Sabtu, 09 April 2011

Tatkala Salafi Memilih Berdemonstrasi


 
 
Hidayatullah.com--“Revolusi” Mesir memang sudah berlalu, Mubarak pun sudah lengser dari jabatannya. Namun, ada pelajaran dari peristiwa tersebut.

Peristiwa “Revolusi 25 Januari” tidak hanya mengubah rezim, namun juga mengubah pandangan yang selama ini digunakan oleh komunitas Muslim yang menamai diri mereka sebagai penganut salaf alias Salafi. "Revolusi Mesir pada tanggal 25 Januari, memaksa mayoritas orang berfikir dan meninjau ulang pemahaman yang mereka miliki, yang sebelumnya pemahaman itu tidak bisa dikritik dan ditinjau ulang, lebih-lebih untuk bisa diubah," demikian, Khalid As Syafi’i, penulis buku “Ana Wahabi Fa Kana Madza?” (Saya adalah Wahabi, Memang Kenapa?), yang juga berasal dari komunitas tersebut, mengakui hal itu. (onislam.net, 8/3)

Sebab itulah, Khalid menulis otokrotik untuk komunitasnya sendiri, untuk meninjau ulang beberapa pandangan fikih yang sebelumnya digunakan, khususnya dalam masalah hubungan antara hakim (penguasa) dengan mahkum (rakyat). Masuk dalam persoalan ini hukum demontrasi, pemberontakan, serta nahi munkar terhadap penguasa.

Saat demontrasi melawan kezaliman penguasa  menyebar di dunia Arab, Syeikh Abdul Aziz Alu As Syaikh selaku Mufti Saudi, yang juga menjadi rujukan dalam komunitas ini, telah mengeluarkan pernyataan dalam khutbah Juma’at (4/2) yang ditujukan kepada para pemuda di berbagai negara, bahwa demonstrasi bisa menyebabkan timbulnya fitnah dan kesesatan.
Ia juga menyatakan pandangan dalam masalah fikih bahwa demontrasi tidak disyariatkan. Mufti juga menyeru agar para pemuda menjauh aktivitas ini.
 
Namun, pendapat mufti Saudi di atas, tidak sepenuhnya didukung oleh Salafi Mesir. Komunitas Salafi Kairo lebih memilih turun ke jalan bergabung dengan demonstran lain di lapangan Tahrir. Para tokoh komunitas ini seperti Syeikh Muhammad Abdul Maqsud, Syeikh Nasy’ad Ahmad, Syeikh Fauzi Sa’id, beserta ratusan muridnya ikut bergabung dengan demonstran sepanjang revolusi, hingga Husni Mubarak lengser pada tanggal 11 Februari 201. 

Syeikh Muhammad Hasan yang juga ditokohkan dalam komunitas ini, mengaku di kanal Ar Arabiya, bahwa ia bergabung dengan demonstran di lapangan Tahrir bersama anak-anaknya. Muhammad Hasan juga muncul di kanal Al Mahwar pascatragedi “Rabu Berdarah”, dan menyatakan terang-terangan bahwa pemerintah sudah kehilangan legitimasi.

Ia juga menyatakan bahwa penggunaan kekerasan oleh aparat terhadap demonstran adalah hal yang dilarang syari’at, sebagaimana dinukil onislam.net (26/3)

Sedangkan Syeikh Muhammad Abdil Maqsud dalam sebuah khutbah Jumat juga mengajak jama’ah untuk bergabung dalam revolusi yang ia sebut sebagai revolusi yang diberkahi itu, demikian disebutkan onislam.net (26/3)

Namun, Salafi Iskandariyah berbeda dengan Salafi Kairo. Pada tanggal 8 Februari 2011 mereka mengadakan muktamar untuk menyikapi revolusi Mesir. Hasilnya, mereka akhirnya menyuarakan tuntutan secara terang-terangan kepada pemerintah agar diakhirinya UU Darurat dan dilakukan pembebasan tahanan yang ditangkap tanpa alasan.

Mereka juga menuntut agar penguasaan partai pemerintah Hizb Al Wathani terhadap media diakhiri  Di samping itu mereka meminta pengaktifan UU pasal 2, yang menyebutkan bahwa syari’at merupakan sumber hukum, dalam perundang-undangan Mesir.
Mereka memilih tidak bergabung dengan demonstran, karena alasan ikhtilath dan agar rakyat tidak dinilai sebagai radikal, dengan bergabungnya mereka dalam demontrasi. Hal ini dijelaskan oleh Syeikh Ahmad Farid, salah satu tokoh Salafi di wilayah pesisir tersebut, sebagaimana disebutkan dalam koran As Syuruq, seperti dinukil oleh Al Mafkarat (6/3).

Namun, bukan berarti demontrasi dilarang mutlak, jika perkara yang dilarang, menurut mereka, seperti ikhtilath tidak terjadi. Sehingga Syeikh Ahmad Farid sendiri menyeru  turun ke jalan untuk menuntut agar UU pasal 2 tidak diutak-atik, padahal sebelumnya komunitas sangat antipati terhadap demonstrasi.

Untuk hal ini, Syeikh Ahmad Farid menjelaskan,”Fatwa bisa berubah, sesuai dengan tampat dan waktu. Wasilah untuk mengungkapkan pendapat sekarang sudah jelas, yakni demonstrasi. Undang-Undang memperbolehkan untuk melakukannya. Hal ini bukan termasuk keluar dari hakim.” Sebagaimana dilansir Al Mafkarat (6/3)

Walau tidak setuju dengan demontrasi yang saat itu berlangsung, karena disertai perkara yang menurut mereka dilarang, namun komunitas ini toleran kepada mereka yang memilih turun ke jalan. Dr. Yasir Burhami yang juga ditokohkan dalam komunitas ini menyatakan dalam kanal Al Majdi, bahwa pendapatnya yang tidak mendukung demonstrasi adalah perkara yang benar, tapi memungkinkan untuk salah, demikian juga pendapat tokoh lain yang mendukung demonstrasi. Salah tapi memungkinkan benar. Sebab itu, ia membolehkan penilaian mereka yang wafat dalam peristiwa revolusi sebagai syuhada, sesuai dengan niat mereka, demikian  disebutkan taseel.com, (21/3)


Mereka  yang Tidak Setuju

Namun, tidak semua anggota komunitas ini menyetujui demonstrasi dan menasehati penguasa secara terang-terangan seperti yang dilakukan oleh para tokoh, baik dari Kairo maupun Iskandariyah. Di antara mereka adalah Syeikh Musthafa Al Adawi, Syeikh Mahmud Al Mishri, serta Syeikh Muhammad Husein Ya’kub. Mahmud Al Mishri sendiri sempat menyeru para demonstran untuk meninggalkan lapangan Tahrir.

Sedangkan tokoh yang belum menunjukkan sikap pro atau kontra adalah Syeikh Abu Ishaq Al Huwayyini. Di samping tidak muncul lagi di televisi, telefonnya juga tidak aktif. Sehingga, sampai saat ini belum dikatahui sikapnya mengenai revolusi Mesir, sebagaimana disebutkan taseel.com (21/3)

Walhasil, peristiwa “revolusi Mesir” di samping menjelaskan “peta” komunitas Salafi dalam merespon revolusi, juga menjelaskan adanya perubahan pendapat dalam masalah hubungan rakyat dan penguasa. Kini terlihat,  para tokoh Salafi ada yang memandang bahwa demontrasi dan mengkritik pemerintah terang-terangan dibolehkan, tentunya dengan  syarat-syaratnya.*

Foto: Syeikh Muhammad Hasan (baju putih) dan Syeikh Ahmad Farid

Rep: Thoriq
Red: Cholis Akbar

Akhirnya, Salafi Bolehkan Pemilu



 
 
Hidayatullah.com--Perubahan pemikiran yang dianut komunitas Muslim yang menyatakan diri mereka sebagai pengikut salaf atau Salafi, semakin mencolok pasca terjadinya “revolusi Mesir”. Bukan hanya mengoreksi ulang pendapat mereka mengenai demonstrasi dan menyampaikan kritik secara terang-terangan kepada penguasa (baca artikel sebelumnya, Tatkala Salafi Memilih Berdemonstrasi, namun pendapat fiqih yang berkenaan dengan masalah pemilu juga tudak luput dari koreksi.

Pada hari Jumat (18/2), sebagaimana dilansir oleh situs berita lokal Mesir, Al Yaum As Sabi’ (19/2), komunitas ini melaksanakan muktamar di Manshurah Mesir. Awalnya muktamar ini untuk merupakan bentuk dukungan agar UU Pasal 2, yang menyatakan bahwa syari’at adalah sumber hukum Mesir, agar tidak diutak-atik. Namun pembicaraan juga berisi seruan untuk meninjau ulang pandangan mengenai pemilu.
Syeikh Muhammad Hasan selaku salah satu pembicara menyatakan,”Saya meminta kepada para syeikh kita untuk meninjau kembali, terhadap hal-hal yang telah diterima pada tahun-tahun sebelumnya, seperti masalah pencalonan dalam parlemen dan syura, serta (pencalonan) presiden dan pemerintahan. Saya meminta kepada para syeikh kita untuk berkumpul untuk mengurai masalah ini, agar para pemuda kita terhindar dari fitnah dan bercerai berai.”

Sepertinya, usulan Syeikh Muhammad Hasan kepada para tokoh Salafi untuk mengoreksi ulang pendapat mengenai hukum mengikuti pemilu, mendapatkan sambutan. Syeikh Ahmad Farid, yang juga salah satu tokoh komunitas Salafi Iskandariyah juga menyatakan bahwa pembentukan partai politik masih merupakan kemungkinan-kemungkinan. Demikian dikutip Al Mafkarah (6/3), dari Koran As Syuruq. Hal ini menunjukkan tekad komunitas ini berpartisipasi dalam pemilu.

Respon terhadap usulan itu semakin besar dengan berkumpulnya para tokoh Salafi yang tergabung dalam jama’ah Anshar As Sunnah Al Muhammadiyah untuk membahas hukum berpartisipasi dalam pemilu.

Akhirnya, pada tanggal 12 Maret 2011 Anshar As Sunnah Al Muhammadiyah Pusat secara resmi mengumumkan pandangan mereka dalam situs resminya, elsunna.com. Salah satu poin dari keputusan menyebutkan,”Kami tidak melihat adanya larangan syar’i untuk berpartisipasi dalam perpolitikan, baik di parlemen, syura, serta parlemen lokal, karena hal itu merupakan wasilah dakwah kepada masyarakat umum.”

Demikian juga, mereka menyarankan agar para dai tidak mencalonkan diri, hingga menyebabkan aktivitas dakwah terganggu. Disamping itu, himbauan ditujukan kepada umat Islam agar dalam pemilu penentuan presiden, mereka memilih calon yang paling memiliki perhatian kepada urusan umat Islam.

Keputusan ini hasil dari musyawarah Ahli Syura jama’ah ini, diantaranya adalah Dr. Abdullah Syakir, Syeikh Muhammad Husein Ya’kub, Syeikh Muhammad Hasan, Dr. Jamal Al Murakibi, Syeikh Musthafa Al Adawi, Syeikh Abu Bakr Al Hanbali, Syeikh Wahid Abdussalam Bali, serta Syeikh Jamal Abdurrahman.

Dianut Tokoh Salafi Yordan

Sebenarnya, pendapat bolehnya mengikuti pemilu bukan hanya pandangan sejumlah tokoh Salafi Mesir pasca revolusi saja. Sebelumnya beberapa tokoh Salafi di luar Mesir juga telah meninjau ulang pendapat yang mereka anut mengenai pemilu. Dua tokoh Salafi Yordan yang saat ini masih dijadikan rujukan sebagian komunitas  Salafi Indonenesia, yakni Syeikh Ali Al Halabi dan Syeikh Masyhur Hasan Ali Salman telah menyatakan bahwa berpartisipasi dalam pemilu merupakan hal yang dibolehkan, sebagaimana dilansir Al Jazeera (26/10).
Sesungguhnya Salafiyin tidak mendukung pencalonan untuk Pemilu, namun mereka memandang bahwa memilih siapa yang lebih utama dan lebih baik serta paling banyak positifnya dan paling minim negatifnya untuk maslahat umum adalah hal yang diperbolehkan.” Kata Syeikh Ali Hasan kepada Al Jazeera.
Masih menurut Syeikh Al Halabi, “Syeikh Al Albani juga memiliki pendapat membolehkan berpertisipasi dalam Pemilu, di saat itu beberapa muridnya menyeselisihi dengan dengan menggunakan adab.Hari ini, sebagai dampak dari perkembangan pemikiran dan memandang sebagai maslahat umum, kami kembali kepada pendapat Syeikh Al Albani, tentang bolehnya mengikuti pemilu parlemen.” Ungkap Al Halabi

Demikian pula Syeikh Masyhur Hasan Ali Salman menyatakan, “Pemerintah telah meminta kepada kalian untuk mengikuti Pemilu, dan hal itu bukanlah keharaman. Janganlah kalian melakukan pemboikotan. Pemboikotan bukanlah ibadah. Adalah orang yang salah jika ia berfikir melakukan ibadah kepada Allah dengan melakukan pemboikotan

Namun, perubahan pendapat beberapa tokoh Salafi Mesir dan Yordan masih terhitung “lambat” dibanding saudara-saudara mereka di Kuwait dan Bahrain. Di Kuwait At Tajammu’ As Islami As Salafi telah bergabung dengan parlemen. Sebelumnya, tahun 1981 komunitas Salafi yang saat itu diwakili Ihya’ At Turats memboikot pemilu, namun setelah itu mereka bergabung dalam parlemen. 

Walau dalam situs resminya ( alislami.org), Khalid Sulthan, salah satu anggota parlemen dari At Tajammu` menyatakan bahwa organisasi itu bukan sayap politik Ihya At Turats. Namun, menurutnya, kedua-duanya adalah Salafi yang tidak bertentangan satu sama lain.
Sedangkan di Bahrain, komunitas Salafi juga sudah bergabung dengan parlemen. Di bawah komando Syeikh Adil Al Mua’wwidah, pada 6 Mei 2002, didirikanlah Al Ashalah Al Islamiyah, organisasi politik yang pada pemilu tahun 2010 lalu memperolah 4 kursi.

Berhadapan dengan Realita

Yang dialami Salafi sebenarnya pernah juga dialami oleh Al Ikhwan Al Muslimun di masa awal, dimana akhirnya mereka terjun ke wilayah politik walau sebelumnya menolak. Keputusan itu diambil ketika idealisme yang mereka miliki terpaksa harus berhadapan dengan realita, seperti dikatakan oleh pengamat gerakan Salafi Timur Tengah, Bassam Nashir, sebagaimana dikutip Al Jazeera (26/10)

Syeikh Al Qaradhawi sendiri, sebagaimana dilansir situs resmi beliau, qaradawi.net (22/12), juga pernah menyinggung mengenai perubahan pendangan fiqih komunitas Salafi, khususnya dalam masalah pemilu. 

Beliau memandang perubahan ini terjadi karena beberapa faktor,”Tidak diragukan lagi, bahwa realitalah yang mengharuskan mereka berubah. Termasuk di dalamnya, karena persinggungan dengan dunia luar dan keluarnya mereka ke nagara-negara di dunia, setelah sebelumnya banyak dari mereka tidak keluar dari negara-negara mereka, yang menyebabkan tidak adanya perubahan dan pemikiran menuju perubahan.”

Beliau melanjutkan,“Ketika Salafi keluar dan berbaur dengan berbagai bangsa, ia akan mengitropeksi diri. Sebagaima ada yang memperluas bacaannya dan menelaah kitab-kitab yang tidak sempat ditelaah sebelumnya. Manusia bukanlah batu, ada hal-hal yang bisa memberi bekas kepada peribadi seseorang.”

Walhasil, pasca jatuhnya Mubarak, semakin banyak barisan tokoh-tokoh Salafi yang akhirnya setuju dengan pemilu. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa ada juga sebagian tokoh komunitas ini yang masih memandang bahwa berpartisipasi dalam pemilu merupakan perkara yang diharamkan*

Keterangan foto: (1), suasana konfrensi Salafi di Manshurah, Mesir (2), Syeikh Ahmad Farid, tokoh Salafi Iskandariyah

Rep: Thoriq
Red: Administrator

Ditekan Zionis, Facebook Hapus Laman “Intifada”



 
Hidayatullah.com—Setelah Israel menekan pihak Facebook, hari Selasa (29/3) laman ‘perlawanan’ terhadap Zionis-Israel,  bernama “Third Palestinian Intifada” (Intifada Palestina Ketiga) akhirnya lenyap.

Sebelumnya, Zionis-Israel dan lembaga pembela Yahudi sewot menyusul  keanggotaan dari laman tersebut yang mencapai lebih dari 350 ribu fans. Menteri Informasi Israel, Yuli-Yoe Edelstein bahkan sempat menulis surat ke pendiri Facebook, Mark Zuckerberg untuk memintanya menghapus halaman ini.

Israel berang karena laman tersebut menggalang dukungan agar warga Palestina melawan pendudukan Israel dan kembali ke tanah yang kini telah dijajah negara Yahudi itu.

Awalnya, Facebook menolak permintaan sang menteri. Kelompok Yahudi bernama Anti Defamation League (ADL) yang melayangkan komplain resmi pada Facebook.

Juru bicara Facebook menerangkan mengapa mereka menolak permintaan itu. "Meski beberapa komentar dan konten mungkin membuat marah sebagian orang, namun ini bukan alasan menghapus diskusi yang terjadi. Kami yakin user mampu mengekspresikan opini mereka dan kami tidak biasa menghapus konten atau grup atau halaman yang menyuarakan tentang negara, agama, politik atau ide,"

Namun pada Selasa malam,  laman itu sudah tak dapat diakses alias telah dihapus.

Yuli-Yoe Edelstein sebelumnya mengungkapkan alasan penutupan dengan mengatakan,  halaman ini mempromosikan kekerasan dan menyuarakan pembunuhan pada orang Israel, dalam rangka membebaskan Yerusalem.

Anehnya, di saat yang sama ia membolduser ribuan rumah penduduk Palestina, menembaki warganya dengan pesawat-pesawat buatan Amerika dan melakukan blokade berkepanjangan yang berdampak pada kesengsaraan warga Palestina. *

Sumber : huffingtonpost.com
Rep: CR-3
Red: Cholis Akbar

Tips Agar Ilmu Terus Terjaga


 
Hidayatullah.com--Sufyan bin Utaibah pernah berkata:”Jauhilah penyakit seorang pintar yang sesat dan penyakit seorang ahli ibadah yang bodoh, karena penyakit dari dua macam orang ini merupakan penyakit yang menyesatkan. Orang ahli ibadah yang bodoh menolak ilmu dan implikasinya. Inilah merupakan kesesatan yang menyebabkan kedustaan agama.” (Ibn al-Qayyim al-Jauziyah dalam al-Fawa’id).

Banyak kasus dijumpai, seorang terpelajar akan tetapi mengikuti aliran sesat. Tidak sedikit pula ilmuan yang mendukung pemikiran-pemikiran di luar Islam. Mereka semua adalah orang yang terpelajar dari institusi berlabel Islam, terdidik sampai pada level tinggi.

Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyyah, orang seperti mereka sesungguhnya bukan orang pintar. Sebab mereka menentang ilmu dan hukum-hukumnya, dan lebih mengutamakan khayalan, kesukaan dan hawa nafsu. (Ibn Qayyim al-Jauziyyah dalam al-Fawa’id).
Setiap muslim mestinya selalu berstatus pelajar (muta’allim), apapun profesinya dan berapapun usianya. “Tuntutlah ilmu hingga liang lahat!” adalah seruan agar kita jangan sekali-kali melepaskan status sebagai pelajar. Bahkan seorang yang telah bergelar KIai, Profesor dan doktor tetap harus belajar.

Saat mereka ‘pensiun’ jadi pelajar, maka ilmunya akan mati. Tidak berkembang dan tidak ada tambahan ilmu. Makanya, profesi menjadi pelajar adalah sepanjang masa. Pelajar bukan hanya yang belajar di lembaga sekolah, pesantren, dan perguruan tinggi. Di manapun dan kapanpun kita bisa dan wajib berstatus menjadi pelajar.

Akan tetapi ada petunjuk yang harus diperhatikan agar tidak menjadi pelajar yang merugi.Terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini yaitu, niat, jenis ilmu dan cara memperolehnya harus benar. Jika tidak, maka akibatnya akan tersesat.

“Barangsiapa ilmunya bertambah, namun tidak bertambah petunjuk, maka ia akan semakin jauh dari Allah.” (HR. Abu Nu’aim). Saat kita jauh dari-Nya, maka kita menjadi dzalim.
Kedzaliman seorang ilmuan dan pemimpin bermula dari niat belajar yang salah dan ketidaktepatan memposisikan ilmu ketika belajar. Ilmu yang agung tidak semestinya dicampur dengan tujuan dan niatan yang hina. Antar yang haq dan yang batil jelas tidak mungkin bertemu.
Berdasarkan niat belajar, Imam al-Ghazali membagi orang menuntut ilmu menjadi tiga. Pertama, belajar semata-mata karena ingin mendapat bekal menuju kebahagiaan akhirat. Kedua, belajar dengan niat mencari kemuliaan dan popularitas duniawi. Ketiga, menuntut ilmu sebagai sarana memperbanyak harta (Bidayatul Hidayah, hlm.6).
Golongan pertama, adalah golongan selamat sedangkan tipe kedua dan ketiga termasuk berpotensi menjadi pemimpin dan ilmuan yang dzalim. Golongan pertama termasuk pelajar yang memahami konsep ilmu dengan benar, niatannya untuk menghilangkan kejahilan agar mendapat ridla Allah SWT. Keilmuannya diamalkan demi kemaslahatan umat bukan untuk kenikmatan pribadi.

Golongan kedua dan ketiga adalah kelompok penuntut ilmu yang materialis, yaitu mencari ilmu untuk tujuan duniawi. Sehingga aspek-aspek ukhrawi tidak menjadi landasan dalam mencari ilmu. Jika materialisme sebagai kerangka pikirnya, maka menurut Imam al-Ghazali ia kelak akan menjadi ulama’ suu’ (ilmuan jahat) yang tidak mengindahkan adab.

Pemisahan aspek ukhrawi dan aspek duniawi dalam menuntut ilmu akan mengakibatkan kekacauan ilmu. Ilmu yang kacau melahirkan pelajar yang jahil. Kejahilan itu bukan sekedar kekurangan ilmu, akan tetapi kacaunya ilmu (confusion of knowledge). Kekacauan ilmu terjadi ketika informasi-informasi yang salah dipelajari kemudian diyakini sebagai kebenaran.

Ilmu menjadi kacau ketika kehilangan bimbingan adab dan kemasukan konsep materialisme. Menurut Syed Naquib al-Attas, ilmu-ilmu yang telah tercampur dengan konsep ‘asing’ itu hakikatnya bukan ilmu lagi, akan tetapi sesuatu yang menyamar sebagai ilmu (Risalah Untuk Kaum Muslimin, 61). Jadi ilmu yang hakiki adalah yang tidak melepaskan dimensi ukhrawi, sedangkan ‘ilmu’ yang menyamar adalah sebaliknya yang disebut ilmu madzmumah.

Berkenaan dengan itu, penting diketahui oleh para para pelajar dan guru bahwa ilmu secara hirarkis dibagi dua. Pertama, ilmu Pengenalan. Yaitu ilmu tentang hakikat ruhaniah yang merujuk kepadan Allah dan diri. Seperti ilmu tauhid, dan ilmu yang berkenaan dengan ibadah. Ilmu ini termasuk yang wajib dipelajari oleh setiap muslim. Ilmu jenis ini oleh Imam al-Ghazali disebut ilmu fardlu ‘ain.


Kedua, ilmu Pengetahuan. Yaitu ilmu pencapaian akal yang merujuk kepada segala perkara baik bagi diri ruhaniyah maupun diri jasmaniah. Ilmu ini termasuk ilmu yang wajib dituntut oleh sebagian muslim saja yang telah memenuhi syarat-syarat menuntutnya. Ilmu ini oleh Imam al-Ghazali disebut ilmu fardlu kifayah.

Salah satu faktor kenapa lahir ilmuan yang dzalim adalah kesalahan mengajarkan dua ilmu tadi. Semua jenis ilmu Pengetahuan yang hukumnya fardlu kifayah diajarkan harus berdasar dan sesuai dengan ilmu Pengenalan.
Selain itu, pengajaran ilmu Pengenalan (fardlu ‘ain) harus didahulukan sebelum ilmu fardlu kifayah.

Belajar haruslah disertai niat yang benar. Selain itu, ilmu yang dipelajari juga harus bukan ilmu madzmumah (dicela). Jika niat dan ilmunya salah, maka sepintar apapun, manusia itu akan menjadi orang yang bermasalah di masyarakat.

Rasulullah SAW mengingatkan bahwa orang yang belajar demi kebanggan agar disebut cendekiawan agung, menyaingi teman, mencari popularitas dan memperbanyak harta akan menjadi manusia yang celaka. (HR.Ibn Majah).

Pelajar dengan tipe ini, ia tidak peduli lagi apakah ilmu yang dipelajari benar atau salah, yang penting ‘sukses’ bagi dia.

Wahyu

Ilmu yang benar selalu dikawal oleh wahyu. Sebab, sumber ilmu itu dari Allah SWT. Dan hakikat mencari ilmu adalah meraih kebahagiaan, sedangkan kebahagiaan tertinggi adalah keselamatan di akhirat. Dalam perspektif Islam, ilmu bukanlah sebagai perkara akliah (rasio) belaka. Islam menjelaskan ilmu, baik ilmu syari’ah atau sains dan humaniora, dengan perkaitan antara ilmu itu dengan hikmah, akhlak budi pekerti. Pemahaman yang demikian mencegah lahirnya ilmuan dan pemimpin yang dzalim.
Lantas, bagaimana kiat menjadi pelajar muslim yang sukses? Pertama, perbaiki niat. Segala aktifitas keilmuan adalah semata demi mendapatkan kebahagiaan (sa’adah) akhirat. Artinya, niat untuk berjuang li i’laa’i kalimatillah.
Kedua, ilmu yang dipelajari harus benar. Ketiga, cara meperolehnya juga benar. Apapun niat dan semulya apapun ilmunya jika ditempuh dengan korupsi, menipu atau dengan cara ritual-ritual yang sesat, tetap akan menjauhkan dari Allah.

Selain itu, Imam al-Ghazali memberi rambu-rambu, carilah guru yang baik. Yaitu, ulama’ yang hidupnya berkonsentrasi kepada ilmu, akhirat, tidak menyibukkan secara membabi-buta kepada dunia, tidak menjual agama dengan dunia, segala persoalan dikembalikan kepada perspektif akhirat (Abu Hamid al-Ghazali dalam Iljam al-awam ‘an Ilmi Kalam).

Selain itu, para ulama’ salaf memberi contoh paling baik. Sebisa mungkin menghindar dari maksiat. Imam syafi’i juga pernah mengatakan: ilmu itu cahaya, dan cahaya Allah tidak akan masuk kedalam hati orang-orang yang selalu bermaksiat.

Ibadah juga betul-betul dijaga. Imam al-Bukhari belajar selalu dalam keadaan suci, bahkan ketika akan menulispun ia ambil wudlu dan shalat sunnah terlebih dahulu. Shalat malam (qiyamullail) bagi para pelajar salaf shalih dahulu seperti menjadi aktifitas wajib. Demi menjaga diri agar selalu dibawah petunjuk-Nya. Bahkan, belajar di sepertiga malam itu menjadi kebiasaan.
Khatib Al-Baghdadi pernah memberi nasihat, “Waktu yang paling baik untuk menghafaladalah waktu sahur, di tengah hari, kemudian pagi hari. Menghafal di waktu malam lebih baik dari pada siang. Itulah rahasia sukses para ulama terdahulu kita.” (Al-Faqih wal Mutafakiq).

Dan rutinitas beginilah yang menjadi aktifitas wajib pelajar muslim idaman. Wallahu a’lam bissahowab.*/Kholili Hasib
 
Rep: Kholili Hasib
Red: Cholis Akbar

Tips Sehat Juwariyah Hingga Usia 130 Tahun: Tawakal, Doa dan Tahajud

JEMBER (voa-islam.com) - Di usia 130 tahun, Juwariyah, wanita tertua di Jawa Timur ini masih kuat ingatannya. Resepnya, pasrah terhadap kehendak Allah, rajin shalat malam dan mendoakan anak-anak dan cucunya.
Dalam usianya itu, wajah Juwariyah jernih. Tatapan matanya tak lamur. Pipinya kendur, tapi giginya tak semua tanggal. Ia tak ingat kapan persisnya dilahirkan, namun ia masih bisa mengingat: "Saya hidup di masa Ratu Wilhelmina dan Juliana."

Wilhelmina Helena Pauline Marie van Orange-Nassau berkuasa di Kerajaan Belanda sejak 1890 hingga 1948. Juliana Louise Marie Wilhelmina van Oranje-NassaU, anak Wilhelmina, menggantikannya pada tahun 1947.

"Bapak saya Bahrum," kata Juwariyah dalam bahasa Madura. Namun ia berusaha mengingat keras nama ibunya. Juwariyah tak pikun, dan mengurut nama saudara-saudaranya sembari menghitung dengan jemarinya. Ia anak keempat dari tujuh bersaudara.

Juwariyah dilahirkan di Pacitan, namun sudah lama tinggal di Dusun Krajan Desa Karangsono Kecamatan Bangsalsari. Bersama suaminya, Siraj, ia berdagang untuk menyambung hidup, di sebuah masa di mana 'tuan-tuan' berkuasa. Demikianlah Juwariyah menyebut para aparatur kolonial Belanda di masa itu.

Tuan-tuan itu berbuat semaunya. "Sawanun mati di dekat kebun bambu sana. Dibedil sama Tuan." Juwariyah mengenang salah satu tetangganya.

'Tuan-tuan' itu pergi, dan datanglah Nippon. Orang-orang bertubuh pendek seperti dirinya. Dengan bedil pula, Nippon memaksa warga desa menjadi romusha. Tenaga rodi. Juwariyah tak bisa menakar, mana yang lebih kejam antara Nippon dengan Tuan-Tuan. Namun para serdadu Nippon itu memang benar-benar mudah naik darah, bahkan oleh siulan kentut.

"Nenek saya ini pernah bilang, orang-orang yang antre bayaran kerja tak akan dibayar kalau kentut," Munah, cucu Juwariyah, bercerita. Juwariyah ikut tertawa, saat Munah menceritakan itu kembali.

Juwariyah melewati masa-masa kelam di Republik ini dengan selamat, dan merasakan masa-masa enam rezim di republik ini, di mana Soekarno, Soeharto, Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono bergantian jadi presiden. Ia selalu ikut pemilu dengan patuh, walau tak selalu tahu benar, siapa dan partai apa yang dipilihnya. Mungkin ia tak peduli, entahlah. Ia tak mengatakannya. Namun, ia tak tahu siapa presiden Indonesia hari ini. "Kalau Bung Karno, tahu."
Hari ini, usianya sudah 130 tahun. Bahagiakah Juwariyah karena panjang umur? Ia meneteskan air mata menyaksikan suaminya meninggal lebih dulu, tiga puluh lima tahun silam. Ia menyaksikan satu demi satu saudaranya mati, lima anaknya pergi, dan kawan-kawannya tak ada lagi.
...Juwariyah tak pernah sakit parah. Saat orang-orang kaya itu dilarikan ke klinik luar negeri, ia hanya diantarkan ke puskesmas oleh cucunya.  Jantungnya masih kuat."...
Juwariyah tak pernah sakit parah. Saat orang-orang kaya itu dilarikan ke klinik luar negeri, ia hanya diantarkan ke puskesmas oleh cucunya. Kadang kepalanya hanya pusing, kadang pinggangnya sakit. Mungkin encok. Cucunya cemas, dan menangis, Juwariyah akan pergi sebentar lagi. Namun sang perawat klinik hanya tersenyum. "Kenapa menangis? Jantungnya masih kuat."

Seorang pasien dengan nada guyonan, mungkin kagum, mungkin juga iri, lantas berceletuk: "Mungkin Malaikat lupa, jadi nyawanya tak dicabut."

"Saya apa kata Yang Kuasa. Kalau saya minum obat (maksudnya, bunuh diri minum racun, red.) lalu mati, nanti saya berdosa."

Juwariyah hanya menjalani hidup sederhana dan menerima apa adanya. Para tetangga masih memintanya untuk memijat anak-anak mereka yang sakit. Tangan dan jari jemarinya tak sekuat dulu. Namun, para tetangga itu mengharapkan doa dari perempuan tua yang menjalani hari-harinya dengan zuhud. Mereka memberikan beberapa ribu perak sebagai imbalan. Hari ini, ia menunjukkan selembar uang lima ribuan dan selembar sepuluh ribuan yang disimpannya di secarik kain yang dibuntal dan diikatkan di pinggang.

Juwariyah mencintai malam dibanding siang. Tengah malam, ia terjaga, menuju ke bilik mandi yang hanya ditutupi dengan kain kumal. Ia berdoa menyebut nama Allah, dan membiarkan air dingin membasahi tubuhnya. Lalu, ia menunaikan shalat malam. Sendirian. Doanya terdengar keras di keheningan: doa untuk anak-anak dan cucunya.
...Juwariyah mencintai malam dibanding siang. Tengah malam, ia terjaga, mandi lalu menunaikan shalat malam, dan berdoa untuk anak-anak dan cucunya....
Dalam sunyi, Juwariyah pernah tergoda untuk bertanya: "Kenapa saya masih dipelihara oleh Allah? Kenapa saya belum diambil."

Tak ada yang pernah tahu jawabnya tentu saja. Namun ia berbaik sangka: mungkin Tuhan memang menakdirkannya untuk menyaksikan zaman yang berubah. Ia teringat ucapan sang suami kepadanya: "Kelak kamu akan hidup di masa di mana ada suara tapi tak ada orangnya."

Juwariyah tak tahu apa yang dimaksud sang suami. Namun hari ini, kita tahu, apa yang dimaksudkan sang suami: radio. Dan, mungkin yang tak terpikir oleh sang suami: telepon seluler. [taz/beritajatim]

Bolehkah Sholat Jumat Diadakan Dua Kali Dalam Satu Masjid?

Pertanyaan:
Saya sekarang sedang kuliah di Kanada, kebetulan disana sedang ada pelebaran masjid, sehingga masjid menjadi tidak muat untuk seluruh jama’ah sholat Jum’at, karena sebab ini sholat Jum’at diadakan dua kali supaya semua jama’ah bisa ikut sholat, tapi masalahnya sholat yang pertama diadakan pada jam 12.30, yakni sebelum masuk waktu sekitar satu jam….apakah ini boleh menurut pendapat seorang ulama…dan apa hukum sholat-sholat yang telah saya kerjakan?
Jawaban:
Segala puji bagi Allah shalawat serta salam semoga tercurah keatas Rasulullah keluarga beliau shahabat dan para pengikut mereka yang baik hingga hari kiamat. Amma ba'du:
Jumhur ulama dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyyah berpendapat bahwa sholat Jum’at tidak boleh dikerjakan kecuali setelah tergelincirnya matahari kearah barat.
Sedangkan ulama Hanabilah berpendapat bolehnya mengerjakan Jum’at sebelum tergelincir matahari. (Rujukan: Al-Umm (1/223), Al-Majmu’ (4/377-381), Al-Inshaf (2/375-376), dan Al-Maushu’ah Al-Fiqhiyyah (27/197-198).
Namun yang lebih utama dikerjakan setelah tergelincir matahari, tapi jika terpaksa mengerjakan sebelum tergelincir matahari sekitar satu jam maka tidak mengapa.
Ulama Lajnah Daimah wal Ifta’ pernah ditanya:
Apakah boleh sholat Jum’at sekitar satu jam sebelum tergelincir matahari – karena darurat masuknya waktu kerja di Prancis- mengingat jika kami belum mengerjakan sholat sebelum masuk kerja yaitu sebelum tergelincir matahari maka kami tidak akan dapat mengerjakannya, maka apakah itu dibolehkan karena darurat seperti itu?
Maka mereka menjawab:
Menentukan awal waktu sholat Jum’at diperselisihkan para ulama, mayoritas ulama berpendapat bahwa awal waktunya adalah awal waktu Dzuhur yaitu tergelincirnya matahari, maka tidak boleh sholat sebelum tergelincir matahari sebentar atau lama, dan sholat tidak sah berdasarkan ucapan Salamah bin Al-Akwa’ radhiyallahu ‘anhu: (Dahulu kami sholat Jum’at bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam apabila matahari telah tergelincir, kemudian kami pulang mengikuti bayangan kami) HR Al-Bukhari dan Muslim.
Juga berdasarkan perkataan Anas radhiyallahu ‘anhu: (Dahulu Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam mengerjakan sholat Jum’at ketika matahari tergelincir) HR Al-Bukhari. Sebagian ulama mengatakan: tidak boleh sebelum saat keenam ataupun kelima.
Imam Ahmad bin Hanbal dan beberapa ulama berpendapat bahwa awal waktunya adalah awal waktu sholat Ied, adapun waktu tergelincir adalah awal waktu wajibnya mendatangi Jum’at, mereka berdalilkan untuk bolehnya sholat sebelum tergelincir matahari dengan perkataan Jabir radhiyallahu anhu: (Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sholat- yakni Jum’at- kemudian kami kembali ke unta-unta kami lalu melepaskannya ketika matahari tergelincir) HR Muslim, dan berdasarkan perkataan Salamah bin Al-Akwa’ radhiyallahu anhu: (Dahulu kami sholat Jum’at bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian kami pulang saat dinding-dinding tidak memiliki bayang-bayang) HR Abu Dawud.
Untuk menggabungkan hadits-hadits diatas: bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seringnya sholat Jum’at setelah tergelincir matahari, kadang-kadang beliau sholat sebelum tergelincir atau mendekatinya.
Oleh karena itu, maka yang lebih utama sholat dikerjakan setelah tergelincir matahari demi mempertimbangkan kebanyakan amalan Nabi shallallahu ’alaihi wasallam, serta keluar dari khilaf, dan ini yang menunjukkan bahwa masalah tersebut ijtihadiyah, dan ada kelonggaran, maka barangsiapa sholat sebelum tergelincir matahari atau mendekatinya maka sholatnya sah Insya Allah, apalagi adanya uzur seperti yang disebutkan penanya”. Selesai. (Fatwa Lajnah Daimah (8/216-217).
Sholat Jum'at dua kali dalam satu masjid:
Adapun menegakkan sholat Jum’at dua kali dalam satu masjid, yang kedua setelah selesai yang pertama, ini tidak boleh.
Ulama Lajnah Daimah wal Ifta pernah ditanya:
Jumlah masjid yang mengadakan sholat Jum’at di kota Paris dan kota-kota lain sedikit ditambah lagi masjid menjadi sempit karena banyaknya jama’ah.
Sebagai jalan keluar dari permasalahan ini dimana kebanyakan jama’ah sholat tidak dapat mengerjakan kewajiban Jum’at di Prancis, maka salah seorang mengusulkan supaya sholat Jum’at dikerjakan dalam satu masjid dua sesi, setiap kali dengan imam dan khatib berbeda. Maka apa hukum syar’ie masalah itu?
Mereka menjawab:
Menegakkan dua kali Jum’at dalam satu masjid tidak dibolehkan secara syarie, dan kami tidak mengetahui ada dasarnya dalam agama Allah, karena aslinya Jum’at ditegakkan satu kali di satu negeri, dan tidak boleh dikerjakan beberapa sholat Jum’at kecuali karena uzur syar’ie, seperti jauhnya jarak bagi sebagian yang diwajibkan Jum’at, atau masjid pertama sesak tidak muat untuk seluruh jama’ah sholat, atau uzur semacamnya yang membolehkan ditegakkan Jum’at kedua, ketika itu Jum’at lain boleh dikerjakan dimana tujuan Jum’at dapat terealisasi . (Fatwa Lajnah Daimah (8/262)
Wallahu A’lam
(Disarikan dari situs islam.qa)
(ar/voa-islam.com)

