Tampilkan postingan dengan label Fatwa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fatwa. Tampilkan semua postingan

Selasa, 24 April 2012

Belum Pernah Dilakukan Rasulullah SAW itu Belum Tentu Dilarang

yasinan

Dalam diskusi di Mushalla al-Fitrah, Jl. Gunung Mangu, Monang Maning Denpasar, pada akhir Juli 2010, ada seorang Wahhabi berinisial HA berkata: “Ustadz, Rasulullah SAW tidak pernah mengumpulkan para sahabat, lalu membaca Surat Yasin secara bersama-sama. Oleh karena itu, berarti tradisi Yasinan itu bid’ah dan tidak boleh dilakukan.” Demikian kata HA dengan suara agak berapi-api.

Pernyataan HA tersebut saya jawab: “Sesuatu yang tidak pemah dikerjakan oleh Rasulullah SAW, atau para sahabat dan ulama salaf itu belum tentu dilarang atau tidak boleh. Berdasarkan penelitian terhadap hadits-hadits Nabi SAW, al-Hafizh Abdullah al-Ghumari menyimpulkan, bahwa sesuatu yang ditinggalkan oleh Rasulullah SAW mengandung beberapa kemungkinan:

Pertama, Nabi SAW meninggalkannya karena tradisi di daerah beliau tinggal. Nabi SAW pernah disuguhi daging biawak yang dipanggang. Lalu Nabi M bermaksua menjamahnya dengan tangannya. Tiba-tiba ada orang berkata kepada beliau: “Itu daging biawak yang dipanggang.” Mendengar perkataan itu, Nabi SAW tidak jadi memakannya. Lalu beliau ditanya, “Apakah daging tersebut haram?” Beliau menjawab: “Tidak haram, tetapi, daging itu tidak ada di daerah kaumku, sehingga aku tidak selera.” Hadits ini terdapat dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim.

Kedua, Nabi SAW meninggakannya karena lupa. Suatu ketika Nabi SAW lupa meninggalkan sesuatu dalam shalat. Lalu beliau ditanya, “Apakah terjadi sesuatu dalam shalat?” Beliau menjawab: “Saya juga manusia, yang bisa lupa seperti halnya kalian. Kalau aku lupa meninggalkan sesuatu, ingatkan aku.”

Ketiga, Nabi SAW meninggalkannya karena khawatir diwajibkan atas umatnya. Seperti Nabi SAW meninggalkan shalat tarawih setelah para sahabat berkumpul menunggu untuk shalat bersama beliau.

Keempat, Nabi SAW meninggalkannya karena memang tidak pemah memikirkan dan terlintas dalam pikirannya. Pada mulanya Nabi SAW berkhutbah dengan bersandar pada pohon kurma dan tidak pemah berpikir untuk membuat kursi, tempat berditi ketika khutbah. Setelah sahabat mengusulkannya, maka beliau menyetujuinya, karena dengan posisi demikian, suara beliau akan lebih didengar oleh mereka. Para sahabat juga mengusulkan agar mereka membuat tempat duduk dari tanah, agar orang asing yang datang dapat mengenali beliau, dan temyata beliau menyetujuinya, padahal belum pernah memikirkannya.

Kelima, Nabi SAW meninggalkannya karena hal tersebut masuk dalam keumuman ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-haditsnya, seperti sebagian besar amal-amal mandub (sunnat) yang beliau tinggalkan karena sudah tercakup dalam firman Allah :
وافعلوا الخير لعلّكم تفلحون . الحج: ٧٧
“Lakukanlah kebaikan, agar kamu menjadi orang-orang yang beruntung.” (QS. al-Hajj: 77).

Keenam, Nabi SAW meninggalkannya karena menjaga perasaan para sahabat atau sebagian mereka. Nabi bersabda kepada Aisyah: “Seandainya kaummu belum lama meninggalkan kekufuran, tentu Ka’bah itu aku bongkar lalu aku bangun sesuai dengan fondasi yang dibuat oleh Nabi Ibrahim karena orang-orang Quraisy dulu tidak mampu membangunnya secara sempuma.” Hadits ini terdapat dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim. Nabi SAW tidak merekonstruksi Ka’bah karena menjaga perasaan sebagian sahabatnya yang baru masuk Islam dari kalangan penduduk Makkah.

Kemungkinan juga Nabi SAW meninggalkan suatu hal karena alasan-alasan lain yang tidak mungkin diuraikan semuanya di sini, tetapi dapat diketahui dari meneliti kitab-kitab hadits. Belum ada suatu hadits maupun atsar yang menjelaskan bahwa Nabi SAW meninggalkan sesuatu karena hal itu diharamkan. Demikian pernyataan al- Hafizh Abdullah al-Ghumari dengan disederhanakan.

Berkaitan dengan membaca al-Qur’an atau dzikir secara bersama, al-Imam al-Syaukani telah menegaskan dalam kitabnya, al-Fath al-Rabbai fi Fatawa al-Imam al-Syaukani sebagai berikut:
“Ini adalah himpunan ayat-ayat al-Qur’an ketika melihat pertanyaan ini. Dalam ayat-ayat tersebut tidak ada pembatasan dzikir dengan cara mengeraskan atau memelankan, meninggikan atau merendahkan suara, bersama-sama atau sendirian. Jadi ayat-ayat tersebut memberi pengertian anjuran dzikir dengan semua cara tersebut.” (Syaikh al-Syaukani, Risalah al-Ijtima’ ‘ala al-Dzikir wa al-Jahr bihi, dalam kitab beliau al-Fath al-Rabbani min Fatawa al-Imam al-Syaukani, hal 5945).

Pernyataan al-Syaukani di atas, adalah pernyataan seorang ulama yang mengerti al-Qur’an, hadits dan metode pengambilan hukum dari al-Qur’an dan hadits. Berdasarkan pernyataan al-Syaukani di atas, membaca al-Qur’an bersama-sama tidak masalah, bahkan dianjurkan sesuai dengan ayat-ayat al-Qur’an yung menganjurkan kita memperbanyak dzikir kepada Allah dengan cara apapun.
(Disadur dan dipublikasikan Oleh Tim Sarkub dari Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi karya Ust. Muh. Idrus Ramli)

Jumat, 09 Maret 2012

Fatwa: Forex Trading Haram

 Badan tertinggi Islam Malaysia mengeluarkan fatwa terbaru yang melarang perdagangan valuta asing oleh individu Muslim. Fatwa tersebut mengatakan praktik spekulasi dalam perdagangan valas melanggar hukum Islam.
Dewan Fatwa Nasional memutuskan perdagangan valas oleh "money changer" atau antara bank adalah perdagangan yang diizinkan.
Tapi, ketika itu dilakukan individu maka "menciptakan kebingungan" di antara umat, menurut sebuah laporan yang dikeluarkan Rabu oleh kantor berita negara Bernama.
Ketua dewan, Abdul Shukor Husin, memperingatkan "Ada banyak keraguan tentang jenis perdagangan tersebut (forex trading), melibatkan individu yang menggunakan internet dengan absenya kepastian hasil," lapor Bernama.
"Sebuah studi oleh komite menemukan bahwa perdagangan tersebut melibatkan spekulasi mata uang, yang bertentangan dengan hukum Islam," kata dia.
Seorang pejabat dewan menegaskan keputusan itu kepada AFP tapi tidak memberikan rincian lebih lanjut.
Islam meletakkan kode etik yang ketat untuk bisnis yang melarang spekulasi dan riba.
Pemeluk Islam di Malaysia dipandang lebih moderat daripada di sebagian besar Muslim dunia.
Sekitar 60 persen dari 28 juta penduduknya adalah Muslim dan tetap tunduk pada hukum Islam dalam urusan sipil.
Pada 2008, Dewan Fatwa Nasional juga mengeluarkan larangan terhadap yoga bagi umat Islam yang dipandang kontroversial. Alasan ulama, yoga bisa mengikis iman mereka.
Fatwa itu sempat memicu kegemparan dari muslim moderat, yang mendorong Perdana Menteri Abdullah Ahmad Badawi turun tangan.
PM mengatakan umat Islam bisa melakukan yoga selama tidak memiliki elemen spiritual Hindu.
Spekulasi dan riba
Menurut Dewan Fatwa Nasional Malaysia, perdagangan valas oleh money changer atau antar bank masih diperbolehkan, namun perdagangan valas individu dinilai bisa menimbulkan kekacauan pada keyakinan.
"Ada banyak perdebatan tentang itu (forex trading) dan itu melibatkan individu-individu yang menggunakan internet dengan akibat yang tidak pasti," ujar chairman Dewan Fatwa Nasional, Abdul Shukor Husin sebagaimana dikutip dari AFP, Kamis (16/2).
"Sebuah studi oleh komite menemukan bahwa perdagangan tersebut melibatkan spekulasi mata uang yang kontradiksi dengan ajaran Islam," tambahnya.
Pejabat Dewan yang dikonfirmasi lebih lanjut mengenai aturan tersebut tidak memberikan detail. Yang pasti, ajaran Islam melarang adanya spekulasi dan riba.
MUI bertahan
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan tidak akan ikut-ikutan mengubah fatwa perdagangan valuta asing (valas) menjadi haram seluruhnya seperti yang dilakukan Malaysia. MUI sudah punya fatwa sendiri dan tidak akan diubah.
Menurut Ketua Komisi Fatwa MUI Hasanudin, ada empat jenis transaksi valas di Indonesia, tiga diantaranya masuk kategori haram. Sementara satu lainnya masih diperbolehkan.
"Kalau Malaysia mau bikin fatwa seluruhnya haram, itu urusan mereka, karena masing-masing kan punya regulator sendiri. Kita sudah keluarkan fatwa dan tidak akan diubah," katanya ketika dihubungi detikFinance, Kamis (16/2/2012).
Ia mengatakan, empat jenis transaksi valas yang sering dilakukan di Indonesia adalah transaksi spot, forward, swap dan option. Tiga yang terakhir diharamkan oleh MUI.
Sehingga yang diperbolehkan oleh MUI adalah perdagangan valas di pasar spot saja.
Transksi spot tidak masuk kategori haram karena merupakan transaksi pembelian dan penjualan valuta asing untuk penyerahan pada saat itu (over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari.
"Hukumnya adalah boleh, karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari dan merupakan transaksi internasional," ujarnya.
Sedangkan ketiga transaksi lainnya mengandung unsur spekulasi harga sehingga diharamkan oleh MUI.
Pada dasarnya, ada beberapa hal dalam transaksi valas yang diperbolehkan.
Hal-hal tersebut antara lain tidak untuk spekulasi (untung-untungan), ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan), apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (at-taqabudh) dan apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar yang berlaku pada saat transaksi dan secara tunai. (Surau.net)

