadir saat itu menjadi heran.
Jabir melanjutkan, “Suatu hari aku sedang duduk bersama Rasulullah, sedangkan Husain as berada di haribaannya. Beliau berkata padaku, ‘Hai Jabir, putraku ini kelak mempunyai seorang anak yang bernama Ali. Dan pada Hari Kiamat, seseorang akan memanggilnya ‘Sayyidul Abidin’. Kemudian melalui Ali, seorang anak yang bernama Muhammad Al-Baqir—yang memiliki keluasan ilmu—akan lahir. Bila engkau berjumpa dengannya, sampaikan salamku kepadanya.’”
Imam Al-Baqir as memiliki dua kebun yang dikelola oleh beliau sendiri. Beliau melibatkan para petani untuk menuai hasil kebunnya, serta menginfakkan kepada para fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan. Pada zaman itu, beliau dikenal sebagai orang yang paling dermawan.
Dinukil dalam kitab-kitab sejarah, bahwa seorang sufi bernama Muhammad bin Al-Munkadir berkata, “Aku belum pernah melihat seseorang seperti Ali bin Husain as yang meninggalkan keturunan yang begitu utama, sampai aku melihat putranya Muhammad as. Aku hendak menasihatinya, ia malah lebih dulu menasihatiku. Pada suatu hari, saat matahari terik menyinari bumi, aku keluar menuju sebuah daerah di luar kota Madinah. Aku bertemu dengan Muhammad bin Ali as yang sedang bersandar pada dua orang budaknya. Aku berkata pada diriku sendiri, ‘Orang tua Quraisy di saat seperti ini masih sibuk mencari dunia? Demi Allah, aku akan menasihatinya.’
“Aku mendekatinya dan mengucapkan salam kepadanya. Ia pun menjawab salamku. Aku melihat dia penuh dengan peluh yang membasahi tubuhnya. Aku berkata padanya, ‘Semoga Allah memberikan hidayah-Nya padamu, wahai orang tua Quraisy. Di saat seperti ini kau masih sibuk mencari dunia? Bagaimana kalau sekiranya maut datang menjemputmu sedang kau dalam keadaan seperti ini?’
“Ia melepaskan kedua tangannya dari sandaran kedua budaknya dan berkata, ‘Demi Allah, jika sekiranya maut datang kepadaku dalam keadaan seperti ini, sungguh ia datang kepadaku sedang aku dalam ketaatan kepada Allah, yang dengannya jiwaku bisa terhindar darimu dan manusia lainnya. Sesungguhnya yang aku takutkan adalah bila kematian itu datang sedang aku dalam keadaan bermaksiat kepada Allah.’
“Mendengar jawabannya, aku membalas kagum, ‘Semoga Allah mengasihimu. Aku sebenarnya ingin menasihatimu, malah kaulah yang menasihatiku.’”
Dalam kisah ini, Imam Muhammad Al-Baqir as menunjukkan sikap tegas beliau sehingga orang dapat memahami, bahwa mencari rezeki itu adalah ibadah dan ketaatan kepada Allah SWT, bukan malah meninggalkan pekerjaan dan menghabiskan waktunya untuk salat sementara hidupnya menjadi tanggungan orang lain, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian kaum sufi, seperti Ibn Al-Munkadir dan yang lainnya.

Keilmuan Imam

Seorang warga Syam, yang sebelumnya enggan hadir di majlis Imam Muhammad Al-Baqir as, berkata kepada beliau, “Tidak ada seorang pun di muka bumi ini yang lebih aku benci daripadamu. Kebencian padamu sungguh ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Meski begitu, aku melihatmu begitu sopan, beradab serta bertutur-kata yang santun. Maka ketahuilah, kehadiranku di majlismu ini karena kebaikan budi dan bahasamu.”
Dalam setiap kesempatan, Imam Al-Baqir as selalu mengatakan yang baik. Kepada orang Syam itu Imam as mengatakan, “Tiada sesuatu pun yang tersembunyi di sisi Allah SWT.”
Selang beberapa hari, orang tersebut tidak pernah kelihatan lagi. Imam as merasa kehilangan. Beliau bertanya kepada orang-orang yang mengenalnya. Kata mereka, orang itu sedang sakit.
Imam as bergegas menjenguknya. Beliau duduk di sisinya sambil bercakap-cakap dan bertanya tentang penyebab sakitnya. Lalu, Imam menganjurkan agar memakan makanan yang dingin dan segar. Setelah itu, Imam as pun meninggalkan orang tersebut.
Beberapa hari kemudian, orang itu pulih dari sakitnya. Pertama kali yang dia lakukan ialah pergi ke majelis Imam as. Di sana, dia memohon maaf kepada Imam, dan akhirnya menjadi salah satu sahabat beliau.
Dikisahkan, seseorang bertanya kepada Abdullah bin Umar tentang sebuah masalah. Abdullah kebingungan menjawabnya. Ia berkata kepada si penanya, “Pergilah kepada anak itu, dan tanyalah padanya, kemudian beritahukan jawabannya kepadaku.” Anak yang dimaksudkannya itu ialah Imam Muhammad Al-Baqir as.
Maka orang tersebut datang kepada Imam as. dan bertanya padanya. Selekas itu, ia kembali kepada Abdullah dengan membawa jawaban yang didapatkannya dari beliau. Abdullah berkata, “Sesungguhnya mereka adalah Ahlul Bait Nabi yang telah diberikan pemahaman tentang segala sesuatu.”

Dialog dengan Pendeta

Imam Ja’far Ash-Shadiq as menceritakan, bahwa suatu ketika beliau berada di Syam bersama ayahnya (Imam Muhammad Al-Baqir as). Keberadaan mereka di Syam karena Khalifah Hisyam bin Abdul Malik meminta mereka untuk datang ke sana.
Pada suatu hari, Imam Al-Baqir as melihat kerumunan orang-orang di sebuah tempat. Semua sedang menantikan seseorang. Beliau menanyakan perihal mereka itu. Dijawab, “Mereka itu sedang menunggu salah seorang pendeta, karena ia hanya muncul setahun sekali. Mereka bertanya dan meminta fatwa darinya.”
Imam as ikut menunggu bersama mereka sampai pendeta tersebut datang. Tatkala pendeta itu melihat Imam, ia menyapa beliau, “Apakah Anda dari golongan kami atau dari umat yang perlu dikasihani ini?”
Imam as menjawab, “Aku dari umat ini.”
Pendeta bertanya lagi, “Dari orang awam umat ini atau dari ulamanya?”
Imam menjawab, “Aku bukan dari orang awamnya.”
Pendeta berkata lebih serius, “Aku punya beberapa pertanyaan untuk Anda; dari mana Anda percaya bahwa penghuni surga makan dan minum tapi mereka tidak buang air?”
Imam as menjawab, “Bukti kami adalah janin yang ada dalam rahim ibunya. Ia makan tapi tidak buang kotoran.”
Pendeta itu bertanya lagi, “Beritahukan kepadaku tentang setenggat waktu yang tidak terhitung malam juga tidak terhitung siang.”
Imam as menjawab, “Waktu di antara terbitnya fajar dan terbitnya matahari.”
Mendengar jawaban-jawaban Imam as, sang pendeta terkejut. Ia ingin sekali membungkam Imam dengan pertanyaan lain. Ia berkata, “Kabarkan kepadaku tentang dua bayi yang keduanya dilahirkan pada hari yang sama dan meninggal pada hari yang sama juga. Umur bayi yang pertama 50 tahun dan yang kedua 150 tahun.”
Imam as menjawab, “Uzair dan saudaranya, saat itu usia Uzair 25 tahun. Tatkala melewati suatu desa di Antakia yang ditinggal mati oleh penduduknya, ia merenung, ‘Bagaimana Allah akan menghidupkan penduduk ini setelah kematian mereka?’
“Kemudian Allah SWT mematikan Uzair selama 100 tahun, lalu membangkitkannya lagi dan ia kembali ke rumahnya dalam keadaan muda, sementara saudaranya sudah tua-renta. Uzair hidup bersama saudaranya selama 25 tahun, dan kedua bersaudara itu pun meninggal pada hari yang sama.”
Melihat keluasan dan ketinggian ilmu Imam Al-Baqir as ini, pendeta itu lagi-lagi takjub. Tak ayal lagi, ia pun menyatakan keislamannya di depan khalayak, dan diikuti oleh sahabat-sahabatnya.

Di Majelis Hisyam

Khalifah Hisyam bin Abdul Malik mengundang Imam Muhammad Al-Baqir as dan putranya, Imam Ja’far Ash-Shadiq. Karena itu, keduanya meninggalkan Madinah, bergerak menuju Syam. Tujuan undangan Hisyam sebenarnya hendak menunjukkan kebesaran kerajaannya.
Setibanya di Syam, Imam Al-Baqir as memasuki istana, yang ketika itu Hisyam duduk di atas singgasana dengan dikelilingi oleh pengawal bersenjata dan di depannya ada golongan elite yang siap berlomba memanah. Hisyam berkata, “Ya Muhammad! Coba kau bertanding melawan orang-orang ini dan bidikkan panah ke sasaran!”
Imam as berkata, “Sesungguhnya aku sudah lama meninggalkan permainan memanah. Maafkan aku.”
Hisyam menolak alasan Imam, dan memaksanya untuk melakukannya. Ia pun menyuruh seorang tokoh dari Bani Umayyah untuk mengambilkan panah dan busurnya. Akhirnya, Imam as menerimanya dan meletakkan anak panah itu pada busurnya, kemudian ia lesatkan ke sasaran dan tepat mengenai titik pusatnya. Untuk kedua kalinya, beliau membidikkan anak panah, hingga yang kesembilan kali. Semua anak panah itu menancap tepat pada sasaran.
Hisyam pun tercengang melihat kepandaian Imam as dan memujinya sambil berkata, “Alangkah pandainya kau wahai Abu Ja’far. Kau adalah orang yang paling pandai memanah dari kalangan Arab dan Ajam. Beginikah kau katakan, ‘Aku sudah lama meninggalkan permainan memanah?”
Kemudian, Hisyam menuntun Imam Al-Baqir as dan mendudukkannya di sampingnya. Ia berkata, “Wahai Muhammad! Bangsa Arab dan Ajam akan senantiasa mengikuti orang-orang Quraisy selagi di tengah-tengah mereka ada orang sepertimu. Demi Allah, siapa yang mengajarimu memanah? Dan pada usia berapakah kau mempelajarinya?”
Imam as menjawab, “Aku belajar di masa aku masih kecil, kemudian aku tinggalkan.”
Hisyam berkata, “Aku tidak pernah menyangka bahwa di atas bumi ini masih ada orang yang memanah seperti ini. Apakah Ja’far (putra Imam as) juga dapat memanah seperti ini? Apakah dia juga dapat memanah sebagaimana engkau memanah?”
Imam as menjawab, “Kami Ahlulbait Nabi mewarisi kesempurnaan dan kelengkapan yang keduanya telah Allah SWT turunkan kepada Nabinya saw dalam firmannya, ‘Pada hari ini telah aku sempurnakan bagimu agamamu dan telah aku lengkapkan nikmatku untukmu serta aku rela Islam sebagai agamamu.’
Mendengar jawaban itu, muka Hisyam memerah lantaran marah dan berkata, “Dari mana kau mewarisi ilmu ini, padahal tidak ada nabi setelah Muhammad dan kau sendiri juga bukanlah seorang nabi?”
Imam as menjawab, “Kami mewarisinya dari datuk kami Ali bin Abi Thalib as. Beliau pernah berkata, ‘Rasulullah saw telah mengajariku seribu pintu ilmu ... Dari setiap pintunya terbuka seribu ilmu lagi ....”
Hisyam pun diam tertunduk sambil berpikir. Lalu ia memerintahkan pengawalnya untuk mengembalikan Imam Muhammad Al-Baqir as dan putranya, Imam Ja’far Ash-Shadiq as ke Madinah secepat mungkin, karena ia takut kehadiran dua Imam ini di Syam akan mengundang simpati warga kota kepada mereka.

Mata Uang Islam

Perebutan batas-batas wilayah yang sangat keras sekali telah terjadi antara negara Islam dan Romawi. Imperium Romawi mengancam Abdul Malik bin Marwan akan memutus mata uang negara Islam bila tidak menyerahkan wilayah-wilayah yang dipersengketakan. Abdul Malik merasa ketakutan dan ia tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Ia kumpulkan pemuka-pemuka dan tokoh-tokoh umat Islam untuk dimintai pendapatnya, tapi mereka tidak bisa memberikan keputusan apa-apa. Akhirnya, sebagian mereka mengusulkan agar merujuk kepada Imam Muhammad Al-Baqir as.
Lalu, Abdul Malik mengutus utusan untuk memanggil Imam as ke Syam. Beliau pun memenuhi panggilan tersebut. Setelah mengetahui duduk persoalan, beliau mengatakan kepada Abdul Malik, “Tidak ada yang perlu ditakutkan. Cepat kirim utusan ke Kaisar Romawi dan mintalah jangka waktu darinya. Di sela-sela itu, kirimlah surat ke gubernur-gubernur daerah, dan perintahkan mereka untuk mengumpulkan emas dan perak, sehingga bila telah sampai jumlah yang cukup, segeralah engkau mencetak mata uang Islam!”
Kemudian, Imam as menentukan timbangan dan bentuknya. Beliau memerintahkan Abdul Malik untuk menuliskan di atas salah satu sisi uang tersebut kalimat “Muhammad Rasulullah.” Bila pekerjaan ini telah selesai, tidak akan terjadi transaksi dengan mata uang Romawi. Ketika itulah Imperium Romawi tidak akan punya kekuatan lagi di hadapan pemerintahan Islam.
Setelah pekerjaan itu selesai dan mata uang Islam sudah tersebar, Abdul Malik mengeluarkan keputusannya yang terakhir mengenai persengketaan batas-batas wilayah.
Dan ternyata, Imperium Romawi tidak mendapatkan cara apapun untuk melancarkan tekanan terhadap ekonomi negara Islam. Maka, dipilihlah jalan militer. Akan tetapi, mereka pun gagal, setelah laskar-laskar muslimin menyerang pasukan mereka.
Demikianlah Imam kita, Imam Muhammad Al-Baqir as. Dengan pikiran dan arahannya yang cemerlang, beliau telah menyelamatkan pemerintahan Islam dari ancaman musuh-musuh, sehingga kaum muslimin memiliki mata uang sendiri yang menjadi lambang kebesaran Islam.