Apakah WanitaTidak Boleh Shalat Dzuhur Sebelum Shalat Jum'at?

Segala puji bagi Allah shalawat serta salam semoga tercurah kepada baginda Rasulullah keluarganya para shahabatnya dan semua pengikut mereka dengan baik hingga hari kiamat.Amma ba’du:
Para pembaca yang dirahmati Allah Ta’alaa:
Banyak diantara wanita yang pada hari Jum’at ketika mengerjakan shalat dzuhur mereka mengakhirkan hingga selesai shalat Jum’at dengan keyakinan bahwa shalat dzuhur sebelum shalat Jum’at selesai dilarang dan tidak sah, maka apa sebenarnya hukum permasalahan ini menurut syariat?
Disini kami menyampaikan beberapa fatwa yang kami nukil dari sejumlah situs yang dapat dipercaya. Mudah-mudahan bermanfaat.
Pertanyaan:
Apakah wanita shalat di rumah setelah mendengar azan pada hari Jumat ataukah menunggu sampai selesai khutbah (perlu diketahui bahwa khutbah tidak terdengar tetapi bisa terdengar khutbah lain di televisi) ?
Jawaban:
Apabila wanita shalat di rumahnya shalat dzuhur pada hari Jum’at maka dia tidak shalat hanya karena telah mendengar azan shalat Jum’at semata, karena sebagian khatib ada yang memulai khutbah sebelum masuk waktu dzuhur (waktu shalat dzuhur boleh dimajukan sebelum masuk waktu dzuhur).
Tapi apabila wanita di rumahnya mngetahui waktu dzuhur, dan telah memastikan masuknya waktu dzuhur melalui jam, kalender atau bayangan bagi yang mengetahuinya maka dia boleh shalat dzuhur pada hari Jum’at tersebut sebanyak empat rakaat, meskipun kaum pria belum selesai shalat Jum’at, kecuali apabila wanita dalam keadaan safar maka dia boleh shalat dua rakaat dengan niat qashar.
Apabila wanita ikut shalat Jum’at (dan itu dibolehkan) di masjid berjamaah maka gugur kewajiban shalat dzuhurnya, karena wanita sejajar dengan laki-laki dalam hal ini.
(Mufti: Syeikh Abdul Rahman As-Suhaim, anggota Maktab Ad-Dakwah wal Irsyad).
Demikian juga disebutkan dalam fatwa ulama lain.
Pertanyaan:
Shalat dzuhur pada hari Jum’at bagi wanita apakah setelah azan pertama atau kedua? Jazakumullah khairan.
Jawaban:
Segala puji bagi Allah shalawat serta salam semoga tercurah kepada baginda Rasulullah keluarganya para shahabatnya dan semua pengikut mereka dengan baik hingga hari kiamat Amma ba’du:
Wanita dan selain mereka yang tidak berkewajiban shalat Jum’at mengerjakan shalat dzuhur setelah memastikan masuknya waktu dzuhur walaupun sebelum shalat Jum’at, Imam Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni mengatakan: (adapun mereka yang tidak berkewajiban shalat Jum’at seperti musafir, hamba sahaya, wanita, orang sakit dan semua yang ada uzur mereka boleh shalat dzuhur sebelum imam shalat Jum’at menurut pendapat mayoritas ulama).
Kami mengingatkan disini apabila azan pertama yang maksudkan penanya dikumandangkan  setelah masuk waktu dzuhur yaitu tergelincirnya matahari dari tengah langit maka shalat di saat itu tidak mengapa, adapun jika azan dikumandangkan sebelum masuk waktu dzuhur – ini yang terjadi pada banyak negeri- maka ini tidak membolehkan shalat dzuhur sesudahnya bagi mereka yang kami sebutkan diatas karena berarti belum masuk waktunya. Wallahu A’lam.
(Markaz Fatwa Islamweb no:24516 dengan judul: kapan wanita shalat dzuhur hari Jum’at?).

Hukum Qiyamul Lail Berjamaah di Luar Bulan Ramadhan

Oleh: Badrul Tamam
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya.
Shalat malam menjadi ciri khas orang-orang shalih dan menjadi sifat yang melekat pada diri orang bertakwa yang menjadi ahli surga.
Allah Ta’ala berfirman,
تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا
Lambung-lambung mereka jauh dari pembaringan, karena mereka berdoa kepada Rabb mereka dalam keadaan takut dan berharap kepada-Nya.” (QS. As-Sajadah: 16)
Allah berfirman tentang kondisi ahli surga tatkala hidup di dunia,
كَانُوا قَلِيلاً مِّنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ. وَبِالأَسْحَارِهُمْ يَسْتَغْفِرُونَ
Dahulu di dunia mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan selalu memohon ampunan di waktu sahur (menjelang fajar).” (QS. Adz-Dzariyat: 17-18)
Dari Abu Umamah radhiyallahu 'anhu,  berkata: Rasulullah shallallau 'alaihi wa sallam,
عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيْلِ فإِنَّهُ دَأْبُ الصَّالِحِينَ قَبْلَكُمْ، وقُرْبَةٌ إِلى اللَّهِ تعالى، ومِنْهَاةٌ عَنِ الإثمِ، وتَكْفِيرٌ لِلسَّيِّئَاتِ
Kerjakanlah shalat malam, sesungguhnya shalat malam adalah kebiasaan orang-orang shaleh sebelum kalian, sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, menjadi penghalang dari perbuatan dosa, dan menghapuskan kesalahan.” (Dikeluarkan oleh Imam At-Tirmidi, Al-Hakim (1/308) dan Al-Baihaqi (dalam Al-Sunnan al-Kubra 2/502. Dishahihkan oleh Al-Hakim dan disepakati oleh Al-Dzahabi, serta di-Hasankan oleh Al-Hafidz Al-‘Iraaqi dalam Takhrij Al-Ihya’ 1/321)
Maka sepantasnya ahlul iman bersemangat untuk mengerjakan shalat malam dan saling berpesan untuk mendirikannya agar mereka dijadikan sebagai ahli surga. Namun harus tetap memperhatikan tuntunan pelaksanaannya. Karena dalam menghidupkannya,  tidak sedikit umat hanya mendasarkan pada keutamaannya dan semangat mengerjakannya. Sehingga tidak sedikit juga yang akhirnya tidak sesuai dengan tuntutan Nabi shallallau 'alaihi wa sallam. Salah satunya adalah melaksanakannya secara rutin atau hampir setiap hari di masjid dengan berjamaah di luar bulan Ramadhan.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Munajid berkata, “Seandainya manusia berniat berkumpul untuk melaksanakan qiyamullail di masjid-masjid secara berjama’ah di luar bulan ramadhan, ini termasuk perbuatan bid’ah.”
Tetapi kalau seseorang terkadang melaksanakannya di rumahnya sendiri dengan berjama’ah di luar bulan ramadhan maka tidak apa-apa berdasarkan perbuatan Nabi shallallau 'alaihi wa sallam yang pernah melaksanakan shalat malam dengan berjama’ah di rumahnya bersama Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud dan Hudzaifah ibnul Yaman. Hanya saja beliau tidak menjadikannya sebagai aktifitas rutin dan beliau tidak mengerjakannya di masjid.  (Lihat juga al-Sarhu al-Mumti’ milik Syaikh Utsaimin: IV/82)
Perlu diperhatikan bahwa bolehnya shalat malam berjama’ah pada selain bulan Ramadhan tersebut tidak disepakati atau diumumkan sebelumnya. Jika seorang muslim melihat muslim lainnya sedang qiyamullail lalu dia berjama’ah dengannya tanpa ada kesepakatan sebelumnya sebagaimana yang dilakukan oleh Ibnu Abbas yang pada satu malam ia bangun dan bermakmum kepada Rasululllah shallallau 'alaihi wa sallam, maka yang seperti ini tidak apa-apa. Sedangkan berkumpul yang disepakati sebelumnya untuk melaksanakan shalat malam secara rutin hampir tiap malam, maka itu adalah bid’ah sebagaimana ulasan di atas. Wallahu Ta’ala a’lam. [PurWD/voa-islam.com]

Keutamaan Shaf Pertama dan Dekat dengan Khatib

Oleh: Badrul Tamam
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Dialah yang menciptakan masa dan mengutamakan sebagiannya atas sebagian yang lain. Dia telah jadikan Ramadhan sebagai bulan terbaik atas bulan-bulan lainnya, Jum’at sebagai hari terbaik dalam sepekannya, dan menjadikan lailatul qadar sebagai malam terbaik dalam setahunnya.
Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Manusia terbaik, paling bertakwa dan takut kepada Rabbnya, yaitu Nabi Muhammad Shallalahu 'alaihi Wasallam, beserta keluarga dan para sahabatnya.
Shalat Jum'at adalah amal ibadah yang paling khusus dan istimewa pada hari Jum'at. Pelaksanaanya memiliki kekhususan yang berbeda dengan shalat-shalat lainnya, khususnya Dzuhur yang sama waktunya. Dari cara bersuci, sangat dianjurkan untuk mandi besar sebagaimana mandi janabat. Cara berpakaian, sangat dianjurkan memakai pakaian terbagus dan menggunakan wewangian. Berangkatnya ke masjid, sangat-sangat dianjurkan lebih awal dengan janji pahala yang lebih besar daripada yang datang berikutnya. Sebelum shalat dimulai, diawali dengan khutbah yang harus diperhatikan dengan seksama oleh jama'ah. Jama'ah tidak boleh tidur, mengobrol dan berbicara dengan kawannya, atau sibuk dengan kegiatan yang bisa memalingkan dari mendengarkan khutbah.
Berdasarkan keistimewaan ini, maka selayaknya seorang muslim bersemangat mendatanginya. Berpagi-pagi menujunya, sebagaimana para salaf menjadikannya sebagai tradisi mereka.
Diriwayatkan dari Aus bin Aus radliyallah 'anhu, berkata, "Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
مَنْ غَسَّلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَاغْتَسَلَ ثُمَّ بَكَّرَ وَابْتَكَرَ وَمَشَى وَلَمْ يَرْكَبْ وَدَنَا مِنْ الْإِمَامِ فَاسْتَمَعَ وَلَمْ يَلْغُ كَانَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ عَمَلُ سَنَةٍ أَجْرُ صِيَامِهَا وَقِيَامِهَا
"Barangsiapa mandi pada hari Jum'at, berangkat lebih awal (ke masjid), berjalan kaki dan tidak berkendaraan, mendekat kepada imam dan mendengarkan khutbahnya, dan tidak berbuat lagha (sia-sia), maka dari setiap langkah yang ditempuhnya dia akan mendapatkan pahala puasa dan qiyamulail setahun." (HR. Abu Dawud no. 1077, al-Nasai no. 1364 Ahmad no. 15585)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallah 'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
إِذَا كَانَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ وَقَفَتْ الْمَلَائِكَةُ عَلَى أَبْوَابِ الْمَسْجِدِ فَيَكْتُبُونَ الْأَوَّلَ فَالْأَوَّلَ فَمَثَلُ الْمُهَجِّرِ إِلَى الْجُمُعَةِ كَمَثَلِ الَّذِي يُهْدِي بَدَنَةً ثُمَّ كَالَّذِي يُهْدِي بَقَرَةً ثُمَّ كَالَّذِي يُهْدِي كَبْشًا ثُمَّ كَالَّذِي يُهْدِي دَجَاجَةً ثُمَّ كَالَّذِي يُهْدِي بَيْضَةً فَإِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ وَقَعَدَ عَلَى الْمِنْبَرِ طَوَوْا صُحُفَهُمْ وَجَلَسُوا يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ
"Jika tiba hari Jum'at, maka para Malaikat berdiri di pintu-pintu masjid, lalu mereka mencatat orang yang datang lebih awal sebagai yang awal. Perumpamaan orang yang datang paling awal untuk melaksanakan shalat Jum'at adalah seperti orang yang berkurban unta, kemudian yang berikutnya seperti orang yang berkurban sapi, dan yang berikutnya seperti orang yang berkurban kambing, yang berikutnya lagi seperti orang yang berkurban ayam, kemudian yang berikutnya seperti orang yang berkurban telur. Maka apabila imam sudah muncul dan duduk di atas mimbar, mereka menutup buku catatan mereka dan duduk mendengarkan dzikir (khutbah)." (HR. Ahmad dalam Musnadnya no. 10164)
Pada hadits pertama menjelaskan bahwa berangkat pagi-pagi ke masjid menjadi syarat untuk mendapatkan keutamaan pahala shalat Jum'at dengan sempurna. Dan berangkatnya ke masjid disunnahkan dengan berjalan kaki. Karena itu Imam al Nasai dan al Baihaqi membuat bab khusus dalam kitab mereka, "Keutamaan berjalan kaki untuk shalat Jum'at."
Abu Syamah berkata, "Pada abad pertama, setelah terbit fajar jalan-jalan kelihatan penuh dengan manusia. Mereka berjalan menuju masjid jami' seperti halnya hari raya, hingga akhirnya kebiasaan itu hilang." Lalu dikatakan, "Bid'ah pertama yang dilakukan dalam Islam adalah tidak berangkat pagi-pagi menuju masjid." (Dinukil dari Akhtha' al Mushalliin -edisi Indonesia: Kesalahan-kesalahan dalam shalat-, Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan, hal. 236)
Sedangkan pada hadits kedua dijelaskan kerugian bagi orang yang terlambat datang ke masjid sehingga imam naik mimbar. Yakni, para malaikat menutup buku catatan mereka dan tidak mencatat tambahan pahala bagi orang-orang yang datang dan masuk ke masjid setelah imam naik mimbar.
Dalam sebuah hadits yang dihasankan oleh Syaikh al Albani, dari Abu Ghalib, dari Abu Umamah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Para Malaikat duduk pada hari Jum'at di depan pintu masjid dengan membawa buku catatan untuk mencatat (orang-orang yang masuk masjid). Jika imam keluar (dari rumahnya untuk shalat Jum'at), maka buku catatan itu dilipat."
Kemudian Abu Ghalib bertanya, "wahai Abu Umamah, bukankah orang yang datang sesudah imam keluar mendapat Jum'at? Ia menjawab, "Tentu, tetapi ia tidak termasuk golongan yang dicatat dalam buku catatan."
Memilih Shaf Pertama dan Dekat dengan Imam
Bagi jama’ah yang sudah sampai ke masjid, hendaknya dia memilih shaf (barisan) pertama yang dekat dengan imam. Karena di samping shaf pertama memiliki keutamaan yang besar juga lebih jelas untuk menyimak khutbah imam.
Diriwayatkan dari Aus bin Aus radliyallah 'anhu, berkata, "Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
مَنْ غَسَّلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَاغْتَسَلَ ثُمَّ بَكَّرَ وَابْتَكَرَ وَمَشَى وَلَمْ يَرْكَبْ وَدَنَا مِنْ الْإِمَامِ فَاسْتَمَعَ وَلَمْ يَلْغُ كَانَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ عَمَلُ سَنَةٍ أَجْرُ صِيَامِهَا وَقِيَامِهَا
"Barangsiapa mandi pada hari Jum'at, berangkat lebih awal (ke masjid), berjalan kaki dan tidak berkendaraan, mendekat kepada imam dan mendengarkan khutbahnya, dan tidak berbuat lagha (sia-sia), maka dari setiap langkah yang ditempuhnya dia akan mendapatkan pahala puasa dan qiyamulail setahun." (HR. Abu Dawud no. 1077, al-Nasai no. 1364 Ahmad no. 15585)
Sesungguhnya shaf pertama dalam shalat berjama’ah dan juga shalat Jum’at memiliki keutamaan yang agung dan pahala yang besar di sisi Allah Ta’ala. Sehingga Nabi kita menjelaskan,
لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الْأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلَّا أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لَاسْتَهَمُوا
Seandainya manusia mengetahui pahala yang terdapat dalam panggilan adzan dan shaf pertama, kemudian mereka tidak mendapatkan kecuali dengan diundi, niscaya mereka melakukannya.”(HR. Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Imam Ahmad mengeluarkan sebuah hadits dari Abu Umamah, Rasulullah Shallalahu 'alaihi Wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah dan Malaikat-Nya membacakan shalawat atas shaf pertama.” Beliau sampaikan itu sampai dua kali, baru shaf yang kedua.
Masih dari Musnad Imam Ahmad, dari hadits al-‘Irbadh bin Sariyyah, bahwa Rasulullah Shallalahu 'alaihi Wasallam bershalawat atas shaf pertama sebanyak tiga kali dan atas shaf selanjutnya hanya sekali.
Dan Rasulullah Shallalahu 'alaihi Wasallam mengancam bagi orang yang sengaja memilih shaf belakang/akhir.
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى فِي أَصْحَابِهِ تَأَخُّرًا فَقَالَ لَهُمْ تَقَدَّمُوا فَأْتَمُّوا بِي وَلْيَأْتَمَّ بِكُمْ مَنْ بَعْدَكُمْ لَا يَزَالُ قَوْمٌ يَتَأَخَّرُونَ حَتَّى يُؤَخِّرَهُمُ اللَّهُ
Rasulullah Shallalahu 'alaihi Wasallam melihat ada yang mengambil saf belakang. Maka beliau bersabda: “Majulah kalian dan ikutilah aku, dan hendaklah yang setelah kalian mengikuti kalian. Kaum yang senantiasa mengambil shaf akhir akan diakhirkan Ta’ala (dari masuk ke dalam surga). (HR. Muslim dari Abu Sa’id al Khudri)
Semoga Allah memberikan tambahan hidayah dan taufik kepada kita sehingga bisa mendapatkan pahala besar yang disediakan pada hari Jum’at. Sehingga kelak akan menjadi modal utama untuk kita masuk surga dalam rombongan pertama. Amiin. [PurWD/voa-islam.com]

Doa Saat Ditimpa Kesulitan (Memohon Kemudahan)

Oleh: Badrul Tamam
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya.
Dalam menjalani kehidupan ini, sering kita dihadapkan pada kesulitan. Terkadang kesulitan itu amat berat sehingga membuat kita hampir putus asa. Namun, keimanan akan kuasa Allah Ta’ala yang tidak terhingga, menjadikan kita tetap bersabar dan memiliki harapan.
Sesungguhnya alam semesta berada di bawah kuasa dan kendali Allah Ta’ala. Semuanya patuh kepada ketetapan dan kehendak-Nya. Tidak ada yang bisa bergerak atau bertingkah laku kecuali dengan daya, kekuatan, kehendak, dan izin-Nya. Apa yang Dia kehendaki pasti terjadi. Sebaliknya, yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan pernah terjadi.
Allah Mahakuasa melakukan apa saja. Dia mampu menjadikan segala kemudahan menjadi sesuatu yang sulit, juga sesuatu yang sulit menjadi mudah. Tidak ada yang susah bagi-Nya, karena Dia Mahakuasa atas segala-galanya. Karenanya ketika menghadapi kesulitan dan berbagai cobaan hidup kita tidak boleh putus asa. Masih ada Allah yang bisa kita minta dan mohon pertolongan-Nya. Maka kita diperintahkan untuk berdoa saat mengalami kesulitan,
اَللَّهُمَّ لا سَهْلَ إِلاَّ مَا جَعَلْتَهُ سَهْلاً وَ أَنْتَ تَجْعَلُ الْحَزْنَ إِذَا شِئْتَ سَهْلاً
Allaahumma Laa Sahla Illaa Maa Ja’altahu Sahlaa Wa Anta Taj’alul Hazna Idza Syi’ta Sahlaa
Ya Allah, tidak ada kemudahan kecuali apa yang Engkau jadikan mudah. Dan apabila Engkau berkehendak, Engkau akan menjadikan kesusahan menjadi kemudahan.
Apakah Doa ini Berasal dari Hadits?
Syaikh Muhammad bin Shalih rahimahullaah dalam salah satu fatwanya menyebutkan, ”Doa ini, aku tidak mengetahui asalnya (sumbernya) dari Assunnah, tapi itu banyak diucapkan oleh orang.” Pernyataan beliau serupa juga didapatkan dalam Kaset “Nuur ‘ala al-Darb” kaset no. 344 menit ke 22. Namun yang benar bahwa doa di atas berasal dari warisan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu,  Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
اَللَّهُمَّ لا سَهْلَ إِلاَّ مَا جَعَلْتَهُ سَهْلاً وَ أَنْتَ تَجْعَلُ الْحَزْنَ إِذَا شِئْتَ سَهْلاً
 “Ya Allah, tidak ada kemudahan kecuali apa yang Engkau jadikan mudah. Dan apabila Engkau berkehendak, Engkau akan menjadikan kesusahan menjadi kemudahan.” (HR. Ibnu Hibban dalam Shahihnya no. 2427, Ibnu Sunni dalam Amal al-Yaum wa al-Lailah no. 351, Abu Nu’aim dalam Akhbar Ashfahan: 2/305, Imam Al-Ashbahani dalam al-Targhib: 1/131. Syaikh Al-Albani menshahihkannya dalam  Silsilah Shahihah 6/902, no. 2886 dan mengatakan, “Isnadnya shahih sesuai syarat Muslim.”)
Doa ini juga disebutkan oleh Pengarang Hisnul Muslim, DR. Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qahthani, pada hal. 90 dengan judul, “Doa bagi siapa yang mendapatkan kesulitan.” Beliau menyebutkan bahwa Syaikh al-Arnauth menshahihkannya dalam Takhrij al-Adzkar lil Nawawi, hal. 106.
Makna Doa
Makna dari doa di atas, bahwa Allah tidak menjadikan segala sesuatu mudah bagi manusia. Tidak ada kemudahan bagi mereka, kecuali apa yang Allah jadikan mudah. Dan sesungguhnya kemudahan adalah apa yang Allah jadikan mudah. Sebaliknya, kesulitan dan kesusahan jika Allah kehendaki bisa menjadi mudah dan ringan. Sebagaimana kemudahan dan perkara ringan bisa menjadi sulit dan berat, jika Allah menghendakinya.  Karena semua perkara berada di tangan Allah 'Azza wa Jalla.
Maka kandungan doa ini, seseorang memohon kepada Allah agar memudahkan segala urusannya yang sulit dan memuji Allah 'Azza wa Jalla bahwa segala urusan ada di tangan-Nya, jika Dia berkehendak, kesulitan bisa menjadi mudah.
Sebagaimana yang sudah maklum, Allah 'Azza wa Jalla mahakuasa melakukan apa saja. Dan Dia mampu menjadikan kemudahan menjadi sesuatu yang sulit, juga sesuatu yang sulit menjadi mudah. Tidak ada yang susah bagi-Nya, karena Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.
Maka kandungan doa ini:
Seseorang memohon kepada Allah agar memudahkan segala urusannya yang sulit dan memuji Allah 'Azza wa Jalla bahwa segala urusan ada di tangan-Nya, jika Dia berkehendak, kesulitan bisa menjadi mudah.
Di Samping Berdoa, Apa yang Bisa Dilakukan?
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ
Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat.” (QS. Al-Baqarah: 153)
Allah Ta’ala menjelaskan bahwa cara terbaik untuk meminta pertolongan Allah dalam menghadapi berbagai musibah (di antaranya kesulitan dalam hidup) adalah dengan bersabar dan shalat.
Dan dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam apabila dihadapkan pada suatu masalah maka beliau segera shalat. (HR. Abu Dawud dan Ahmad dari Hudzaifah bin Yaman)
Sedangkan sabar untuk dalam hal ayat ini ada dua macam, yaitu sabar dalam rangka meninggalkan berbagai perkara haram dan dosa; dan bersabar dalam menjalankan ketaatan dan ibadah. Dan bersabar bentuk yang kedua adalah lebih banyak pahalanya, dan itulah sabar yang lebih dekat maksudnya untuk mendapatkan kemudahan.
Abdurrahman bin Zaid bin Aslam berkata, “Sabar ada dua bentuk: bersabar untuk Allah dengan menjalankan apa yang Dia cintai walaupun berat bagi jiwa dan badan. Dan bersabar untuk Allah dari segala yang Dia benci walaupun keinginan nafsu menentangnya. Siapa yang kondisinya seperti ini maka dia termasuk dari golongan orang-orang yang sabar yang akan selamat, insya Allah.” (Dinukil dengan ringkas dari Tafsir Ibnu Katsir dalam tafsir ayat di atas)
Sabar ada dua bentuk: bersabar untuk Allah dengan menjalankan apa yang Dia cintai walaupun berat bagi jiwa dan badan. Dan bersabar untuk Allah dari segala yang Dia benci walaupun keinginan nafsu menentangnya. (Abdurrahman bin Zaid bin Aslam)
Beberapa Doa Lain Untuk Mendapatkan Kemudahan:
  • Doa ketika ditimpa musibah dan kesusahan:
يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيثُ
Wahai Yang Maha Hidup Kekal, Yang terus menerus mengurus ( mahluk-Nya ), hanya dengan rahmat-Mu saja, saya meminta pertolongan.”
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَرَبَهُ أَمْرٌ قَالَ يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيثُ
Dari Anas bin Malik berkata, “Adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, apabila menghadapi suatu masalah, beliau berdoa,”Wahai Yang Maha Hidup Kekal, Yang terus menerus mengurus ( mahluk-Nya ), hanya dengan rahmat-Mu saja, saya meminta pertolongan.” (HR. al-Tirmidzi no. 3524. Dihassankan oleh Al-Albani dalam Silsilah Shahihah, no. 3182)
  • Doa Nabi Yunus saat berada di perut ikan:
أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ
Bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Anbiya’: 87)
Dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu 'anhu berkata, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Doa Nabi Yunus taatkala ia berada di dalam perut ikan: Bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim. Sesungguhnya tak seorang muslim yang berdoa kepada Rabb-nya dengan doa tersebut dalam kondisi apapun kecuali Allah akan mengabulkan untuknya.” (HR. al-Tirmidzi no. 3505 dan dishahihkan Al-Albani dalam Silsilah Shahihah no. 1644) 
Dan dalam Riwayat al-Hakim, Rasululah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, ”Maukah aku beritahukan kepadamu sesuatu jika kamu ditimpa suatu masalah  atau ujian dalam urusan dunia ini, kemudian berdoa dengannya.” Yaitu doa Dzun Nun atau Nabi Yunus di atas.
  • Doa saat keluar dari rumah:
بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ
Dengan nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan-Nya.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik, Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda, “Apabila seseorang keluar dari rumahnya lalu membaca,
بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ
Dengan nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan-Nya.” Beliau bersabda, Dikatakan pada saat itu, “Engkau telah diberi petunjuk, dicukupkan, dan dijaga. Maka Syetan menjauh darinya sehingga syetan yang lain berkata kepadanya, “Kaifa laka birajulin? (Apa yang bisa engkau lakukan terhadap seseorang) yang telah diberi petunjuk, telah dicukupkan, dan telah dijaga?” (HR. Abu Dawud no. 4431, al-Tirmidzi no. 3348, Ibnu Hibban no. 823, dan Ibnu Sunni dalam ‘Amal  al-yaum wa al-Lailah, no. 177. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih al-Tirmidzi no. 3426, Al-Misykah no. 2443, juga dalam Al-Kalim al-Thayyib) dan masih ada beberapa doa lainnya.
Penutup
Sebaiknya seorang muslim membiasakan diri dengan doa yang diajarkan oleh sunnah dalam menghadapi kesulitan. Karena orang yang mengajarkannya, yaitu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, adalah manusia paling tahu dengan doa yang pas dan paling bermanfaat. Dan hendaknya juga memilih doa-doa yang shahih saja, karena ada beberapa riwayat yang menyebutkan atau berisi permohonan kemudahan namun dhaif. Karenanya, penting bagi kita mencatat dan menghafal doa-doa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam baik yang bersifat umum atau terikat dengan waktu dan tempat. Walaupun tidak ada larangan untuk berdoa dengan kalimat dan bahasa apapun, karena Allah Mahatahu terhadap apa yang disampaikan hamba-Nya. Wallahu Ta’ala a’lam. Wallahu Ta'ala a'lam . . .
[PurWD/voa-islam.com]

Doa Agar Dihindarkan dari Pemimpin Zalim


Oleh: Badrul Tamam

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlumpah kepada hamba dan utusan-Nya, Muhammad bin Abdillah, keluarga dan para sahabatnya.
Pemimpin yang adil merupakan anugerah yang luar biasa dari Allah bagi umat manusia. Melalui dia, Allah melimpahkan kebaikan dan keberkahan sebagaimana yang terjadi pada zaman Khulafa' Rasyidin dan Umar bin Abdul Aziz radhiyallahu 'anhum.
Allah sangat memuliakan para pemimpin yang adil, sehingga menjanjikan untuk mereka naungan pada hari yang tiada naungan kecuali naungan-Nya. Yaitu hari di saat manusia dikumpulkan di padang mahsyar, matahari didekatkan dan manusia tenggelam oleh keringat mereka.
Disebutkan dalam Shahihain, dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,   
سَبْعَة يُظِلّهُمْ اللَّه فِي ظِلّه يَوْم لَا ظِلّ إِلَّا ظِلّه : إِمَام عَادِل
Ada tujuh golongan, Allah akan menaungi mereka di bawah naungan-Nya yang tiada naungan pada hari itu kecuali naungan-Nya: (Yang pertama) Imam yang adil . . . ” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan menurut al-Qadhi ‘Iyadh,  disebutkannya imam yang adil pada urutan pertama karena banyaknya manfaat dan mashlahat yang dihasilkannya. (Lihat: Syarah Sunan al-Nasai: 7/102)
Diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ الْمُقْسِطِينَ عِنْدَ اللَّهِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ عَنْ يَمِينِ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ . . .الَّذِينَ يَعْدِلُونَ فِي حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ وَمَا وَلُوا
Sesungguhnya orang-orang yang berbuat adil, kelak di sisi Allah (mereka berada) di atas mimbar dari cahaya di sebelah kanan Allah Azza wa Jalla. . . . yaitu mereka yang berbuat adil dalam hukum, keluarga, dan apa saja yang mereka pimpin.
Diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Sunan-nya dan beliau menghasankannya, dari hadits Abi Sa’id al-Khudri secara marfu’, “Manusia paling dicintai oleh Allah pada hari kiamat dan paling dekat tempatnya dengan Allah adalah pemimpin yang adil.
Siapa Pemimpin yang Adil?
Ibnul Hajar rahimahullaah dalam Fathul Baari, ketika menjelaskan tentang hadits naungan Allah di atas mengatakan, “Dan penafsiran terbaik terhadap pemimpin yang adil adalah dia yang mengikuti perintah Allah dengan meletakkan/menempatkan segala sesuatu pada tempatnya tanpa berlebihan dan meremehkan. Dan disebutkannya pada urutan pertama karena banyaknya manfaat (yang diwujudkan) melaluinya.”
Pemimpin yang adil adalah mereka yang takut kepada Allah dan menerapkan syariat-Nya di muka bumi. Karenanya, dia selalu berusaha menjadikan rakyatnya mengikuti syariat Allah, menjaga agama mereka, dan menunaikan hak-hak rakyatnya dengan baik.
Sebaliknya pemimpin yang tidak adil adalah mereka yang tidak takut kepada Allah dan menelantarkan Syariat-Nya. Berbuat dalam kepemimpinannya yang mendatangkan murka Allah, melarang rakyatnya menerapkan syariat-Nya, dan bahkan berbuat sesuatu yang membahayakan agama mereka. Maka pemimpin seperti ini tidak akan pernah termasuk dalam tujuh golongan yang akan diberikan naungan oleh Allah pada hari kiamat, tidak akan dicintai dan dimuliakan oleh-Nya.
Karena tidak adanya rasa takut kepada Allah, maka dia tidak banyak pikir dalam menzalimi rakyatnya. Memeras melalui pajak atau menyedot sumber daya alam mereka untuk kepentingan perutnya sendiri tanpa memikirkan penderitaan rakyatnya. Hak-hak rakyat dia telantarkan dan tidak ditunaikan. Maka kita berlindung kepada Allah dari kejahatan pemimpin seperti ini. Kita memohon kepada-Nya agar tidak dipimpin oleh orang-orang semacam itu. Karena, kepemimpinan mereka akan membahayakan agama kita, kita dipaksa dengan kasar atau lembut untuk mengingkari ajaran Rabb semesta Alam. Kemaksiatan dia biarkan, sedangkan amar ma’ruf nahi munkar tidak ditunaikan. Bahkan, ketika sekelompok dari umat Islam yang bangkit untuk menerapkan ajaran Tuhannya dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, serta merta disudutkan dan diperangi. Wal ‘yadhu billah!
. . . penafsiran terbaik terhadap pemimpin yang adil adalah dia yang mengikuti perintah Allah dengan meletakkan/menempatkan segala sesuatu pada tempatnya tanpa berlebihan dan meremehkan.
(Ibnul Hajar)
Doa Apa yang Bisa Dipanjatkan?
Dalam tulisan terdahulu, Doa Agar Terhindar dari Musibah Agama disebutkan beberapa kandungan yang ada di dalamnya. Ringkasnya: supaya kita diberikan kebaikan dalam urusan dien sehingga menghantarkan kita kepada surga-Nya. Lalu kita berlindung kepada Allah dari musibah yang menimpa agama kita dan memohon jangan dijadikan dunia sebagai tujuan utama hidup kita. Dan dipenghujung doa disebutkan,
وَلَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لَا يَرْحَمُنَا
Dan janganlah Engkau kuasakan atas kami orang-orang yang tidak menyayangi kami."
Yaitu memohon agar jangan dijadikan sebagai umat yang dikalahkan dan dikuasai orang-orang kafir dan orang-orang zalim. Dan memohon agar Allah tidak menjadikan orang-orang zalim sebagai penguasa atas kita, karena pemimpin yang zalim tidak akan mengasihi rakyatnya.
Bahaya Pemimpin Zalim
Pemimpin yang durhaka kepada Rabbnya dan bertindak zalim kepada rakyatnya menjadi sebab dihancurannya suatu negeri. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا
Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (QS. Al-Isra’: 16)
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang makna ayat di atas, “Kami beri kuasa orang-orang buruknya, lalu mereka bertindak durhaka di dalamnya. Maka apabila mereka telah bertindak seperti itu, aku hancurkan mereka dengan adzab.” (Lihat: Tafsir Ibnu Katsir terhadap ayat tersebut)
Dan itulah makna firman-Nya,
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا فِي كُلِّ قَرْيَةٍ أَكَابِرَ مُجْرِمِيهَا لِيَمْكُرُوا فِيهَا
“Dan demikianlah Kami adakan pada tiap-tiap negeri penjahat-penjahat yang terbesar agar mereka melakukan tipu daya dalam negeri itu.” (QS. Al-An’am: 123)
Dan ketika jumlah para pemimpin dan penguasa negeri yang seperti itu bertambah banyak –dan di akhir zaman jumlah mereka semakin banyak, seperti yang sudah kami tulis dalam: Sinyalemen Nabi: Banyak Pemimpin Bejat dan Hina di Akhir Zaman- maka kehancuran negeri itu semakin dekat. Hal seperti yang dikatakan Imam Al-‘Ufi, dari Ibnu Abbas tentang makna QS. Al-Isra’: 16 di atas adalah: aktsarnaa ‘adadahum (Kami perbanyak jumlah mereka). Dan seperti itu pula yang dikatakan Ikrimah, al-Hasan al-Bashri, al-Dhahak, Qatadah, al-Zuhri dan lainnya. (Lihat: Tafsir Ibnu Katsir dalam penafsiran ayat tersebut).
Karenanya kita berlindung kepada Allah dari memiliki pemimpin yang durhaka kepada Allah, menelantarkan syariat-Nya dan tidak mengasihi rakyatnya. Salah satunya dengan membaca doa yang sangat agung berikut ini:
"Ya Allah, karunikanlah untuk kami rasa takut kepadaMu yang dapat menghalangi kami dari bermaksiat kepada-Mu, dan (karuniakanlah untuk kami) ketaatan kepada-Mu yang dapat menyampaikan kami kepada surga-Mu, serta (karuniakanlah untuk kami) keyakinan hati yang dapat meringankan kami dari berbagai cobaan dunia. Jadikankan kami bisa menikmati dan memanfaatkan pendengaran, penglihatan, dan kekuatan kami selama kami hidup. Dan jadikan semua itu sebagai pewaris bagi kami (tetap ada pada kami sampai kematian). Jadikanlah kemarahan dan balas dendam kami hanya kepada orang-orang yang menganiaya kami, dan tolonglah kami terhadap orang-orang yang memusuhi kami. (Ya Allah) Janganlah Engkau jadikan musibah kami adalah yang terjadi pada dien kami, dan janganlah Engkau jadikan dunia sebagai tujuan terbesar kami dan puncak dari ilmu kami, dan janganlah Engkau kuasakan atas kami orang-orang yang tidak menyayangi kami." (HR. Al-Tirmidzi dalam Sunannya no. 3502, al-Nasai dalam 'Amal al-Yaum wa al-Lailah no. 402, Al-Hakim 1/528, Al-Baghawi no. 1374 dari hadits Ibnu Umar. Imam al-Tirmidzi mengatakan hasan Gharib. Syaikh Al-Albani menghassankan hadits ini dalam Shahih al-Jami' al-Shaghir no. 1268) Wallahu Ta’ala a’lam…
[Pur/WD/voa-islam.com]

"MAJELIS RASULULLAH SAW"

"MAJELIS RASULULLAH SAW"









"PERADABAN BARU ISLAM (FITRAH MANUSIA)"

Seaching Blog