Bismillâh ar-Rahman al-Rahîm.
Segala puji Allah Tuhan sekalian alam. Dia tidak menyerupai apapun dari makhluk-Nya. Dia tidak membutuhkan apapun dari makhluk-Nya. Dan siapapun dari makhluk-Nya selalu membutuhkan kepada-Nya. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad, Nabi pembawa wahyu dan kebenaran.
Dalam peta Indonesia, paling tidak ada tiga hal yang membuat penyebaran agama Islam cukup unik untuk dikaji.
Pertama; Secara
geografis wilayah nusantara sangat jauh dari negara-negara Arab sebagai
pusat munculnya dakwah Islam. Jaringan informasi dari satu wilayah ke
wilayah lain saat itu sangat membutuhkan waktu dan tenaga. Namun
demikian perkembangan Islam di Nusantara pada awal kedatangannya sangat
pesat, mungkin melebihi penyebaran ke wilayah barat dari bumi ini.
Metodologi dakwah, kondisi wilayah dan masyarakat Indonesia,
materi-materi dakwah dan berbagai aspek lainnya dalam dakwah itu sendiri
adalah di antara hal yang perlu kita pelajari.
Kedua; “Tangan-tangan
ahli” dalam membawa misi dakwah Islam saat itu sangat terampil dan
pleksibel. Padahal sejarah mencatat bahwa wilayah Nusantara ketika itu
diduduki berbagai kerajaan yang dianggap cukup kuat memegang ortodoksi
ajaran leluhur mereka. Dominasi ajaran Hindu dan Budha saat itu, hingga
keyakinan-keyakinan animisme cukup mengakar di berbagai tingkatan
masyarakat. Bagaimanakah olahan tangan-tangan terampil tersebut hingga
membuahkan hasil yang sangat menakjubkan?!
Ketiga; Persentuhan
budaya yang sama sekali berbeda antara budaya orang-orang wilayah
Nusantara (Melayu) dengan umunya orang-orang timur tengah menghasilkan
semacam budaya baru. Budaya baru ini tidak sangat cenderung ke timur
tengah juga tidak sangat cenderung kepada ortodoksi wilayah setempat.
Namun kelebihan yang ada pada budaya baru ini ialah bahwa nilai-nilai
–terutama akidah– ajaran Islam telah benar-benar berhasil ditanamkan
oleh para pendakwahnya.
• • •
Di wilayah Aceh,
pada sekitar permulaan abad sebelas hijriah datang salah seorang
keturunan Rasulullah, yang sekarang nama beliau diabadikan dengan sebuah
Institut Agam Islam Negeri (IAIN), Syaikh Nuruddin ar-Raniri. Beliau
bernama Muhammad ibn ‘Ali ibn Hasan ibn Muhammad al-Raniri al-Qurasyi
al-Syafi’i. Sebelum ke nusantara beliau pernah belajar di Tarim
Hadramaut Yaman kepada para ulama terkemuka di sana. Salah satunya
kepada al-Imam Abu Hafsh ‘Umar ibn ‘Abdullah Ba Syaiban al-Hadlrami.
Ditangan ulama besar ini, al-Raniri masuk ke wilayah tasawuf melalui
tarekat al-Rifa’iyyah, hingga menjadi khalifah dalam tarekat ini.
Tarekat al-Rifa’iyyah dikenal sebagai
tarekat yang kuat memegang teguh akidah Ahlussunnah. Para pemeluknya di
dalam fikih dikenal sebagai orang-orang yang konsisten memegang teguh
madzhab asy-Syafi’i. Sementara dalam akidah sangat kuat memegang teguh
akidah Asy’ariyyah. Terhadap akidah hulûl dan wahdah al-wujûd tarekat
ini sama sekali tidak memberi ruang sedikitpun. Hampir seluruh orang
yang berada dalam tarekat al-Rifa’iyyah memerangi dua akidah ini.
Konsistensi ini mereka warisi dari perintis tarekat al-Rifa’iyyah
sendiri; yaitu al-Hasîb al-Nasîb as-Sayyid al-Imam Ahmad al-Rifa’i.