Rabu, 05 Oktober 2011

Hukum Kerja di Warnet



 
Hidayatullah.com--Syeikh Dr. Ali Jum’ah, Mufti Agung Mesir menyatakan dalam fatwa beliau yang bernomor 1954, bahwa internet adalah sarana yang berguna untuk dalam interaksi antar masyarakat. Ada manfaat dan ada pula madharatnya. Tanggung jawab penggunaannya berada di tangan penggunanya. Siapa yang menggunakannya untuk tujuan bermanfaat maka tiada dosa baginya, dan barang siapa menggunakannya tidak sesuai dengan hukum syar’i, maka dia lah yang bertanggung jawab terhadap perbuatannya.
Akan tetapi, beliau mengingatkan pemiliki warnet agar ikut melakukan pengawasan. ”Bagi operator warnet juga harus menjaga dan mengawasi dengan semaksimal mungkin para pengguna, hingga warnetnya tidak menjadi salah satu sebab kerusakan. Operator juga harus memperhatikan waktu-waktu shalat, hingga tidak menjadikan warnet sebagai sebab untuk menghalangi mengingat Allah  dan shalat.
Dengan demikian, bekerja di warnet adalah hal yang dibolehkan menurut syara’. Wallahu’alam."
Fatwa di atas dikeluarkan untuk merespon permohonan fatwa no. 1954, yang menanyakan hukum bekerja di warnet. Sedangkan warnet di Mesir sendiri digunakan anak-anak untuk bermain game sedangkan orang-orang dewasa juga menggunakannya untuk melakukan percakapan dengan wanita lawan jenis dari berbagai negara.
Namun, para pengguna ada juga menggunakannya untuk melakukan komunikasi dengan keluarga mereka di berbagai tempat dan untuk melihat situs-situs bermanfaat.*

Salafy Mesir: “Boleh Lengserkan Pemimpin, Walau Ia Muslim”



 
Hidayatullah.com--Yasir Abdu At Tawwab, salah satu aktivis komunitas Muslim yang menyatakan sebagai pengikut salaf, menyatakan bahwa dalam kondisi tertentu dibolehkan melengserkan pemimpin walau ia Muslim, sebagaiman ditulis dalam situs anasalafy.com.
Menurutnya, dibolehkan melengserkan pemimpin jika lebih banyak kerusakannya walau ia Muslim, dan hal itu dilakukan dengan cara damai.
Pemimpin adalah pekerja umat
Penulis tersebut berpendapat demikian dengan berpijak pada beberapa argumen, salah satunya adalah pernyataan Abu Bakr As Shiddiq, ”Wahai manusia, sesungguhnya aku telah menjadi pemimpin atas kalian, dan aku tidak lebih baik dari kalian. Jika aku berlaku baik, maka bantulah dan jika aku berlaku buruk maka lawanlah. Taatilah aku dari apa-apa yang aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika aku bermaksiyat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka kalian tidak boleh taat kepadaku.
Dari pernyataan di atas, disimpulkan bahwa umat memiliki hak untuk melakukan evaluasi kepada penguasa. Dan menurunkannya jika diharuskan.
Demikian juga penulis menukil pernyataan Ibnu Taimiyah di Majmu’ Al Fatawa, ”Penguasa diperhitungkan atas apa-apa yang ia lakukan dari permusuhan dan apa-apa yang dilalaikan dari hak-hak, jika memungkinkan.”
Ibnu Taimiyah juga menyebutkan dalam Minhaj As Sunnah, bahwa Umar bin Al Khaththab mencopot Sa’d bin Abi Waqash dari jabatannya sebagai gubernur Kufah, setelah para penduduknya mengeluhkannya. Karena ia merupakan wakil dari umat.
Yang menunjukkan juga bahwa imam adalah pekerja rakyat adalah pernyataan  Abu Muslim Al Khaulani yang menyatakan kepada Muawiyah bin Abi Sufyan,”Assalamualaikum, wahai pekerja!”, setelah beliau dibaiat menjadi pemimpin.
Sesuai dengan argumen itu, selama pemimpin adalah pekerja umat, maka jika umat menurunkannya dikarenakan banyaknya kedzalimannya, walau ia belum kafir maka tidak mengapa melakukannya. Dan hal inilah yang menurut si penulis terjadi di Mesir.
Namun, jika yang kedzaliman yang dilakukan tidak separah itu atau hanya terkadang memerintahkan kemaksiyatan, atau terkadang keputusannya salah walaupun hingga memukul fisik dan mengambil hak , maka tidak boleh melakukan pemberontakan.*

Dar Al Ifta' Larang Penyesatan terhadap Asy’ari, Sufi dan Salafy



 
Hidayatullah.com--Dr. Ali Jum’ah, Mufti Mesir melakukan satu langkah baru yang bertujuan untuk menghidari apa yang disebut sebagai bencana akibat konflik antara anak bangsa. Dar Al Ifta' (Lembaga Fatwa Mesir), organisasi yang beliau pimpin, mengundang para tokoh dari berbagai kelompok Muslim untuk mengkaji program yang jelas untuk kebangkitan umat dan menghindari wilayah perbedaan, demikian lansir almesryoon.com (5/5)
Salah satu ulama Al Azhar ini menyampaikan kepada para ulama di berbagai kelompok Muslim untuk mempersiapkan diri datang ke Dar Al Ifta’ Al Mishriyah. Hal ini dilakukan dalam rangka menjalankan tugasnya dalam pengaturan dan penertiban, agar terbentuk kesatuan kalimat dan mashlahat untuk negara dan umat.
Dar Al Ifta’ menyeru pentingnya kesepakatan untuk menerapkan fatwa ulama’ umat yang bersepakat bahwa siapa saja yang mengikuti salah satu dari madzhab yang diakui dari Ahlu Sunnah wal Al Jama’ah, maka dia seorang Muslim, yang tidak boleh dikafirkan dan diharamkan darahnya, kehormatannya serta hartanya.
Dar Al Ifta’ juga mengaskan bahwa tidak boleh mengkafirkan dan memfasikkan penganut aqidah Al Asy’ariyah dan siapa yang menganut tashawuf hakiki serta penganut pemikiran Salafy yang benar. Sebagaimana dilarang untuk mengkafirkan dan memfasikkan kelompok lain dari umat Islam yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu Alaihi Wasallam, rukun Iman dan Islam serta tidak mengingkari parkara yang lazim diketahui dari agama.
Dr. Ali Jum’ah juga menyebutkan kaidah yang diakui para ulama Muslim sepanjang  zaman, yakni, “Sesunggunya yang diingkari adalah hal yang disepakati (bahwa hal itu mungkar), dan tidak diingkari hal yang diperselisihkan di dalamnya.”
Beliau menambahkan, “Jika kami memilih satu madzhab dari madzhab-madzhab yang ada atau kami bertaklid kepada salah satu imam dari para imam, maka saya tidak akan mengingkari saudara saya yang bertaklid kepada imam lain atau madzhab lain yang berbeda.”

Produksi Parfum dengan Alkohol



 
Hidayatullah.com--Dar Al Ifta Al Mishriyah dalam fatwanya no. 3669 membahas menganai hukum parfum yang dicampur alkohol, sebagaimana dipubilkasikan dalam situs dar-alifta.com.
Dalam fatwa itu disebutkan, jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa fisik khamr adalah najis, sebagaimana disebutkan Imam Al Qurthubi saat menafsirkan ayat, yang terjemahnya,”Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, judi, (berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan anak panah adalah kotor dari amalan syeitan, maka jauhilah itu agar kalian beruntung.” (Al Maidah: 90).
Imam Al Qurthubi menyebutkan bahwa pendapat yang menyatakan najisnya khamr adalah pendapat jumhur ulama. Namun ada pula beberapa ulama yang menilai bahwa khamr tidaklah najis, seperti Al Alaits, Ibnu Sa’d, Al Muzani dan sebagian ulama muta’akhirin Baghdad dan Qairawan.
Bertolak dalam hal di atas, jika alkohol yang digunakan untuk parfum adalah ethyl alkohol (ethanol) maka bahan itu termasuk khamr, dan menggunakannya sebagai bahan utama parfum menyebabkan ia najis dan dilarang menggunakannya menurut pendapat jumhur. Namun hal itu dibolehkan menurut sebagian ulama seperti Al Laits, Al Muzani dan Rabi’ah, karena mereka tidak menilai bahwa khamr najis. Walhasil dalam masalah ini ada perbedaan pendapat di kalangan para fuqaha’.
Kaidah umum menyebutkan bahwa keluar dari khilaf adalah hal yang mustahab, namun ada kaidah juga bahwa siapa yang tidak bisa menghindari perkara yang diperselisihkan, maka hendaknya ia bertaklid kepada siapa yang membolehkan.
Maka lebih utama bagi pihak penanya untuk tidak menggunakan alkohol sebagai campuran untuk parfum, namun jika menggunakan alkohol berdasarkan taklid kepada para ulama yang membolehkan maka ia tidak berdosa dan tidak mengapa.
Jawaban ini merespon pertanyaan seorang pengusaha pembuat parfum yang biasa mencampur parfum dengan alkohol sebanyak 80, hingga 90 persen, yang menanyakan apakah perbuatan ini dibolehkan.*

Sumber : dar-alifta
Rep: Thoriq
Red: Cholis Akbar

Sikap Mufti Saudi dalam “Perpolitikan Wanita”, Dulu dan Kini



 
Hidayatullah.com--Wanita boleh menjadi anggota Majelis Syura Saudi dan mencalonkan diri dalam pemilu baladiyah (lokal) serta memiliki hak untuk memilih para calon setelah Raja Abdullah memutuskan hal itu pada hari Ahad kemarin, dan itu atas saran dari Hai’ah Kibar Ulama Saudi.
Sebagaimana dilansir alarabiya.net (25/9/2011) Raja Abdullah menyatakan, "Oleh karena kita menolak marjinalisasi perempuan dalam masyarakat Saudi di setiap bidang profesi mereka, sesuai dengan aturan syariat dan bermusyawarah dengan banyak ulama kita, khususnya yang berada di Haiah Kibar Ulama dan di luarnya, yang memandang hal ini baik dan mendukungnya.” 
Pengumuman tersebut disampaikan Raja Abdullah dalam pidatonya di Dewan Syura, yang juga dihadiri oleh Mufti Besar Arab Saudi serta Ketua Hai’ah Kibar Ulama Syeikh Abdul Aziz Ali Asyeikh, sebagaiman diansir Al Iqtishadiyah (25/9/2011)
Mufti Pernah Tolak Wanita Masuk Syura
Namun, pada fatwa yang masih tertulis di situs resmi Syeikh Abdul Aziz Ali As Syaikh ini, mufti.af.org.sa, sikapnya berbeda. Beliau menolak tuntutan wanita masuk syurah. Ini terlihat dalam fatwa yang merespon adanya pembicaraan di kalangan kaum wanita intelektual Saudi mengenai keikutsertaan wanita dalam perpolitikan , termasuk keikut sertaan mereka dalam Majelis Syura dan mengikuti pemilu.
Syeikh Abdul Aziz menjawab dengan menjelaskan bahwa Yahudi dan Nashrani memiliki rasa iri yang besar kepada umat Islam, hingga mereka menginginkan umat Islam menjadi kufur seperti mereka.
Kemudian beliau mengajak agar tuntutan-tuntutan untuk mengikutsertakan wanita dalam perpolitikan agar ditinjau ulang,”Aku menyatakan, sesungguhnya tuntutan-tuntutan ini dan semisalnya harus ditinjau ulang, apakah ia merupakan bentuk pengabdian terhadap Islam? Apakah membantu memberi kontribusi pada umat? Apakah menyebabkan tingginya agama ini?”
Syeikh Abdul Aziz juga menilai bahwa tuntutan persamaan hak merupakan salah satu bentuk tipu daya musuh,”Ada apa yang mereka promosikan di masa-masa akhir ini dari hak-hak wanita, sesungguhnya semua ini merupakan bentuk dari tipu daya.”
Di akhir tulisan, Syeikh Abdul Aziz mengajak agar semua pihak bersama-sama melawan langkah-langkah musuh, dan hal itu lebih dari masalah keikutsertaan wanita dalam syura atau persamaan serta seruan sejenisnya.
Fatwa itu sendiri terbit pada bulan Jumadi Akhir 1427 H di majalah Al Buhuts Al Islamiyah, edisi 78.*

Rep: Thoriq
Red: Cholis Akbar

Kamis, 11 Agustus 2011

Suntik Insulin, Batalkan Puasa?


 

Hidayatullah.com--Salah satu masalah kontemporer yang perlu diketahui dalam masalah puasa adalah hukum menyuntikkan cairan insulin ke tubuh, apakah perbuatan ini bisa membatalkan puasa?
Fatwa no. 3588 yang dikeluarkan Dar Al Ifta Al Mishriyah telah menjelaskan hukum melakukan injeksi insulin di siang hari bulan Ramadhan. Dr. Ali Jum’ah, selaku Mufti Agung Mesir menjelaskan bahwa injeksi di saat berpuasa tidak membatalkan puasa. Sama saja apakah kandungan injeksi itu berupa obat atau nutrisi. Karena cairan tersebut tidak sampai ke badan dengan cara normal. Dengan demikian, maka menyuntikkan cairan insulini ke dalam tubuh tidak membatalkan puasa.
Jawaban itu diberikan guna merespon pertanyaan seseorang yang menyatakan diri sebagai penderita diabetes yang secara rutin diharuskan menyuntikkan insulin ke tubuhnya setengah jam sebelum makan. Sehingga, apakah menyuntikkan insulin selama bulan Ramadhan di saat menjelang adzan maghrib bisa membatalkan puasa?*


Sumber : dar-alifta.com
Rep: Thoriq
Red: Syaiful Irwan

Selasa, 02 Agustus 2011

Fatwa MUI: Kawin Beda Agama, Haram!

Fatwa MUI: Kawin Beda Agama, Haram!
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Sebut saja namanya, Herry. Ia salah seorang eksekutif muda yang masih lajang. Di usianya yang menginjak hampir 40 tahun, lelaki Muslim yang berkarir di bidang advertising ini masih membujang.

Herry bukannya laki-laki yang tak laku, apalagi terkena penyakit, sehingga ia belum juga menyempurnakan separuh agamanya. Bujangan berkulit putih dan berparas rupawan ini justru menjadi incaran wanita rekan-rekan sekerjanya. Di perumahan tempat tinggalnya pun tak sedikit gadis yang naksir padanya. Tak hanya gadis bahkan sejumlah wanita STW alias Setengah Tua juga kesengsem pada Herry.

Lantas apa yang membuatnya tak jua menikah? Jodoh yang belum datang, ataukah Herry masih betah menjalani hidup dalam kesendirian?

Padahal kedua orang tuanya sudah hampir putus asa memaksanya untuk segera menikah. Bahkan sejumlah wanita pilihan orang tuanya ia tolak, karena mengaku tiada kecocokan. "Saya tidak sreg, kalau urusan jodoh diatur-atur," ujarnya. "Saya lebih baik mencari calon sendiri yang sesuai dengan keinginan saya."

Sebenarnya, hampir lima tahun ini Herry telah menjalin hubungan dengan seorang gadis. Sayang, kedua orang tuanya menolak keras sang gadis sebagai mantu karena perbedaan agama. Gadis non-Muslim tempat Herry melabuhkan cintanya menjadi penyebab lambatnya pernikahan sang eksekutif muda.

Sebagai keturunan Muslim yang bisa dibilang fanatik dan teguh memegang akidah, kedua orang tua Herry melarang keras putranya menapaki mahligai rumah tangga dengan Serly, sebut saja demikian. "Karena dilarang inilah, hingga kini saya masih terus mencari cara terbaik untuk dapat menikahi pacar saya," kata Herry.

Sementara untuk memaksa Serly masuk Islam, juga bukan perkara enteng. Apalagi kedua orang tua Serly termasuk salah satu tokoh umat yang disegani dan dihormati di kalangan kaumnya. Mereka juga menentang keras Serly menikah dengan pria Muslim. "Kau boleh menikah dengannya (Herry), kalau dia mau masuk agama kita," demikian pesan ayah Serly sebagaimana didengar Herry dari mulut kekasihnya.

Hingga kini keduanya hanya menjalin hubungan cinta tanpa jelas kapan akan dapat diresmikan dalam sebuah biduk rumah tangga. Lantas bagaimana sebenarnya hukum pernikahan beda agama dalam Islam? Benarkah seorang lelaki Muslim boleh menikahi wanita beda agama dari kalangan Ahli Kitab?

Terkait dengan masalah ini, sebenarnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah jauh-jauh hari mengeluarkan fatwa. Berdasarkan Musyawarah Nasional (Munas) II pada 11-17 Rajab 1400 H, bertepatan dengan 26 Mei-1 Juni 1980 M, MUI mengeluarkan fatwa bahwa pernikahan beda agama atau kawin campur, hukumnya haram!

Hal ini, jelas MU, berdasarkan pada firman Allah SWT sebagai berikut: “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia  supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS Al-Baqarah: 221).

Kemudian firman Allah: “…(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita yangberiman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita yang diberi Al-Kitab (Ahlu Kitab) sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amal-amalnya dan ia di akhira termasuk orang-orang merugi.” (QS Al-Maidah: 5).

Dan firman Allah: “…Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka (wanita mukmin) tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka…” (QS Al-Mumtahanah:10).

Dan firman-Nya: “Hai orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (QS At-Tahrim: 6).

Selain berdasarkan ayat-ayat Al-Qur'an di atas, MUI juga mendasarkan fatwanya pada hadits-hadits Rasulullah sebagai berikut: “Barangsiapa telah kawin, ia telah memelihara setengah bagian dari imannya, karena itu, hendaklah ia takwa kepada Allah dalam bahagian yang lain” (HR Tabrani)

Kemudian sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Aswad bin Sura’i: “Tiap-tiap anak dilahirkan dalam keadaan suci sehingga ia menyatakan oleh lidahnya sendiri. Maka, ibu bapaknyalah yang menjadikannya (beragama) Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”

Oleh sebab itu, kata MUI, perkawinan wanita Muslimah dengan laki-laki non-Muslim adalah haram hukumnya. "Dan seorang laki-laki Muslim diharamkan mengawini wanita bukan Muslim."

MUI menambahkan, tentang perkawinan antara laki-laki Muslim dengan wanita Ahli Kitab terdapat perbedaan pendapat. "Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadah-nya lebih besar daripada maslahat-nya, MUI memfatwakan perkawinan tersebut hukumnya haram!"

Demikian fatwa MUI yang ditandatangi oleh Ketua Umum Prof Dr Hamka dan Sekretaris Drs H Kafrawi pada 1 Juni 1980 silam. Dan hingga kini fatwa tersebut masih berlaku dan belum dicabut oleh MUI.
Redaktur: cr01
Sumber: Fatwa MUI

Fatwa Qardhawi: Hukum Laki-Laki Memandang Wanita

Fatwa Qardhawi: Hukum Laki-Laki Memandang Wanita
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Allah menciptakan seluruh makhluk hidup berpasang-pasangan, bahkan menciptakan alam semesta ini pun berpasang-pasangan. Sebagaimana firman-Nya: "Maha Suci Allah yang telah menciptakan pasang-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui." (QS Yasin: 36)

"Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah." (QS Adz-Dzaariyat: 49)

Berdasarkan sunnah kauniyah (ketetapan Allah) yang umum ini, manusia diciptakan berpasang-pasangan, terdiri dari jenis laki-laki dan perempuan, sehingga kehidupan manusia dapat berlangsung dan berkembang. Begitu pula dijadikan daya tarik antara satu jenis dengan jenis lain, sebagai fitrah Allah untuk manusia.

Setelah menciptakan Adam, Allah menciptakan (dari dan untuk Adam) seorang istri supaya ia merasa tenang hidup dengannya, begitu pula si istri merasa tenang hidup bersamanya. Sebab secara hukum fitrah, tidak mungkin ia (Adam) dapat merasa bahagia jika hanya seorang  diri, walaupun dalam surga ia dapat makan minum secara leluasa.