Sahabat-Sahabat Imam

Tatkala orang-orang Bani Umayyah sibuk meredam kekacauan dan kerusuhan massa di sana-sini, Imam Muhammad Al-Baqir as mendapatkan kesempatan yang baik untuk menyebarkan ilmu pengetahuan, membina kader-kader, dan mengokohkan ajaran-ajaran Ahlulbait as.
Pada zaman Imam as, telah muncul sebagian murid-murid utama beliau yang memiliki peranan besar dalam penyebaran ajaran-ajaran tersebut. Di antara mereka yang paling menonjol ialah:
1. Aban bin Taghlib
Ia pernah hidup sezaman dengan tiga imam Ahlulbait. Ia juga pernah menghadiri majelis Imam Ali Zainal Abidin as, Imam Muhammad Al-Baqir as, dan Imam Ja’far Ash-Shadiq as. Namun begitu, ia lebih banyak belajar pada Imam Al-Baqir as.
Aban menonjol di bidang ilmu Fiqh, Hadis, Sastra Arab, Tafsir, dan Nahwu. Imam Al-Baqir as pernah berkata kepadanya, “Duduklah di masjid Madinah dan ajarilah masyarakat, karena sesungguhnya aku lebih suka melihat orang sepertimu di antara pengikutku.”
2. Zurarah bin A’yun
Tentang Zurarah, Imam Ja’far as mengatakan, “Sekiranya tidak ada Zurarah, niscaya hadis-hadis ayahku akan hilang.”
Dalam kesempatan yang lain, Imam as menyatakan, “Semoga Allah mengasihi dan merahmati Zurarah bin A’yun. Seandainya tidak ada Zurarah dan orang-orang sepertinya, tidak akan ada yang tersisa lagi hadis-hadis ayahku.”
3. Muhammad bin Muslim Ats-Tsaqafi
Imam Ja’far Ash-Shadiq as sangat menghormati dan mencintai Muhammad. Dia adalah salah seorang sahabat utama dari empat orang sahabat Imam Ja’far as. Beliau berkata, “Empat orang manusia yang sangat aku cintai, baik mereka masih hidup maupun sesudah meninggal dunia.”
Imam Ja’far as memerintahkan sebagian sahabat-sahabatnya untuk merujuk kepada Muhammad dengan perkataannya, “Ia telah mendengarkan hadis-hadis ayahku, dan dia orang terpandang di sisi ayahku.”
Muhammad bin Muslim sendiri pernah menyatakan, “Aku bertanya kepada Imam Muhammad Al-Baqir as tentang tiga puluh ribu hadis.”
Imam Ja’far as seringkali memuji sahabat-sahabat ayahnya. Beliau mengatakan, “Sekiranya sahabat-sahabatku mendengarkan dan taat kepadaku, niscaya akan aku titipkan kepada mereka apa yang ayahku titipkan pada sahabat-sahabatnya. Sesungguhnya semua sahabat ayahku menjadi penghias bagi kami, di masa hidupnya maupun matinya.”
Di antara sahabat Imam Muhammad Al-Baqir as yang lain adalah Al-Kumait Al-Asady, seorang pujangga ternama. Setiap kali berjumpa dengannya, Imam Al-Baqir as memanjatkan doa, “Ya Allah! Curahkanlah ampunan-Mu kepada Al-Kumait!”

Hari Kesyahidan

Meskipun usaha Imam Muhammad Al-Baqir as hanya tercurahkan di bidang-bidang ilmu pengetahuan dan penyebaran agama, akan tetapi para penguasa Bani Umayyah tidak bisa tenang melihat keberadaannya, khususnya setelah orang-orang mengetahui keutamaan, keluhuran, dan keluasan ilmu beliau. Kepribadian, akhlak, dan rasa kemanusiannnya menyinari mereka. Sebagaimana dari silsilah nasab beliau yang bersambung langsung ke Rasulullah saw, semua itu mengangkat kedudukannya di hati umat Islam menjadi begitu tinggi nan agung.
Begitu pula bagi Hisyam bin Abdul Malik. Dia senantiasa berpikir untuk membunuh Imam Al-Baqir as. Akhirnya, dia gunakan racun untuk membunuh beliau. Di tangannyalah Imam as syahid pada 7 Dzulhijjah 114 H.
Imam Muhammad Al-Baqir as telah menjalani masa hidupnya selama 57 tahun untuk mengabdi sepenuhnya kepada Islam dan kaum muslimin serta menyebarkan ilmu pengetahuan dan ajaran Ahlulbait as.[]

Mutiara Hadis Imam Al-Baqir as

• “Kesombongan tidak akan masuk ke dalam hati seseorang kecuali akalnya kurang.”
• “Seorang alim yang mengamalkan ilmunya adalah lebih utama dari seribu orang ‘abid (yang tekun ibadah). Demi Allah, kematian seorang alim lebih disukai oleh iblis daripada kematian tujuh puluh orang ‘abid.”
• Kepada salah seorang anaknya, beliau mengatakan, “Wahai anakku, jauhilah kemalasan dan kebosanan, karena keduanya adalah kunci segala keburukan. Sesungguhnya bila kamu malas, niscaya engkau tidak akan pernah menunaikan tanggung jawabmu, dan bila kamu bosan niscaya engkau tidak akan bersabar dalam melaksanakan tugasmu.”
• “Cukuplah besarnya aib seseorang tatkala ia memandang aib orang lain sementara aibnya sendiri tidak pernah ia lihat. Dan cukuplah besarnya aib seseorang tatkala ia memerintahkan orang lain akan suatu yang ia sendiri tidak mampu mengembannya.”
• Dalam nasihat untuk salah seorang sahabatnya, Imam as mengatakan, “Aku wasiatkan kepadamu lima perkara: bila engkau dianiaya, maka janganlah kau membalasnya, bila engkau dikhianati, maka janganlah kau balas dengan khianat pula, bila kau didustai, maka janganlah kau balas dengan dusta pula, bila engkau dipuji, maka janganlah kau merasa puas, dan bila kau dicela, maka janganlah kau bersedih.”

Syekh Abdul Rauf Al-Singkili, Harmonisasi Syariat dan Tasawuf

Nama Syekh Abdur Rauf Al-Fansuri As-Singkili yang memiliki nama panjang Syekh Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Al-Fansuri Al-Singkili dilahirkan di Fansur dan dibesarkan di Singkil, Aceh, pada awal abad ke-17 Masehi
Ulama besar asal Aceh ini sangat terkenal dengan pemikirannya. Sejak kecil ia sudah mempelajari ilmu-ilmu zahir seperti tata bahasa Arab, membaca Alquran dan tafsir, hadis dan fikih, mantiq (logik), filsafat, geografi, ilmu falak, ilmu tauhid, sejarah dan pengobatan.
Ia pun sempat mendalami ilmu-ilmu batin seperti ilmu tasawwuf dan tarekat. Dalam laman www.ddii.acehprov.go.id disebutkan, Abdul Rauf lalu menjadi ahli (pakar) dalam ilmu-ilmu tersebut.
Di bidang keagamaan Abdul Rauf pertama kali belajar pada ayahnya, Syehk Ali Fansuri yang bersaudara dengan Syekh Hamzah Fansuri. Menginjak remaja Abdul Rauf menimba ilmu di Timur Tengah.
Berawal dari melaksanaan ibadah haji, ia lalu menetap selama 19 tahun di Timur Tengah. Nenek moyang Al-Singkili dipercaya berasal dari Persia (Iran) dan datang ke  Kesultanan Samudera Pasai pada akhir abad ke-13. Mereka kemudian menetap di Fansur (Barus), kota pelabuhan yang penting di pantai Sumatera Barat.
Tidak hanya di Makkah, ia juga mempelajari ilmu agama dan tasawuf di Kota Madinah, di bawah bimbingan guru-guru terkenal. Di Madinah ini pula Abdul Rauf berkesempatan berguru pada khalifah (pengganti) dari tarekat Syattariyah bernama Ahmad Kusyasyi dan juga Maula Ibrahim.
Hal ini terungkap dalam kata penutup salah satu karya tasawuf yang menyebutkan guru dan tradisi pengajaran yang diterimanya. Karya tasawufnya ini juga menjadi model pewarisan sufisme di dunia sufi Melayu.
Dalam laman www.melayuonline.com disebutkan bahwa Abdul Rauf juga berguru di beberapa kota di Timur Tengah meliputi kota-kota di Yaman, Doha di Qatar hingga Kota Lohor di India. Disebutkan pula, Abdur Rauf mengamalkan 11 tarekat, di antaranya Syattariyah, Kadiriyah, Kubrawiyah, Suhrawardiyah, dan Naqsyabandiyah.
Ajaran tasawuf pada banyak karya Abdul Rauf menekankan transendensi Tuhan di atas makhluk ciptaan-Nya. Di mana ia menolak pandangan wujudiyyah, yang menekankan imanensi Tuhan dalam makhluk ciptaan-Nya.
Dalam karyanya yang berjudul Kifayat Al-Muhtajin, ia berpendapat bahwa Tuhan menciptakan alam semesta. Makhluk ciptaan-Nya sebagai wujud yang mutlak tetap berbeda dari Tuhan. "Diumpamakan dengan tangan dan bayangan, walau tangan sulit dipisahkan dengan bayangan, bayangan bukan tangan yang sebenarnya," jelas dia.
Secara umum dan mudah dipahami bahwa Abdul Rauf ingin mengajarkan tentang harmoni antara syariat dan sufisme. Keduanya harus bekerja sama. Hanya melalui kepatuhan pada syariat maka seorang yang berada di jalan sufi bisa menemukan hakikat kehidupannya.
Pandangan ini berseberangan dengan pendekatan Nuruddin Al-Raniri. Namun, ia cenderung memilih jalan damai dan sejuk untuk berinteraksi dengan aliran wujudiyyah. Ia tak secara terbuka menyatakan menentang pandangan-pandangan lain. Jalan damai ini lantas mengurangi pertentangan dalam Islam akibat tafsir yang kurang tepat.
Sejalan dengan kepatuhan total pada syariat, Abdul Rauf berpendapat bahwa dzikir penting bagi orang yang menempuh jalan tasawuf, seperti terkandung dalam karyanya bertajuk Umdat Al-Muhtajin ila Suluk Maslak Al-Mufradin, di mana dasar dari tasawuf adalah dzikir yang berfungsi mendisiplinkan kerohanian Islam.
Dalam berdzikir ada dua metode yang diajarkannya, yaitu dzikir keras dan dzikir pelan. Dzikir keras seperti pengucapan "La ilaha illa Allah" sebagai penegasan akan keesaan Sang Pencipta. Dzikir menurut dia bukanlah membayangkan kehadiran gambar Tuhan melainkan melatih untuk memusatkan diri.
Di samping itu, Abdul Rauf berpandangan bahwa tauhid menjadi pusat dari ajaran tasawuf. Pandangan-pandangan dasar Abdul Rauf tentang tasawuf ini tertera dalam kitab Tanbih Al-Masyi. La ilaha illa Allah menurut dia, memiliki empat tingkatan tauhid: penegasan, pengesahan ketuhanan Allah, mengesahkan sifat Allah dan mengesahkan dzat Tuhan.
Abdul Rauf sebelumnya sudah mendapatkan ajaran tentang ilmu tasawuf tentang tarekat Syattariyyah dan tarekat Qadiriyyah. Sampai akhirnya ia diberi ijazah dalam dua tarekat tersebut. Karena itu, ia mendapat gelaran "Syekh" yang artinya pemimpin tarekat. Dalam mempelajari tarekat ini Abdul Rauf juga belajar kepada dua orang guru India yang berada di Tanah Arab; Syekh Badruddin Lahori dan Syekh Abdullah Lahori.
Di bidang syariat, Abdul Rauf menyusun sebuah kitab yang lengkap membahas perkara syariat.
Hasil pemikirannya tentang hal-hal yang terkait permasalahan kehidupan sehari-hari terangkum dalam kitab berbahasa melayu dengan judul Mirat Al-Turab fi Tashil Ma‘rifah Al-Ahkam Al-Syar'iyyah li Al-Malik Al-Wahab (Cermin Para Penuntut Ilmu untuk Memudahkan Tahu Hukum-hukum Syara' dari Tuhan).
Dengan segala pengetahuan dan pemahamannya, Abdul memilih tak membahas tentang tata cara ibadah, melainkan menuliskan pandangannya terhadap hukum atau tata cara yang aplikatif dalam menjalani kehidupan sehari-hari berdasarkan Alquran.
Dalam kitab Mirat Al-Turab dibahas tiga hal utama, yaitu hukum perdagangan dan undang-undang sipil atau kewarganegaraan, hukum perkawinan, dan hukum tentang jinayat atau kejahatan.
Hukum perdagangan dan UU sipil mencakup urusan jual beli, hukum riba, kemitraan dalam berdagang, perdagangan buah-buahan, sayuran, utang-piutang, hak milik atau harta anak kecil, sewa menyewa, wakaf, hukum barang hilang dan lainnya.
Di bidang hukum perkawinan dibahas tentang nikah, wali, upacara perkawinan, hukum talak, rujuk, fasah dan nafkah. Sedang hukum jinayat membahas tentang hukuman pemberontakan, perampokan, pencurian, perbuatan zina dan hukum membunuh.
Dalam bidang tafsir Abdul Rauf menghasilkan karya berjudul Tarjuman Al-Mustafid. Sebuah karya terjemahan Alquran dalam bahasa Melayu dari kitab tafsir yang lain, atau disebut Tafsir Al-Jalalain.
Sampai akhir hayatnya, ia belum sempat menyelesaikan tafsir ini sehingga karya ini lalu diselesaikan oleh muridnya, Daud Rumi, dan beberapa pengarang lainnya.
Merintis tafsir Alquran dalam bahasa Melayu
Seperti tertulis dalam laman www.psq.or.id, disebutkan bahwa hampir semua pengkaji sejarah Alquran dan tafsir di Indonesia sepakat menjadikan Abdul Rauf Al-Singkili sebagai perintis pertama tafsir di Indonesia, bahkan di dunia Melayu.
Tafsir yang bernama Tarjuman Al-Mustafid ini sangat diterima dan mendapat tempat di kalangan umat Muslim. Tidak hanya di Indonesia, tafsir ini pernah diterbitkan di Singapura, Penang, Bombay, Istanbul, Kairo dan Makkah.
Dua pendapat besar dilontarkan para ahli tentang tafsir ini. Pertama, terjemahan tersebut lebih mirip sebagai terjemahan Tafsir Al-Baidhawi, yang juga mencakup terjemahan Tafsir Jalalain. Dan tafsir tersebut mengambil sumber dari berbagai karya tafsir berbahasa Arab.
Kedua, Tarjuman Al-Mustafid adalah terjemahan Tafsir Jalalain. Dan hanya pada bagian tertentu saja tafsir tersebut memanfaatkan Tafsir Al-Baidhawi dan Tafsir Al-Khazin. Lebih khusus disebutkan karya Syekh Abdul Rauf ini sebagai saduran daripada sebagai terjemahan.
Metodologi tafsir yang digunakan Abdul Rauf dinilai sangat sederhana. Tafsir Al-Jalalain yang dikenal sangat ringkas dan padat di tangan Abdul Rauf diterjemahkan menjadi lebih ringkas. Ia menerjemahkan kata per kata tanpa menambahkan pemahaman-pemahamannya sendiri. Penjelasan yang tidak perlu pada Tafsir Al-Jalalain ditinggalkannya.
Waktu tepat kapan tafsir ini disusun tidak pernah diketahui, karena Abdul Rauf tidak pernah menulis angka tahun. Namun, rintisan tafsir ini diabadikan oleh seluruh pencinta tafsir Alquran di Tanah Melayu, dengan menjadikan Tafsir Jalalain sebagai tafsir standar atau tafsir pemula yang dipelajari di hampir seluruh pesantren di Nusantara./ROL

"MAJELIS RASULULLAH SAW"

"MAJELIS RASULULLAH SAW"









"PERADABAN BARU ISLAM (FITRAH MANUSIA)"

Seaching Blog