Ketika kesultanan Aceh dipegang oleh Iskandar Tsani, al-Raniri diangkat menjadi “Syaikh al-Islâm” bagi kesultanan tersebut. Ajaran Ahlussunnah yang sebelumnya sudah memiliki tempat di hati orang-orang Aceh menjadi bertambah kuat dan sangat dominan dalam perkembangan Islam di wilayah tersebut, juga wilayah Sumatera pada umumnya. Faham-faham akidah Syi’ah, terutama akidah hulûl dan ittihâd, yang sebelumnya sempat menyebar di wilayah tersebut menjadi semakin diasingkan. Beberapa karya yang mengandung faham dua akidah tersebut, juga para pemeluknya saat itu sudah tidak memiliki tempat. Bahkan beberapa kitab aliran hulûl dan ittihâd sempat dibakar di depan Majid Baiturrahman.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa di bagian ujung sebelah barat Indonesia faham akidah Ahlussunnah dengan salah satu tarekat mu’tabarah sudah memiliki dominasi yang cukup besar dalam kaitannya dengan penyebaran Islam di wilayah Nusantara.
Ketika kesultanan Aceh dipegang oleh Iskandar Tsani, al-Raniri diangkat menjadi “Syaikh al-Islâm” bagi kesultanan tersebut. Ajaran Ahlussunnah yang sebelumnya sudah memiliki tempat di hati orang-orang Aceh menjadi bertambah kuat dan sangat dominan dalam perkembangan Islam di wilayah tersebut, juga wilayah Sumatera pada umumnya. Faham-faham akidah Syi’ah, terutama akidah hulûl dan ittihâd, yang sebelumnya sempat menyebar di wilayah tersebut menjadi semakin diasingkan. Beberapa karya yang mengandung faham dua akidah tersebut, juga para pemeluknya saat itu sudah tidak memiliki tempat. Bahkan beberapa kitab aliran hulûl dan ittihâd sempat dibakar di depan Majid Baiturrahman.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa di bagian ujung sebelah barat Indonesia faham akidah Ahlussunnah dengan salah satu tarekat mu’tabarah sudah memiliki dominasi yang cukup besar dalam kaitannya dengan penyebaran Islam di wilayah Nusantara.
• • •
Di Palembang Sumatera
juga pernah muncul seorang tokoh besar. Tokoh ini cukup melegenda dan
cukup dikenal di hampir seluruh daratan Melayu. Dari tangannya lahir
sebuah karya besar dalam bidang tasawuf berjudul Siyar al-Sâlikîn Ilâ
‘Ibâdah Rabb al-‘Âlamîn. Kitab dalam bahasa Melayu ini memberikan
kontribusi yang cukup besar dalam perkembangan tasawuf di wilayah
Nusantara. Dalam pembukaan kitab yang tersusun dari empat jilid tersebut
penulisnya mengatakan bahwa tujuan ditulisnya kitab dengan bahasa
Melayu ini agar orang-orang yang tidak dapat memahami bahasa Arab di
wilayah Nusantara dan sekitarnya dapat mengerti tasawuf, serta dapat
mempraktekan ajaran-ajarannya secara keseluruhan. Tokoh kita ini adalah
Syaikh ‘Abd ash-Shamad al-Jawi al-Palimbani yang hidup di sekitar akhir
abad dua belas hijriah. Beliau adalah murid dari Syaikh Muhammad Samman
al-Madani; yang dikenal sebagai penjaga pintu makam Rasulullah.
Kitab Siyar al-Sâlikin sebenarnya
merupakan “terjemahan” dari kitab Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, dengan beberapa
penyesuaian penjelasan. Hal ini menunjukan bahwa tasawuf yang diemban
oleh Syaikh ‘Abd ash-Shamad adalah tasawuf yang telah dirumuskan oleh
Imam al-Ghazali. Dan ini berarti bahwa orientasi tasawuf Syaikh ‘Abd
al-Shamad yang diajarkannya tersebut benar-benar berlandaskan akidah
Ahlussunnah. Karena, seperti yang sudah kita kenal, Imam al-Ghazali
adalah sosok yang sangat erat memegang teguh ajaran Asy’ariyyah
Syafi’iyyah.
Tentang sosok al-Ghazali, sudah lebih
dari cukup untuk mengenal kapasitasnya dengan hanya melihat karya-karya
agungnya yang tersebar di hampir seluruh lembaga pendidikan Islam, baik
formal maupun non formal di berbagai pelosok Indonesia. Terutama bagi
kalangan Nahdliyyin, al-Ghazali dengan karyanya Ihyâ’ Ulûm al-Dîn adalah
rujukan standar dalam menyelami tasawuf dan tarekat. Secara “yuridis”
hampir seluruh ajaran tasawuf terepresentasikan dalam karya al-Ghazali
ini. Bagi kalangan pondok pesantren, terutama pondok-pondok yang
mengajarkan kitab-kitab klasik (Salafiyyah), bila seorang santri sudah
masuk dalam mengkaji Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn berarti ia sudah berada di
“kelas tinggi”. Karena sebenarnya di lingkungan pesantren kitab-kitab
yang dikaji memiliki hirarki tersendiri. Dan untuk menaiki
hirarki-hirarki tersebut membutuhkan proses waktu yang cukup panjang,
terlebih bila ditambah dengan usaha mengaplikasikannya dalam
tindakan-tindakan. Materi kitab yang dikaji dan sejauh mana aplikasi
hasil kajian tersebut dalam prilaku keseharian biasanya menjadi tolak
ukur untuk melihat “kelas-kelas” para santri tersebut.
• • •
Wali songo
yang tidak pernah kita lupakan; Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan
Drajat, Sunan Giri, Sunan Gresik, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan
Kalijaga, dan Sunan Gunung Jati adalah sebagai tokoh-tokoh terkemuka
dalam sejarah penyebaran Islam di wilayah Nusantara. Tokoh-tokoh
melegenda ini hidup di sekitar pertengahan abad sembilan hijriah.
Artinya Islam sudah bercokol di wilyah Nusantara ini sejak sekitar 600
tahun lalu, bahkan mungkin sebelum itu. Sejarah mencatat bahwa para
pendakwah yang datang ke Indonesia berasal dari Gujarat India yang
kebanyakan nenek moyang mereka adalah berasal dari Hadlramaut Yaman.
Negara Yaman saat itu, bahkan hingga sekarang, adalah “gudang” al-Asyrâf
atau al-Habâ’ib; ialah orang-orang yang memiliki garis keturunan dari
Rasulullah. Karena itu pula para wali songo yang tersebar di wilayah
Nusantara memiliki garis keturunan yang bersambung hingga Rasulullah.
Yaman adalah pusat kegiatan ilmiah yang
telah melahirkan ratusan bahkan ribuan ulama sebagai pewaris peninggalan
Rasulullah. Kegiatan ilmiah di Yaman memusat di Hadlramaut. Berbeda
dengan Iran, Libanon, Siria, Yordania, dan beberapa wilayah di daratan
Syam, negara Yaman dianggap memiliki tradisi kuat dalam memegang teguh
ajaran Ahlussunnah. Mayoritas orang-orang Islam di negara ini dalam
fikih bermadzhab Syafi’i dan dalam akidah bermadzhab Asy’ari. Bahkan hal
ini diungkapkan dengan jelas oleh para para tokoh terkemuka Hadlramaut
sendiri dalam karya-karya mereka. Salah satunya as-Sayyid al-Imam
‘Abdullah ibn ‘Alawi al-Haddad, penulis ratib al-Haddad, dalam Risâlah
al-Mu’âwanah mengatakan bahwa seluruh keturunan as-Sâdah al-Husainiyyîn
atau yang dikenal dengan Al Abi ‘Alawi adalah orang-orang Asy’ariyyah
dalam akidah dan Syafi’iyyah dalam fikih. Dan ajaran Asy’ariyyah
Syafi’iyyah inilah yang disebarluaskan oleh moyang keturunan Al Abi
‘Alawi tersebut, yaitu al-Imâm al-Muhâjir as-Sayyid Ahmad ibn ‘Isa ibn
Muhammad ibn ‘Ali ibn al-Imâm Ja’far ash-Shadiq. Dan ajaran Asy’ariyyah
Syafi’iyyah ini pula yang di kemudian hari di warisi dan ditanamkan oleh
wali songo di tanah Nusantara.