Seperti telah saya singgung di muka bahwa taklif ilahi (tugas dari Allah) yang pertama adalah ditujukan kepada kedua orang ini sekaligus secara bersama-sama, yakni Adam dan istrinya: "... Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim." (QS Al-Baqarah: 35)

Karena itu, tidaklah dapat dibayangkan seorang laki-laki akan hidup sendirian, jauh dari perempuan, tidak melihat perempuan dan perempuan tidak melihatnya, kecuali jika sudah keluar dari keseimbangan fitrah dan menjauhi kehidupan—sebagaimana cara hidup kependetaan yang dibikin-bikin kaum Nasrani. 

Tidak dapat dibayangkan bagaimana wanita akan hidup sendirian dengan menjauhi laki-laki. Bukankah kehidupan itu dapat tegak dengan adanya tolong-menolong dan bantu-membantu antara kedua jenis manusia ini dalam urusan-urusan dunia dan akhirat?

"Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain..." (QS At-Taubah: 71)

Hakikat lain yang wajib diingat di sini—berkenaan dengan kebutuhan timbal balik antara laki-laki dengan perempuan—bahwa Allah SWT telah menanamkan dalam fitrah masing-masing dari kedua jenis manusia ini rasa ketertarikan terhadap lawan jenisnya dan kecenderungan syahwati yang instinktif. Dengan adanya fitrah ketertarikan ini, terjadilah pertemuan (perkawinan) dan reproduksi, sehingga terpeliharalah kelangsungan hidup manusia dan planet bumi ini.


Dalam kaitan ini, baiklah kita bahas antara hukum memandang laki-laki terhadap  perempuan. Kami menguatkan pendapat  jumhur  ulama yang menafsirkan firman Allah: "...Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) tampak daripadanya..." (QS An-Nur: 31 )

Menurut jumhur ulama, perhiasan yang biasa tampak itu ialah "wajah dan telapak tangan." Dengan demikian, wanita boleh menampakkan wajahnya dan kedua telapak  tangannya, bahkan (menurut pendapat Abu Hanifah dan Al-Muzni) kedua kakinya.

Apabila wanita boleh menampakkan bagian tubuhnya ini (muka dan tangan/kakinya), maka bolehkah laki-laki  melihat kepadanya ataukah tidak?

Pandangan pertama (secara tiba-tiba) adalah tidak dapat dihindari sehingga dapat dihukumi sebagai darurat. Adapun pandangan berikutnya (kedua) diperselisihkan hukumnya oleh para ulama.

Yang dilarang dengan tidak ada keraguan lagi ialah melihat dengan menikmati (taladzdzudz) dan bersyahwat, karena ini merupakan pintu bahaya dan penyulut api. Oleh sebab itu, ada ungkapan, "memandang merupakan pengantar perzinaan".

Dan bagus sekali apa yang dikatakan oleh Syauki ihwal memandang yang dilarang ini, "Memandang (berpandangan) lalu tersenyum, lantas mengucapkan salam, lalu bercakap-cakap, kemudian berjanji, akhirnya bertemu."

Adapun melihat perhiasan (bagian  tubuh) yang tidak biasa tampak, seperti rambut, leher, punggung, betis, lengan (bahu), dan sebagainya, tidak diperbolehkan bagi selain mahram, menurut ijma. Ada dua kaidah yang menjadi acuan masalah ini beserta masalah-masalah yang berhubungan dengannya.

Pertama, bahwa sesuatu yang dilarang itu diperbolehkan ketika darurat atau ketika dalam kondisi membutuhkan, seperti kebutuhan berobat, melahirkan, dan   sebagainya. Demikian pula pembuktian tindak pidana, dan lain-lainnya yang diperlukan dan menjadi keharusan, baik untuk perseorangan maupun masyarakat.

Kedua, bahwa apa yang diperbolehkan itu menjadi terlarang apabila dikhawatirkan terjadinya fitnah, baik kekhawatiran itu terhadap laki-laki maupun perempuan. Dan hal ini apabila terdapat petunjuk petunjuk yang jelas, tidak sekadar perasaan dan  khayalan  sebagian orang-orang yang takut dan ragu-ragu terhadap setiap orang dan setiap persoalan.

Oleh karena itu, Nabi SAW pernah memalingkan muka anak pamannya yang bernama Fadhl bin Abbas, agar tidak melihat wanita Khats'amiyah pada waktu haji, ketika beliau melihat Fadhl berlama-lama memandang wanita itu. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Fadhl bertanya kepada  Rasulullah SAW, "Mengapa engkau palingkan muka anak pamanmu?"

Beliau menjawab, "Aku melihat seorang pemuda dan seorang pemudi, maka aku  tidak merasa aman akan gangguan setan terhadap mereka."

Kekhawatiran akan terjadinya fitnah itu kembali kepada hati nurani si Muslim, yang wajib mendengar dan menerima fatwa, baik dari hati nuraninya sendiri maupun orang lain. Artinya, fitnah itu tidak dikhawatirkan terjadi jika hati dalam kondisi sehat, tidak dikotori syahwat, tidak dirusak syubhat (kesamaran), dan tidak menjadi sarang pikiran-pikiran yang menyimpang.

Jadi, memandang itu hukumnya boleh dengan syarat jika tidak dibarengi dengan  upaya "menikmati" dan bersyahwat. Jika dengan menikmati dan bersyahwat, maka hukumnya haram. Karena itu, Allah menyuruh kaum mukminah menundukkan sebagian pandangannya sebagaimana Dia menyuruh laki-laki menundukkan sebagian pandangannya.

Allah SWT berfirman: "Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pendangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya." (QS An-Nur: 30-31)

Redaktur: cr01
Sumber: Fatwa-Fatwa Kontemporer

Fatwa Qardhawi: Hukum Wanita Memandang Laki-Laki

Fatwa Qardhawi: Hukum Wanita Memandang Laki-Laki
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Di antara hal yang telah disepakati ialah bahwa melihat kepada aurat itu hukumnya haram, baik dengan syahwat maupun tidak, kecuali jika hal itu terjadi secara tiba-tiba,  tanpa sengaja.

Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits sahih dari Jarir bin Abdullah, ia berkata, "Saya bertanya kepada Nabi SAW tentang memandang (aurat orang lain) secara tiba-tiba (tidak disengaja). Lalu beliau bersabda, 'Palingkanlah pandanganmu." (HR Muslim)

Lantas, apakah aurat laki-laki itu? Bagian mana saja yang disebut aurat laki-laki? Kemaluan adalah aurat mughalladzah (besar/berat) yang telah disepakati akan keharaman membukanya di hadapan orang lain dan haram pula melihatnya, kecuali dalam kondisi darurat seperti berobat dan sebagainya. Bahkan kalau aurat ini ditutup dengan pakaian tetapi tipis atau menampakkan bentuknya, maka ia juga terlarang menurut syara'.

Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa paha laki-laki termasuk aurat, dan aurat laki-laki ialah antara pusar dengan lutut. Mereka mengemukakan beberapa dalil dengan hadits-hadits yang tidak lepas dari cacat. Sebagian mereka menghasankannya dan sebagian lagi mengesahkannya karena banyak jalannya, walaupun masing-masing hadits itu tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu hukum syara'.

Sebagian fuqaha lagi berpendapat bahwa paha laki-laki itu bukan aurat, dengan berdalilkan hadits Anas bahwa Rasulullah SAW pernah membuka pahanya dalam beberapa kesempatan. Pendapat ini didukung oleh Muhammad Ibnu Hazm.

Menurut mazhab Maliki sebagaimana termaktub dalam kitab-kitab mereka bahwa aurat mughalladzah laki-laki ialah qubul (kemaluan) dan dubur saja, dan aurat ini bila dibuka dengan sengaja membatalkan shalat.

Dalam hal ini terdapat rukhshah (keringanan) bagi para olahragawan dan sebagainya yang biasa mengenakan celana pendek, termasuk bagi penontonnya, begitu juga bagi para pandu (pramuka) dan pecinta alam. Meskipun demikian, kaum Muslimin berkewajiban menunjukkan kepada peraturan internasional tentang ciri khas kostum umat Islam dan apa yang dituntut oleh nilai-nilai agama semampu mungkin.

Perlu diingat bahwa aurat laki-laki itu haram dilihat, baik oleh perempuan maupun sesama laki-laki. Ini merupakan masalah yang sangat jelas. Adapun terhadap bagian tubuh yang tidak termasuk aurat laki-laki, seperti  wajah, rambut, lengan, bahu, betis, dan sebagainya, menurut pendapat yang sahih boleh dilihat, selama tidak disertai syahwat atau dikhawatirkan terjadinya fitnah. Ini merupakan pendapat jumhur fuqaha umat, dan ini diperlihatkan oleh praktek kaum muslim sejak zaman Nabi dan generasi sesudahnya, juga diperkuat oleh beberapa hadits sharih (jelas) dan tidak bisa dicela.

Adapun masalah wanita melihat laki-laki, maka dalam hal ini terdapat dua riwayat. Pertama, ia boleh melihat laki-laki asal tidak pada auratnya. Kedua, ia tidak boleh melihat laki-laki melainkan hanya bagian tubuh yang laki-laki boleh melihatnya. Pendapat ini yang dipilih oleh Abu Bakar dan merupakan salah satu pendapat di antara dua pendapat Imam Syafi'i.

Hal ini didasarkan pada riwayat Az-Zuhri dari Ummu Salamah, yang berkata, "Aku  pernah duduk di sebelah Nabi SAW, tiba-tiba Ibnu Ummi Maktum meminta izin masuk. Kemudian Nabi saw bersabda, 'Berhijablah kamu daripadanya. 'Aku berkata, wahai Rasulullah, dia itu tuna netra.' Beliau menjawab dengan nada bertanya, 'Apakah  kamu berdua (Ummu Salamah dan Maimunah) juga buta dan tidak melihatnya?" (HR Abu Daud dan lain-lain)

Larangan bagi wanita untuk melihat aurat laki-laki didasarkan pada hipotesis bahwa Allah menyuruh wanita menundukkan pandangannya sebagaimana Dia menyuruh laki-laki berbuat begitu. Juga didasarkan pada hipotesis bahwa wanita itu adalah salah satu dari dua jenis anak Adam (manusia), sehingga mereka haram melihat (aurat) lawan jenisnya. Haramnya bagi wanita ini dikiaskan pada laki-laki (yang diharamkan melihat kepada lawan jenisnya).

Alasan utama diharamkannya melihat itu karena dikhawatirkan terjadinya fitnah. Bahkan kekhawatiran ini pada wanita lebih besar lagi, sebab wanita itu lebih besar syahwatnya dan lebih sedikit (pertimbangan) akalnya.

Nabi SAW bersabda kepada Fatimah binti Qais, "Beriddahlah engkau di rumah Ibnu Ummi Maktum, karena dia seorang tuna netra, engkau dapat melepas pakaianmu sedangkan dia tidak melihatmu." (Muttafaq alaih)

Aisyah berkata, "Adalah Rasulullah SAW melindungiku dengan selendangnya ketika aku melihat orang-orang Habsyi sedang bernain-main (olahraga) dalam masjid." (Muttafaq alaih)

Dalam riwayat lain disebutkan, pada waktu Rasulullah SAW selesai berkhutbah shalat Id, beliau menuju kepada kaum wanita dengan disertai Bilal untuk memberi peringatan kepada mereka, lalu beliau menyuruh mereka bersedekah.

Seandainya wanita dilarang melihat laki-laki, niscaya laki-laki juga diwajibkan berhijab sebagaimana wanita diwajibkan berhijab, supaya mereka tidak dapat melihat laki-laki.

Jadi, memandang itu hukumnya boleh dengan syarat jika tidak dibarengi dengan upaya "menikmati" dan bersyahwat. Jika dengan menikmati dan bersyahwat, maka hukumnya haram. Oleh sebab itu, Allah menyuruh kaum mukminah menundukkan sebagian pandangannya sebagaimana Dia menyuruh laki-laki menundukkan sebagian pandangannya.

Firman Allah: "Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya." (QS An-Nur: 30-31)

Memang benar bahwa wanita dapat membangkitkan syahwat laki-laki lebih banyak daripada laki-laki membangkitkan syahwat wanita, dan memang benar bahwa wanita lebih banyak menarik laki-laki, serta wanitalah yang biasanya dicari laki-laki. Namun semua ini tidak menutup kemungkinan bahwa di antara laki-laki ada yang menarik pandangan dan hati wanita karena kegagahan, ketampanan, keperkasaan, dan kelelakiannya, atau karena faktor-faktor lain yang menarik pandangan dan hati perempuan.

Al-Qur'an telah menceritakan kepada kita kisah istri pembesar Mesir dengan pemuda pembantunya, Yusuf, yang telah membuatnya dimabuk cinta. Lihatlah, bagaimana wanita itu mengejar-ngejar Yusuf, dan bukan sebaliknya, serta bagaimana dia menggoda Yusuf untuk menundukkannya seraya berkata, "Marilah ke sini." Yusuf berkata, "Aku berlindung kepada Allah." (QS An-Nur: 23)

Apabila seorang wanita melihat laki-laki lantas timbul hasrat kewanitaannya, hendaklah ia menundukkan pandangannya. Janganlah ia terus memandangnya, demi  menjauhi timbulnya fitnah, dan bahaya itu akan bertambah besar lagi bila si laki-laki juga memandangnya dengan rasa cinta dan syahwat.

Akhirnya, untuk mendapat keselamatan, lebih baik kita menjauhi tempat-tempat dan hal-hal yang mendatangkan keburukan dan bahaya. Kita memohon kepada Allah  keselamatan dalam urusan agama dan dunia. Amin.

Redaktur: cr01
Sumber: Fatwa-Fatwa Kontemporer

Ma'ruf Amin: Fatwa Pertambangan Bukan Pesanan

Ma'ruf Amin: Fatwa Pertambangan Bukan Pesanan
Ma'ruf Amin

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, Ma'ruf Amin menyatakan bahwa fatwa pertambangan ramah lingkungan bukan merupakan pesanan dari pihak mana pun juga terutama Kementerian Lingkungan Hidup. "Fatwa ini bukan pesanan. Selama ini banyak yang beranggapan bahwa asal sama dengan pemerintah maka pasti diasumsikan sebagai fatwa "pesanan"," tegas Ma'ruf Amin saat peluncuran Fatwa Pertambangan Ramah Lingkungan di Jakarta, Rabu.

Lebih lanjut dikatakannya, fatwa tersebut hadir karena keprihatinan MUI terhadap masalah lingkungan hidup dan berdasarkan pengamatan yang mendalam. Ma'ruf Amin mengatakan, para ulama sudah lama mempunyai keyakinan tentang kerusakan lingkungan hidup dan pada Musyawarah Nasional MUI 2010 dibentuk lembaga yang mengurus lingkungan di MUI yaitu Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup. "Karena itu kita memulai menjalin hubungan dengan Kementerian Lingkungan Hidup," kata Ma'ruf.
Ia menambahkan, menurut MUI, lingkungan saat ini sudah cukup rusak dan di dalam agama, jika terjadi kerusakan maka harus ditangkal atau diatasi. "Kita lihat eksplorasi terhadap sumberdaya alam berlebihan dan menimbulkan kerusakan. Bahkan jangan-jangan sumberdaya alam kita diambil untuk keuntungan pihak-pihak tertentu bukan kemaslahatan umat," ujar Ma'ruf.

Sementara itu, Deputi Bidang Komunikasi Lingkungan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Lingkungan Hidup Ilyas Asaad mengatakan, lahirnya fatwa pertambangan ramah lingkungan dimulai dari pertemuan MUI dengan Kementerian Lingkungan Hidup pada 15 Desember 2010 dilakukan MoU.
 
"MoU dibuat antara Kementerian Lingkungan Hidup dengan MUI tapi belum ditentukan fatwa apa yang akan dibuat. Lalu dilakukan pembahasan secara intensif selama enam bulan dan pada 5 Juni 2011 fatwa ini selesai," kata Ilyas.
Redaktur: Krisman Purwoko
Sumber: antara

Sabtu, 09 April 2011

Tatkala Salafi Memilih Berdemonstrasi


 
 
Hidayatullah.com--“Revolusi” Mesir memang sudah berlalu, Mubarak pun sudah lengser dari jabatannya. Namun, ada pelajaran dari peristiwa tersebut.

Peristiwa “Revolusi 25 Januari” tidak hanya mengubah rezim, namun juga mengubah pandangan yang selama ini digunakan oleh komunitas Muslim yang menamai diri mereka sebagai penganut salaf alias Salafi. "Revolusi Mesir pada tanggal 25 Januari, memaksa mayoritas orang berfikir dan meninjau ulang pemahaman yang mereka miliki, yang sebelumnya pemahaman itu tidak bisa dikritik dan ditinjau ulang, lebih-lebih untuk bisa diubah," demikian, Khalid As Syafi’i, penulis buku “Ana Wahabi Fa Kana Madza?” (Saya adalah Wahabi, Memang Kenapa?), yang juga berasal dari komunitas tersebut, mengakui hal itu. (onislam.net, 8/3)

Sebab itulah, Khalid menulis otokrotik untuk komunitasnya sendiri, untuk meninjau ulang beberapa pandangan fikih yang sebelumnya digunakan, khususnya dalam masalah hubungan antara hakim (penguasa) dengan mahkum (rakyat). Masuk dalam persoalan ini hukum demontrasi, pemberontakan, serta nahi munkar terhadap penguasa.

Saat demontrasi melawan kezaliman penguasa  menyebar di dunia Arab, Syeikh Abdul Aziz Alu As Syaikh selaku Mufti Saudi, yang juga menjadi rujukan dalam komunitas ini, telah mengeluarkan pernyataan dalam khutbah Juma’at (4/2) yang ditujukan kepada para pemuda di berbagai negara, bahwa demonstrasi bisa menyebabkan timbulnya fitnah dan kesesatan.
Ia juga menyatakan pandangan dalam masalah fikih bahwa demontrasi tidak disyariatkan. Mufti juga menyeru agar para pemuda menjauh aktivitas ini.
 
Namun, pendapat mufti Saudi di atas, tidak sepenuhnya didukung oleh Salafi Mesir. Komunitas Salafi Kairo lebih memilih turun ke jalan bergabung dengan demonstran lain di lapangan Tahrir. Para tokoh komunitas ini seperti Syeikh Muhammad Abdul Maqsud, Syeikh Nasy’ad Ahmad, Syeikh Fauzi Sa’id, beserta ratusan muridnya ikut bergabung dengan demonstran sepanjang revolusi, hingga Husni Mubarak lengser pada tanggal 11 Februari 201. 

Syeikh Muhammad Hasan yang juga ditokohkan dalam komunitas ini, mengaku di kanal Ar Arabiya, bahwa ia bergabung dengan demonstran di lapangan Tahrir bersama anak-anaknya. Muhammad Hasan juga muncul di kanal Al Mahwar pascatragedi “Rabu Berdarah”, dan menyatakan terang-terangan bahwa pemerintah sudah kehilangan legitimasi.

Ia juga menyatakan bahwa penggunaan kekerasan oleh aparat terhadap demonstran adalah hal yang dilarang syari’at, sebagaimana dinukil onislam.net (26/3)

Sedangkan Syeikh Muhammad Abdil Maqsud dalam sebuah khutbah Jumat juga mengajak jama’ah untuk bergabung dalam revolusi yang ia sebut sebagai revolusi yang diberkahi itu, demikian disebutkan onislam.net (26/3)

Namun, Salafi Iskandariyah berbeda dengan Salafi Kairo. Pada tanggal 8 Februari 2011 mereka mengadakan muktamar untuk menyikapi revolusi Mesir. Hasilnya, mereka akhirnya menyuarakan tuntutan secara terang-terangan kepada pemerintah agar diakhirinya UU Darurat dan dilakukan pembebasan tahanan yang ditangkap tanpa alasan.

Mereka juga menuntut agar penguasaan partai pemerintah Hizb Al Wathani terhadap media diakhiri  Di samping itu mereka meminta pengaktifan UU pasal 2, yang menyebutkan bahwa syari’at merupakan sumber hukum, dalam perundang-undangan Mesir.
Mereka memilih tidak bergabung dengan demonstran, karena alasan ikhtilath dan agar rakyat tidak dinilai sebagai radikal, dengan bergabungnya mereka dalam demontrasi. Hal ini dijelaskan oleh Syeikh Ahmad Farid, salah satu tokoh Salafi di wilayah pesisir tersebut, sebagaimana disebutkan dalam koran As Syuruq, seperti dinukil oleh Al Mafkarat (6/3).

Namun, bukan berarti demontrasi dilarang mutlak, jika perkara yang dilarang, menurut mereka, seperti ikhtilath tidak terjadi. Sehingga Syeikh Ahmad Farid sendiri menyeru  turun ke jalan untuk menuntut agar UU pasal 2 tidak diutak-atik, padahal sebelumnya komunitas sangat antipati terhadap demonstrasi.

Untuk hal ini, Syeikh Ahmad Farid menjelaskan,”Fatwa bisa berubah, sesuai dengan tampat dan waktu. Wasilah untuk mengungkapkan pendapat sekarang sudah jelas, yakni demonstrasi. Undang-Undang memperbolehkan untuk melakukannya. Hal ini bukan termasuk keluar dari hakim.” Sebagaimana dilansir Al Mafkarat (6/3)

Walau tidak setuju dengan demontrasi yang saat itu berlangsung, karena disertai perkara yang menurut mereka dilarang, namun komunitas ini toleran kepada mereka yang memilih turun ke jalan. Dr. Yasir Burhami yang juga ditokohkan dalam komunitas ini menyatakan dalam kanal Al Majdi, bahwa pendapatnya yang tidak mendukung demonstrasi adalah perkara yang benar, tapi memungkinkan untuk salah, demikian juga pendapat tokoh lain yang mendukung demonstrasi. Salah tapi memungkinkan benar. Sebab itu, ia membolehkan penilaian mereka yang wafat dalam peristiwa revolusi sebagai syuhada, sesuai dengan niat mereka, demikian  disebutkan taseel.com, (21/3)


Mereka  yang Tidak Setuju

Namun, tidak semua anggota komunitas ini menyetujui demonstrasi dan menasehati penguasa secara terang-terangan seperti yang dilakukan oleh para tokoh, baik dari Kairo maupun Iskandariyah. Di antara mereka adalah Syeikh Musthafa Al Adawi, Syeikh Mahmud Al Mishri, serta Syeikh Muhammad Husein Ya’kub. Mahmud Al Mishri sendiri sempat menyeru para demonstran untuk meninggalkan lapangan Tahrir.

Sedangkan tokoh yang belum menunjukkan sikap pro atau kontra adalah Syeikh Abu Ishaq Al Huwayyini. Di samping tidak muncul lagi di televisi, telefonnya juga tidak aktif. Sehingga, sampai saat ini belum dikatahui sikapnya mengenai revolusi Mesir, sebagaimana disebutkan taseel.com (21/3)

Walhasil, peristiwa “revolusi Mesir” di samping menjelaskan “peta” komunitas Salafi dalam merespon revolusi, juga menjelaskan adanya perubahan pendapat dalam masalah hubungan rakyat dan penguasa. Kini terlihat,  para tokoh Salafi ada yang memandang bahwa demontrasi dan mengkritik pemerintah terang-terangan dibolehkan, tentunya dengan  syarat-syaratnya.*

Foto: Syeikh Muhammad Hasan (baju putih) dan Syeikh Ahmad Farid

Rep: Thoriq
Red: Cholis Akbar

Akhirnya, Salafi Bolehkan Pemilu



 
 
Hidayatullah.com--Perubahan pemikiran yang dianut komunitas Muslim yang menyatakan diri mereka sebagai pengikut salaf atau Salafi, semakin mencolok pasca terjadinya “revolusi Mesir”. Bukan hanya mengoreksi ulang pendapat mereka mengenai demonstrasi dan menyampaikan kritik secara terang-terangan kepada penguasa (baca artikel sebelumnya, Tatkala Salafi Memilih Berdemonstrasi, namun pendapat fiqih yang berkenaan dengan masalah pemilu juga tudak luput dari koreksi.

Pada hari Jumat (18/2), sebagaimana dilansir oleh situs berita lokal Mesir, Al Yaum As Sabi’ (19/2), komunitas ini melaksanakan muktamar di Manshurah Mesir. Awalnya muktamar ini untuk merupakan bentuk dukungan agar UU Pasal 2, yang menyatakan bahwa syari’at adalah sumber hukum Mesir, agar tidak diutak-atik. Namun pembicaraan juga berisi seruan untuk meninjau ulang pandangan mengenai pemilu.
Syeikh Muhammad Hasan selaku salah satu pembicara menyatakan,”Saya meminta kepada para syeikh kita untuk meninjau kembali, terhadap hal-hal yang telah diterima pada tahun-tahun sebelumnya, seperti masalah pencalonan dalam parlemen dan syura, serta (pencalonan) presiden dan pemerintahan. Saya meminta kepada para syeikh kita untuk berkumpul untuk mengurai masalah ini, agar para pemuda kita terhindar dari fitnah dan bercerai berai.”

Sepertinya, usulan Syeikh Muhammad Hasan kepada para tokoh Salafi untuk mengoreksi ulang pendapat mengenai hukum mengikuti pemilu, mendapatkan sambutan. Syeikh Ahmad Farid, yang juga salah satu tokoh komunitas Salafi Iskandariyah juga menyatakan bahwa pembentukan partai politik masih merupakan kemungkinan-kemungkinan. Demikian dikutip Al Mafkarah (6/3), dari Koran As Syuruq. Hal ini menunjukkan tekad komunitas ini berpartisipasi dalam pemilu.

Respon terhadap usulan itu semakin besar dengan berkumpulnya para tokoh Salafi yang tergabung dalam jama’ah Anshar As Sunnah Al Muhammadiyah untuk membahas hukum berpartisipasi dalam pemilu.

Akhirnya, pada tanggal 12 Maret 2011 Anshar As Sunnah Al Muhammadiyah Pusat secara resmi mengumumkan pandangan mereka dalam situs resminya, elsunna.com. Salah satu poin dari keputusan menyebutkan,”Kami tidak melihat adanya larangan syar’i untuk berpartisipasi dalam perpolitikan, baik di parlemen, syura, serta parlemen lokal, karena hal itu merupakan wasilah dakwah kepada masyarakat umum.”

Demikian juga, mereka menyarankan agar para dai tidak mencalonkan diri, hingga menyebabkan aktivitas dakwah terganggu. Disamping itu, himbauan ditujukan kepada umat Islam agar dalam pemilu penentuan presiden, mereka memilih calon yang paling memiliki perhatian kepada urusan umat Islam.

Keputusan ini hasil dari musyawarah Ahli Syura jama’ah ini, diantaranya adalah Dr. Abdullah Syakir, Syeikh Muhammad Husein Ya’kub, Syeikh Muhammad Hasan, Dr. Jamal Al Murakibi, Syeikh Musthafa Al Adawi, Syeikh Abu Bakr Al Hanbali, Syeikh Wahid Abdussalam Bali, serta Syeikh Jamal Abdurrahman.

Dianut Tokoh Salafi Yordan

Sebenarnya, pendapat bolehnya mengikuti pemilu bukan hanya pandangan sejumlah tokoh Salafi Mesir pasca revolusi saja. Sebelumnya beberapa tokoh Salafi di luar Mesir juga telah meninjau ulang pendapat yang mereka anut mengenai pemilu. Dua tokoh Salafi Yordan yang saat ini masih dijadikan rujukan sebagian komunitas  Salafi Indonenesia, yakni Syeikh Ali Al Halabi dan Syeikh Masyhur Hasan Ali Salman telah menyatakan bahwa berpartisipasi dalam pemilu merupakan hal yang dibolehkan, sebagaimana dilansir Al Jazeera (26/10).
Sesungguhnya Salafiyin tidak mendukung pencalonan untuk Pemilu, namun mereka memandang bahwa memilih siapa yang lebih utama dan lebih baik serta paling banyak positifnya dan paling minim negatifnya untuk maslahat umum adalah hal yang diperbolehkan.” Kata Syeikh Ali Hasan kepada Al Jazeera.
Masih menurut Syeikh Al Halabi, “Syeikh Al Albani juga memiliki pendapat membolehkan berpertisipasi dalam Pemilu, di saat itu beberapa muridnya menyeselisihi dengan dengan menggunakan adab.Hari ini, sebagai dampak dari perkembangan pemikiran dan memandang sebagai maslahat umum, kami kembali kepada pendapat Syeikh Al Albani, tentang bolehnya mengikuti pemilu parlemen.” Ungkap Al Halabi

Demikian pula Syeikh Masyhur Hasan Ali Salman menyatakan, “Pemerintah telah meminta kepada kalian untuk mengikuti Pemilu, dan hal itu bukanlah keharaman. Janganlah kalian melakukan pemboikotan. Pemboikotan bukanlah ibadah. Adalah orang yang salah jika ia berfikir melakukan ibadah kepada Allah dengan melakukan pemboikotan

Namun, perubahan pendapat beberapa tokoh Salafi Mesir dan Yordan masih terhitung “lambat” dibanding saudara-saudara mereka di Kuwait dan Bahrain. Di Kuwait At Tajammu’ As Islami As Salafi telah bergabung dengan parlemen. Sebelumnya, tahun 1981 komunitas Salafi yang saat itu diwakili Ihya’ At Turats memboikot pemilu, namun setelah itu mereka bergabung dalam parlemen. 

Walau dalam situs resminya ( alislami.org), Khalid Sulthan, salah satu anggota parlemen dari At Tajammu` menyatakan bahwa organisasi itu bukan sayap politik Ihya At Turats. Namun, menurutnya, kedua-duanya adalah Salafi yang tidak bertentangan satu sama lain.
Sedangkan di Bahrain, komunitas Salafi juga sudah bergabung dengan parlemen. Di bawah komando Syeikh Adil Al Mua’wwidah, pada 6 Mei 2002, didirikanlah Al Ashalah Al Islamiyah, organisasi politik yang pada pemilu tahun 2010 lalu memperolah 4 kursi.

Berhadapan dengan Realita

Yang dialami Salafi sebenarnya pernah juga dialami oleh Al Ikhwan Al Muslimun di masa awal, dimana akhirnya mereka terjun ke wilayah politik walau sebelumnya menolak. Keputusan itu diambil ketika idealisme yang mereka miliki terpaksa harus berhadapan dengan realita, seperti dikatakan oleh pengamat gerakan Salafi Timur Tengah, Bassam Nashir, sebagaimana dikutip Al Jazeera (26/10)

Syeikh Al Qaradhawi sendiri, sebagaimana dilansir situs resmi beliau, qaradawi.net (22/12), juga pernah menyinggung mengenai perubahan pendangan fiqih komunitas Salafi, khususnya dalam masalah pemilu. 

Beliau memandang perubahan ini terjadi karena beberapa faktor,”Tidak diragukan lagi, bahwa realitalah yang mengharuskan mereka berubah. Termasuk di dalamnya, karena persinggungan dengan dunia luar dan keluarnya mereka ke nagara-negara di dunia, setelah sebelumnya banyak dari mereka tidak keluar dari negara-negara mereka, yang menyebabkan tidak adanya perubahan dan pemikiran menuju perubahan.”

Beliau melanjutkan,“Ketika Salafi keluar dan berbaur dengan berbagai bangsa, ia akan mengitropeksi diri. Sebagaima ada yang memperluas bacaannya dan menelaah kitab-kitab yang tidak sempat ditelaah sebelumnya. Manusia bukanlah batu, ada hal-hal yang bisa memberi bekas kepada peribadi seseorang.”

Walhasil, pasca jatuhnya Mubarak, semakin banyak barisan tokoh-tokoh Salafi yang akhirnya setuju dengan pemilu. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa ada juga sebagian tokoh komunitas ini yang masih memandang bahwa berpartisipasi dalam pemilu merupakan perkara yang diharamkan*

Keterangan foto: (1), suasana konfrensi Salafi di Manshurah, Mesir (2), Syeikh Ahmad Farid, tokoh Salafi Iskandariyah

Rep: Thoriq
Red: Administrator

Sabtu, 12 Februari 2011

Hayatul Anbiya` - Fatwa al-Baarizi

Imamul Fuqaha`, Syaikhul Islam, Syarafuddin, HibatUllah bin 'Abdur Rahim bin Ibrahim al-Baarizi adalah seorang ulama terkemuka bermazhab Syafi`i. Beliau dilahirkan di Hamah pada 27 Ramadhan 645H dan dibesarkan dalam keluarga ilmuwan. Ayahanda beliau, Abdur Rahim digelar sebagai Najmuddin, adalah seorang qadhi. Begitulah juga dengan datuk beliau, Ibrahim yang diberi gelaran Syamsuddin. Pendidikan awalnya diperolehi daripada ayah dan datuknya tersebut. Kemudian, beliau turut belajar dengan ramai ulama terkemuka, antaranya Syaikhul 'Iraq Abil 'Abbas Ahmad bin Ibrahim al-Faarutsi, al-Muhaddits Ibrahim bin 'Abdullah al-Armuni, al-Muhaddits Muhammad bin 'Abdul Mun`im, Syaikhul Qurra` Muhammad bin Ayyub al-Tadzafi dan Hujjatul 'Arab Muhammad bin 'Abdullah bin Malik ath-Tho-ie.

Imam al-Baarizi menekuni jalan ilmu dan menyebarkannya. Kealiman beliau diakui umat sezaman dengannya dan ramai pelajar datang untuk belajar dengan beliau. Di antara murid beliau ialah Qadhi Qudhah Ismail bin Muhammad al-Lakhmi an-Andalusi al-Maliki, al-Faqih Muhammad bin Muhammad al-Maushili, Syaikh 'Umar bin Ibrahim al-'Ajmi al-Halabi, al-Hafiz al-Barzali, al-Hafiz adz-Dzahabi, al-Mu`arrikh Ibnul Wardi, Imam Taqiyuddin as-Subki dan ramai lagi. Bahkan menurut Imam Ibnu Hajal al-`Asqalani, Imam as-Sakhawi pernah mengutus beberapa pertanyaan kepada Imam al-Baarizi dan beliau telah memberikan jawapannya yang kemudiannya dicatat oleh Imam as-Sakhawi dalam karya-karya beliau.

Pada tahun 675H, Imam al-Baarizi telah dilantik menjadi qadhi Hamah., jawatan yang dipegangnya selama 40 tahun. Tugas sebagai qadhi dilaksanakannya dengan menuruti sunnah Junjungan Nabi SAW dengan penuh amanah dan adil. Beliau menolak upah atau gaji yang diberikan kepadanya sebagai seorang qadhi dan memilih untuk hidup zuhud dengan menjauhi segala perhiasan duniawi. Beliau mempunyai kegemaran membaca dan mengumpul berbagai jenis kitab, bahkan dikatakan bahawa tiada siapa yang memiliki koleksi kitab sepertinya. Setelah beliau wafat, kitab-kitabnya diwakafkan bagi penuntut ilmu dan dianggarkan nilainya berjumlah 100,000 dirham.

Imam al-Baarizi meninggalkan banyak karya tulis dalam bidang fiqh, tauhid, hadits, qiraah dan sebagainya. Qadhi Safadi Syamsuddin Muhammad bin 'Abdur Rahman al-'Uthmani dalam tabaqatnya menyebut bahawa Imam al-Baarizi menulis lebih dari 70 buah kitab. Di antara karya beliau adalah:-
  1. al-Asas fi Ma'rifah Ilahin Naas;
  2. Badi`ul Qur`an;
  3. Asrarut Tanzil;
  4. an-Nasikh wal Mansukh;
  5. al-Bustan fi Tafsiril Qur`an;
  6. al-Faaridah al-Baariziyyah fi Syarhi asy-Syathibiyyah;
  7. Tautsiqu 'Ural Imaan fi Tafdhil Habibir Rahman;
  8. al-Wafa` fi Ahaditsil Musthofa;
  9. al-Mujarrad minal Musnad;
  10. at-Tamyiz;
  11. Nadzam al-Hawi ash-Shoghir;
  12. Syarah al-Hawi ash-Shoghir.
Imam al-Baarizi dikurniakan umur yang panjang lagi berkat. Beliau wafat pada malam Rabu tanggal 20 haribulan Dzul Qa`idah, 738H dalam usia 93 tahun. Semoga Allah mencucuri rahmat ke atasnya sepanjang masa dan ketika. .... al-Fatihah.

Imam al-Baarazi rahimahUllah telah ditanyai berhubung Junjungan Nabi SAW, samada baginda hidup (yakni dengan kehidupan barzakhiyyah) selepas kewafatan baginda. Beliau menjawab soalan tersebut dengan katanya:-

Sesungguhnya baginda SAW itu hidup (yakni dengan kehidupan barzakhiyyah yang sempurna). Telah berkata al-Ustaz Abu Manshur 'Abdul Qaahir bin Thohir al-Baghdaadi, seorang yang faqih lagi ahli ushul, syaikhnya para pengikut mazhab asy-Syafi`iyyah: "Ulama ahli kalam yang benar daripada kalangan sahabat kami (yakni daripada kalangan ulama asy-Syafi`iyyah) berpendapat bahawa Junjungan Nabi kita SAW hidup selepas kewafatan baginda, baginda bergembira dengan ketaatan umatnya dan bersedih dengan maksiat yang dilakukan oleh para penderhaka daripada kalangan umatnya. Bahawasanya disampaikan kepada baginda akan sholawat yang diucapkan kepada baginda oleh umatnya. Sesungguhnya para nabi itu (yakni jasad mereka) tidak punah binasa dan tidak sedikit pun dimakan tanah. Nabi Musa AS telah wafat pada zamannya dan Junjungan Nabi SAW telah mengkhabarkan yang baginda sesungguhnya telah melihatnya di dalam kuburnya menunaikan sholat. Disebut dalam hadits mi'raj bahawa Junjungan Nabi SAW melihat Nabi Musa AS di langit ke-4, baginda juga melihat Nabi Adam AS di langit dunia dan melihat Nabi Ibrahim yang mengucapkan "Selamat datang, wahai anak dan nabi yang sholeh" kepada baginda. Maka bersandarkan kepada asas yang shohih kami menyatakan bahawa Junjungan Nabi kita Muhammad SAW adalah hidup setelah kewafatan baginda dan tetaplah baginda atas maqam kenabiannya. " - tamat perkataan al-Ustaz. Telah berkata al-Hafiz, Syaikhus Sunnah Abu Bakar al-Baihaqi dalam kitab "al-I'tiqad":- "Para nabi 'alaihimus sholatu was salam setelah diwafatkan, dikembalikan roh mereka dan adalah mereka di sisi Tuhan seperti orang-orang yang mati syahid. Junjungan Nabi SAW telah melihat sebahagian daripada mereka dan baginda telah mengimamkan mereka dalam sembahyang. Telah diberitakan daripada riwayat yang benar bahawasanya sholawat kita dibentangkan kepada baginda dan salam kita disampaikan kepadanya. Sesungguhnya Allah ta`ala telah mengharamkan bumi dari memakan jasad para nabi. Kami telah menulis satu kitab yang khusus bagi mentsabitkan kehidupan mereka (setelah wafat)......"
Oleh itu, janganlah pula kita yang mematikan hubungan kita dengan Junjungan Nabi SAW. Berusahalah agar baginda sentiasa hidup dalam diri, hati dan jiwa kita sentiasa. Biarlah berderai air mata kita tatkala mengucapkan salam dan sholawat atas baginda, kerana pasti ianya diketahui dan disampaikan kepada baginda dan percayalah baginda pasti akan membalas kebaikan dengan kebaikan. Baginda terlalu mulia dan tinggi untuk melupai kebaikan seseorang walaupun kebaikan itu sebenarnya tiada nilai sekupang pun. Syafaat ... Syafaat Ya RasulAllah.

Allah Tiada Bertempat - Fatawa Fathaniyah

Kita selaku pengikut Ahlus Sunnah wal Jama`ah beri'tiqad dan menyakini bahawa Allah SWT tidak perlu kepada tempat yang merupakan makhluk yang Dia cipta. Maha Suci Allah daripada mengambil faedah daripada ciptaanNya dan Maha Suci Allah daripda mengambil tempat.

Syaikh Wan Ahmad al-Fathani rahimahUllah ditanya orang sebagai berikut:-

(Masalah) Apa kata kamu pada barang yang telah banyak jatuhnya daripada awam, iaitu apabila ditanyakan setengah mereka itu: "Adakah bagi engkau Tuhan?" Menjawab ia: "Ada." Maka ditanyakan: "Apa dalil adaNya?" Katanya: "Langit dan bumi ini." Dan ditanyakan: "Di mana duduk Tuhan?" Katanya: "Tiada tahu di luar alamkah atau di dalamnya, di atasnya kah atau di bawahnya."

(Jawab) Alhamdulillah wa shallaAllahu 'ala Sayyidina Muhammad wa aalihi wa shahbihi wa sallam. Allahumma hidayatan lish showab, Rabbi zidni `ilman. Bermula jawab orang yang 'aami, tatkala ditanyakan dia di mana Tuhan duduk { "Tiada aku tahu di luar alamkah atau di dalamnya, di atasnya kah atau di bawahnya" } itu, tiada jadi murtad ia dengan sebabnya dan tiada pula haram atasnya kerana muwafaqah perkataannya dengan sebenar, iaitu bahawasanya Allah ta`ala itu tiada bagiNya tempat kerana bersifatNya subhanahu wa ta`ala dengan bersalahanNya bagi segala yang baharu, dan lazim daripada ketiadaan tempat bagiNya itu bahawa tidak diketahuikan tempat bagiNya sekali-kali. Dan bahawa tiada diketahui akan keadaanNya di atas sesuatu atau di bawahnya dan di luar sesuatu atau di dalamnya, maka iaitulah makna katanya: "Tiada aku tahu." WaAllahu a'lam.

- Al-Fatawal Fathaniyah, jilid 1, halaman 2 - 3.

Fatwa Mawlid - Abu Zur`ah

Imam al-Faqih al-Ushuli al-Mutafannin al-Hafiz al-Muhaqqiq ًWaliyuddin Abu Zur`ah Ahmad bin al-Hafiz al-Kabir Abi al-Fadhl Zainuddin 'Abdur Rahim bin al-Husain al-'Iraqi rahimahumUllah adalah salah seorang ulama besar bermazhab Syafi`i. Beliau dilahirkan pada bulan DzulHijjah tahun 762H. Didikan agama diperolehinya daripada ayahandanya sendiri yang juga seorang ulama besar yang mempunyai berbagai karangan. Selain itu, beliau juga melazimi pengajian ulama - ulama lain antaranya Imam al-Bulqini, Imam al-Burhan al-Abnaasi, Imam Sirajuddin Ibnu Mulaqqin @ Ibnu an-Nahwi asy-Syafi`i, Imam adh-Dhiya` al-Qazwini dan lain-lain lagi. Beliau mengarang banyak kitab dalam berbagai lapangan ilmu pengetahuan. Antara karya beliau:-
  1. Syarah al-Bahjah;
  2. Syarah Sunan Abi Dawud;
  3. Mukhtashar al-Muhimmat;
  4. Syarah Jam`ul Jawaami' fil Ushul;
  5. Syarah Nadzam al-Baidhawi;
  6. Syarah Taqrib al-Asaanid;
  7. Hasyiah 'ala al-Kasysyaf.
Apabila al-Imam al-Jalal al-Bulqini rahimahUllah wafat pada tahun 824H, maka Imam Abu Zur`ah telah diangkat menjadi qadhi Mesir menggantikannya. Imam Abu Zur`ah sendiri wafat dalam bulan Sya'ban tahun 826H, rahimahUllah.

Imam al-Habib 'Alawi bin Ahmad bin al-Hasan bin Shohibur Ratib al-Qutb al-Habib 'Abdullah al-Haddad rahimahumUllah menulis dalam syarahnya bagi "Ratib al-Haddad", halaman 91 bahawa Imam Abu Zur`ah pernah ditanya mengenai hukum mengadakan sambutan Mawlidin Nabi SAW. Adakah ianya mustahab atau makruh dan apakah ada warid ianya dilakukan oleh generasi salaf terdahulu yang menjadi ikutan umat? Maka beliau, rahimahUllah menjawab sebagai berikut:-

Membuat walimah (kenduri) dan memberikan jamuan makanan adalah sesuatu yang mustahab dilakukan pada bila-bila masa sahaja. Apatah lagi jika ianya disertai kegembiraan atas zahirnya nur an-nubuwwah pada bulan yang mulia ini. Walaupun generasi salaf tidak diketahui melakukan walimah yang sedemikian, namun keadaannya sebagai suatu bid`ah tidaklah memestikan yang ianya dianggap sebagai sesuatu yang dibenci (bid`ah makruhah). Betapa banyak bid`ah yang mustahabbah, bahkan yang dianggap sebagai wajib, apabila ianya tidak dicampuri oleh sesuatu mafsadah.
Jadi jelaslah menurut pandangan Imam Abu Zur`ah, mengadakan kenduri untuk memperingati mawlid Junjungan Nabi SAW adalah suatu bid`ah yang mustahab. Kenduri-kenduri mawlid ini walaupun tidak pernah dikerjakan oleh generasi salaf terdahulu adalah dibenarkan dengan syarat ianya bersih dari perbuatan-perbuatan yang mendatangkan fasad dan kerosakan menurut hukum syarak yang mulia. Maka amat kejilah fatwa songsang zaman ini yang menghukumkan orang-orang yang mengadakan majlis mawlid Nabi SAW sebagai bid`ah yang munkar, sedangkan dalam majlis tersebut tiada perbuatan yang menyalahi syarak. Eloklah kita campakkan sahaja fatwa karut tersebut dan berpeganglah kepada fatwa para ulama kita terdahulu. Bid`ah pun bid`ahlah asalkan bid`ah hasanah.

Qaradhawi: Haram Pilih Referendum Pemisahan Sudan



 
Hidayatullah.com--Pemimpin Persatuan Ulama Islam, Yusuf Qaradhawi mengeluarkan fatwa haram bagi siapa yang akan memilih pemisahan selatan Sudan dalam referendum. Karena Sudan merupakan negara Islam.

Menurut situs surat kabar Qatar al-Sharq, Syeikh Yusuf Qaradhawi, Pemimpin Persatuan Ulama Islam hari Rabu (29/12) menjelaskan bahwa upaya pemisahan selatan Sudan dari negara berdaulat Sudan merupakan konspirasi Barat.

"Bagi setiap muslim Sudan haram hukumnya memilih pemisahan selatan Sudan dari Sudan,\" ucap Qaradhawi.

Yusuf Qaradhawi juga meminta dari umat Islam dan Arab untuk bersatu mempertahankan negaranya dari kehancuran akibat perselisihan dan pemisahan.

Pemimpin Persatuan Ulama Islam ini menilai tidak boleh seorang muslim memilih perpecahan dan perselisihan di negara Islam. Ditambahkannya, "Selamanya setiap permisahan akan menciptakan masalah."

Qaradhawi menjelaskan bahwa mayoritas negara-negara Arab berada di balik konspirasi pemisahan Sudan.

"Konspirasi ini sangat berbahaya dan tidak boleh setiap orang memilih pemisahan selatan Sudan dari Sudan."

"Negara-negara Barat, khususnya Amerika berusaha keras untuk memisahkan kawasan barat Sudan yang kaya minyak dari pemerintah pusat Sudan,\" tambah Qaradhawi.

Berdasarkan laporan ini, Zionis Israel memberikan dukungan finansial dan persenjataan kepada selatan Sudan agar kawasan ini memisahkan diri dari pemerintah pusat Sudan.

Referendum untuk menentukan nasib selatan Sudan akan diselenggarakan bulan Januari 2011. [irb/hidayatullah.com]
Rep: Administrator
Red: Administrator

Ulama Iraq Serukan Tentara Perangi Pasukan AS


 
Hidayatullah.com--Hai’ah Ulama Al Muslimin fi Iraq (Himpunan Ulama Muslim Iraq) menyeru kepada warga Iraq yang saat ini bergabung dalam militer Iraq untuk meniru dua tentara Iraq yang berhasil membunuh dan melukai lima pasukan penjajah AS di kamp militer Al Ghazlani. Pernyataan ini dilansir di situs resminya, Iraq-amsi.org, pada tanggal 18 Januari lalu.

Pernyataan tersebut juga menjelaskan bahwa apa yang dilakukan Mirwan Nadzir Izzuddin dan salah satu temannya yang bergabung dengan militer, dengan melepaskan tembakan kepada sejumlah tentara penjajah di pusat pelatihan militer Al Ghazlani yang berada di selatan kota Mosul, merupakan bentuk pembelaan terhadap kehormatan negara.

Organisasi ulama ini menutup pernyataan dengan menyatakan bahwa pihak AS harus bertanggung jawab atas keselamatan dua warga Iraq tersebut dan menyeru agar mereka melepaskan keduanya. *
Rep: Thoriq
Red: Cholis Akbar

Bertaubat dari Zina Saat Tidak Diterapkan Hukum Hadd



 
Hidayatullah.com--Sebagaimana diketahui, dalam syariat Islam, jika seorang mukallaf melakukan perbuatan zina, jika ia belum menikah (ghairu muhshan) maka hukumannya adalah dicambuk seratus kali, merujuk ayat, yang artinya,”Wanita pelaku zina dan laki-laki pelaku zina, maka cambuklah setiap orang dari keduanya seratus cambukan.” (An Nur: 2)
Selain dicambuk juga diasingkan selama satu tahun, sebagaimana yang dilakukan oleh Umar bin Al Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
Sedangkan bagi mereka yang sudah menikah (muhshan) maka hukumannya adalah dirajam hingga meninggal, merujuk kepada ayat, yang artinya,”Laki-laki lanjut usia (syeikh) dan perempuan lanjut usia (syaikhah) jika melakukan zina, maka rajamlah keduanya.” Ayat ini lafadznya telah dihapus (mansukh) namun, hukumnya masih berlaku. Demikian pula Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam juga telah merajam Maiz dan Al Ghamidiah. (Lihat, Al Mughi Al Muhtaj, 4/177, 182).
Namun, ketika syariat, terutama hukum hadd (hukum yang diatur oleh nash) ini tidak diberlakukan, sebagaimana yang terlihat di mayoritas negara Muslim saat ini, jika yang bersangkutan ingin bertaubat dan ingin dilaksanakan hadd atasnya, Dar Al Ifta’ Al Mishriah (Lembaga Fatwa Mesir) menyampaikan penjelasan kepada hidayatullah.com (26/1), bahwa yang bersangkutan (pelaku zina) hendaknya melakukan taubat nashuhah, yakni dengan beristighfar dan benar-benar menyesal atas apa yang telah ia lakukan, serta bertekad kuat dan sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi perbuatannya kembali, selama dalam kondisi demikian (tidak laksanakan hadd oleh pemerintah) berlangsung. * 


Rep: Thoriq
Red: Cholis Akbar

"MAJELIS RASULULLAH SAW"

"MAJELIS RASULULLAH SAW"









"PERADABAN BARU ISLAM (FITRAH MANUSIA)"

Seaching Blog