Kesaksian yang dalam bahasa arab adalah asy-Syahâdah secara etimologi berasal dari kata syahida-yasyhadu-syahadah yang berarti bersaksi. Menurut Muḥammad bin
Muḥammad bin Abd ar-Razzâq al-Ḥusainî dalam Tâj al-‘Arûs min Jawâhir al-Qamûs juz
8 halaman 252: “Arti syahadat adalah informasi yang pasti baik secara lisan maupun prinsip.” Artinya,
informasi tersebut dinyatakan pasti dan otentik secara lisan yang biasanya
menggunakan media dari mulut ke mulut, maupun secara prinsip yang biasanya
terekam oleh catatan yang otentik.
Dalam al-Quran
kalimat yang berhubungan syahadat seringkali diulang-ulang. Setidaknya ada
beberapa pengertian dengan konteks yang berbeda-beda. Sebagaimana contoh QS.
al-Baqarah ayat 185 disebutkan bahwa konteks syahadat pada ayat tersebut adalah
kesaksian tentang munculnya hilal sebagai pertanda masuknya bulan puasa.
Konteks yang berbeda adalah QS. Ali ‘Imran ayat 18 yang berbunyi:
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو
الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada
Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. Para
Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak
disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Imam az-Zamakhsyari
dalam kitabnya al-Kasysyaf juz 1 halaman 260 mengartikan syahida dalam ayat tersebut sebagai penyaksian
yang bertujuan untuk memberikan informasi pasti dan menunjukkan kepada yang
lain. Maka tidak salah kalau Ibnu
Katsir memberikan predikat bahwa penyaksian model ini adalah penyaksian yang
paling benar dan paling adil, karena yang bersaksi adalah Allah, para Malaikat
dan para ulama. (Lihat Ismail bin Umar
bin Katsir al-Qurasyi dalam Tafsir
al-Qur’an al-‘Adzim juz 2 halaman 24). Senada
dengan az-Zamakhsyari, al-Alusi juga mengartikan syahida penjelasan. Menurut al-Alusi syahida adalah majas yang diserupakan kepada
kalimat bayyana (menjelaskan). (Lihat Syihabuddin
Mahmud bin Abdullah al-Alusi dalam Ruh
al-Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim wa as-Sab’ al-Matsani juz 2 halaman 453).
Masih banyak
lagi konteks pemahaman yang berbeda dari kalimat syahadat. Penulis bisa
menyimpulkan bahwa substansi makna syahadat adalah berhubungan dengan lahiriyah
dan batiniyah. Artinya, ada penyaksian yang diartikan cukup melihat karena
berhubungan dengan suatu hal yang bersifat lahiriyah seperti melihat hilal. Ada
penyaksian yang bersifat batin seperti yang digambarkan pada QS. Fushshilat
ayat 20, yang menjelaskan tentang ahli neraka yang apabila mereka sampai ke
neraka, pendengaran, penglihatan dan kulit mereka menjadi saksi terhadap mereka
tentang apa yang telah mereka kerjakan. Ada pula penyaksian yang bersifat lahir
batin sebagai gambaran QS. Ali ‘Imran ayat 18 yang telah dijelaskan di atas.
Syahadat
merupakan suatu bacaan yang familier yang seringkali diucapkan dalam setiap
ritual keagamaan umum. Seperti di dalam shalat yang dibaca di dalam bacaan
tasyahud, di dalam kalimat adzan, di dalam khotbah dan masih banyak lagi. Dalam
konteks yang berbeda-beda tersebut hampir menunjukkan arti yang sama.
Abû Bakr
al-Anbârî mengartikan syahadat pada konteks kalimat adzan sebagai mengetahui
dan menjelaskan. Sehingga apabila diucapkan asyhadu
an lailaha illa Allah mempunyai
arti aku mengetahui dan menjelaskan kepada orang lain bahwa tiada tuhan selain
Allah. Sedangkan asyhadu anna
Muhammadan Rasul Allah berarti aku mengetahui dan menjelaskan kepada orang
lain bahwa Muhammad adalah utusan Allah. (Lihat Muḥammad
bin Mukarram bin Manẓûr al-‘Afriqî dalam Lisân al-’Arab juz 3 halaman
238). Begitu pula syahadat yang
dibaca di dalam shalat, khotbah, doa tertentu dan lain-lain mempunyai pemahaman
arti yang hampir sama.
Dengan
demikian maka bisa disimpulkan bahwa syahadat secara terminologi adalah sebuah
penyaksian yang di dalamnya mengandung arti mengetahui, meyakini dan
menjelaskan kepada orang lain bahwa tiada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad
adalah utusan Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar