Hidayatullah.com--“Revolusi” Mesir memang sudah berlalu, Mubarak pun sudah lengser dari jabatannya. Namun, ada pelajaran dari peristiwa tersebut.
Peristiwa “Revolusi 25 Januari” tidak hanya mengubah rezim, namun juga mengubah pandangan yang selama ini digunakan oleh komunitas Muslim yang menamai diri mereka sebagai penganut salaf alias Salafi. "Revolusi Mesir pada tanggal 25 Januari, memaksa mayoritas orang berfikir dan meninjau ulang pemahaman yang mereka miliki, yang sebelumnya pemahaman itu tidak bisa dikritik dan ditinjau ulang, lebih-lebih untuk bisa diubah," demikian, Khalid As Syafi’i, penulis buku “Ana Wahabi Fa Kana Madza?” (Saya adalah Wahabi, Memang Kenapa?), yang juga berasal dari komunitas tersebut, mengakui hal itu. (onislam.net, 8/3)
Sebab itulah, Khalid menulis otokrotik untuk komunitasnya sendiri, untuk meninjau ulang beberapa pandangan fikih yang sebelumnya digunakan, khususnya dalam masalah hubungan antara hakim (penguasa) dengan mahkum (rakyat). Masuk dalam persoalan ini hukum demontrasi, pemberontakan, serta nahi munkar terhadap penguasa.
Saat demontrasi melawan kezaliman penguasa menyebar di dunia Arab, Syeikh Abdul Aziz Alu As Syaikh selaku Mufti Saudi, yang juga menjadi rujukan dalam komunitas ini, telah mengeluarkan pernyataan dalam khutbah Juma’at (4/2) yang ditujukan kepada para pemuda di berbagai negara, bahwa demonstrasi bisa menyebabkan timbulnya fitnah dan kesesatan.
Ia juga menyatakan pandangan dalam masalah fikih bahwa demontrasi tidak disyariatkan. Mufti juga menyeru agar para pemuda menjauh aktivitas ini.
Namun, pendapat mufti Saudi di atas, tidak sepenuhnya didukung oleh Salafi Mesir. Komunitas Salafi Kairo lebih memilih turun ke jalan bergabung dengan demonstran lain di lapangan Tahrir. Para tokoh komunitas ini seperti Syeikh Muhammad Abdul Maqsud, Syeikh Nasy’ad Ahmad, Syeikh Fauzi Sa’id, beserta ratusan muridnya ikut bergabung dengan demonstran sepanjang revolusi, hingga Husni Mubarak lengser pada tanggal 11 Februari 201.
Syeikh Muhammad Hasan yang juga ditokohkan dalam komunitas ini, mengaku di kanal Ar Arabiya, bahwa ia bergabung dengan demonstran di lapangan Tahrir bersama anak-anaknya. Muhammad Hasan juga muncul di kanal Al Mahwar pascatragedi “Rabu Berdarah”, dan menyatakan terang-terangan bahwa pemerintah sudah kehilangan legitimasi.
Ia juga menyatakan bahwa penggunaan kekerasan oleh aparat terhadap demonstran adalah hal yang dilarang syari’at, sebagaimana dinukil onislam.net (26/3)
Sedangkan Syeikh Muhammad Abdil Maqsud dalam sebuah khutbah Jumat juga mengajak jama’ah untuk bergabung dalam revolusi yang ia sebut sebagai revolusi yang diberkahi itu, demikian disebutkan onislam.net (26/3)
Namun, Salafi Iskandariyah berbeda dengan Salafi Kairo. Pada tanggal 8 Februari 2011 mereka mengadakan muktamar untuk menyikapi revolusi Mesir. Hasilnya, mereka akhirnya menyuarakan tuntutan secara terang-terangan kepada pemerintah agar diakhirinya UU Darurat dan dilakukan pembebasan tahanan yang ditangkap tanpa alasan.
Mereka juga menuntut agar penguasaan partai pemerintah Hizb Al Wathani terhadap media diakhiri Di samping itu mereka meminta pengaktifan UU pasal 2, yang menyebutkan bahwa syari’at merupakan sumber hukum, dalam perundang-undangan Mesir.
Mereka memilih tidak bergabung dengan demonstran, karena alasan ikhtilath dan agar rakyat tidak dinilai sebagai radikal, dengan bergabungnya mereka dalam demontrasi. Hal ini dijelaskan oleh Syeikh Ahmad Farid, salah satu tokoh Salafi di wilayah pesisir tersebut, sebagaimana disebutkan dalam koran As Syuruq, seperti dinukil oleh Al Mafkarat (6/3).
Namun, bukan berarti demontrasi dilarang mutlak, jika perkara yang dilarang, menurut mereka, seperti ikhtilath tidak terjadi. Sehingga Syeikh Ahmad Farid sendiri menyeru turun ke jalan untuk menuntut agar UU pasal 2 tidak diutak-atik, padahal sebelumnya komunitas sangat antipati terhadap demonstrasi.
Untuk hal ini, Syeikh Ahmad Farid menjelaskan,”Fatwa bisa berubah, sesuai dengan tampat dan waktu. Wasilah untuk mengungkapkan pendapat sekarang sudah jelas, yakni demonstrasi. Undang-Undang memperbolehkan untuk melakukannya. Hal ini bukan termasuk keluar dari hakim.” Sebagaimana dilansir Al Mafkarat (6/3)
Walau tidak setuju dengan demontrasi yang saat itu berlangsung, karena disertai perkara yang menurut mereka dilarang, namun komunitas ini toleran kepada mereka yang memilih turun ke jalan. Dr. Yasir Burhami yang juga ditokohkan dalam komunitas ini menyatakan dalam kanal Al Majdi, bahwa pendapatnya yang tidak mendukung demonstrasi adalah perkara yang benar, tapi memungkinkan untuk salah, demikian juga pendapat tokoh lain yang mendukung demonstrasi. Salah tapi memungkinkan benar. Sebab itu, ia membolehkan penilaian mereka yang wafat dalam peristiwa revolusi sebagai syuhada, sesuai dengan niat mereka, demikian disebutkan taseel.com, (21/3)
Mereka yang Tidak Setuju
Namun, tidak semua anggota komunitas ini menyetujui demonstrasi dan menasehati penguasa secara terang-terangan seperti yang dilakukan oleh para tokoh, baik dari Kairo maupun Iskandariyah. Di antara mereka adalah Syeikh Musthafa Al Adawi, Syeikh Mahmud Al Mishri, serta Syeikh Muhammad Husein Ya’kub. Mahmud Al Mishri sendiri sempat menyeru para demonstran untuk meninggalkan lapangan Tahrir.
Sedangkan tokoh yang belum menunjukkan sikap pro atau kontra adalah Syeikh Abu Ishaq Al Huwayyini. Di samping tidak muncul lagi di televisi, telefonnya juga tidak aktif. Sehingga, sampai saat ini belum dikatahui sikapnya mengenai revolusi Mesir, sebagaimana disebutkan taseel.com (21/3)
Walhasil, peristiwa “revolusi Mesir” di samping menjelaskan “peta” komunitas Salafi dalam merespon revolusi, juga menjelaskan adanya perubahan pendapat dalam masalah hubungan rakyat dan penguasa. Kini terlihat, para tokoh Salafi ada yang memandang bahwa demontrasi dan mengkritik pemerintah terang-terangan dibolehkan, tentunya dengan syarat-syaratnya.*
Foto: Syeikh Muhammad Hasan (baju putih) dan Syeikh Ahmad Farid
Rep: Thoriq
Red: Cholis Akbar