• • •
Suatu hari wali songo berkumpul membahas
hukuman yang pantas untuk dijatuhkan kepada Syaikh Siti Jenar. Orang
terakhir disebut ini adalah orang yang dianggap merusak tatanan akidah
dan syari’ah. Ia membawa dan menyebarkan akidah hulûl dan ittihâd dengan
konsepnya yang dikenal dengan “Manunggaling kawula gusti”. Konsep
ajaran al-Hallaj tentang ittihâd dan hulûl hendak dihidupkan oleh Syaikh
Siti Jenar di kepulauan Jawa. Al-Hallaj dahulu di Baghdad dihukum
pancung dengan kesepakatan dan persetujuan para ulama, termasuk dengan
rekomendasi al-Muqtadir Billah; sebagai khalifah ketika itu. Kita tidak
perlu mendiskusikan adakah unsur politis yang melatarbelakangi hukuman
pancung terhadap al-Hallaj ini atau tidak?! Secara sederhana saja,
sejarah telah mencatatkan bahwa yang membawa al-Hallaj ke hadapan pedang
kematian adalah karena akidah hulûl dan ittihâd yang dituduhkan
kepadanya.
Setelah perundingan yang cukup panjang,
wali songo memutuskan bahwa tidak ada hukuman yang setimpal bagi
kesesatan Syaikh Siti Jenar kecuali hukum bunuh, persis seperti yang
telah dilakukan oleh para ulama di Baghdad terhadap al-Hallaj. Di sini
kita juga tidak perlu repot memperdebatkan apakah latar belakang politis
yang membawa Syaikh Siti Jenar kepada kematian?! Terlebih dengan
mencari kambing hitam dari para penguasa saat itu atau dari para wali
songo sendiri yang “katanya” merasa dikalahkan pengaruhnya oleh Syaikh
Siti Jenar. Pernyataan semacam ini jelas terlalu dibuat-buat, karena
sama dengan berarti menyampingkan nilai-nilai yang telah diajarkan dan
diperjuangkan wali songo itu sendiri. Juga dapat pula berarti menilai
bahwa keikhlasan-keikhlasan para wali songo tersebut sebagai sesuatu
yang tidak memiliki arti, atau istilah lain melihat mereka dengan
pandangan su’uzhan (berburuk sangka). Tentunya, jangan sampai kita
terjebak di sini.
• • •
Pasca wali songo, pada
permulaan abad ke tiga belas hijriah, di salah satu kepulauan di wilayah
Nusantara lahir sosok ulama besar. Di kemudian hari tokoh kita ini
sangat dihormati tidak hanya oleh orang-orang Indonesia dan sekitarnya,
tapi juga oleh orang-orang timur tengah, bahkan oleh dunia Islam secara
keseluruhan. Beliau menjadi guru besar di Masjid al-Haram dengan gelar
“Sayyid ‘Ulamâ’ al-Hijâz”, juga dengan gelar “Imâm ‘Ulamâ’ al-Haramain”.
Berbagai hasil karya yang lahir dari tangannya sangat populer, terutama
di kalangan pondok pesantren di Indonesia. Beberapa judul kitab,
seperti Kâsyifah al-Sajâ, Qâmi’ al-Thughyân, Nûr al-Zhalâm, Bahjah
al-Wasâ’il, Mirqât Shu’ûd al-Tashdîq, Nashâ’ih al-‘Ibâd, dan Kitab
Tafsir al-Qur’an Marâh Labîd adalah sebagian kecil dari hasil karyanya.
Kitab-kitab ini dapat kita pastikan sangat akrab di lingkungan pondok
pesantren. Santri yang tidak mengenal kitab-kitab tersebut patut
dipertanyakan “kesantriannya”.
Tokoh kita ini tidak lain adalah Syaikh
Nawawi al-Bantani. Kampung Tanara, daerah pesisir pantai yang cukup
gersang di sebelah barat pulau Jawa adalah tanah kelahirannya. Beliau
adalah keturunan ke-12 dari garis keturunan yang bersambung kepada Sunan
Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) Cirebon. Dengan demikian dari
silsilah ayahnya, garis keturunan Syaikh Nawawi bersambung hingga
Rasulullah.
Perjalanan ilmiah yang beliau lakukan telah menempanya menjadi seorang ulama besar. Di Mekah beliau berkumpul di “kampung Jawa” bersama para ulama besar yang juga berasal dari Nusantara, dan belajar kepada yang lebih senior di antara mereka. Di antaranya kepada Syaikh Khathib Sambas (dari Kalimantan) dan Syaikh ‘Abd al-Ghani (dari Bima NTB). Kepada para ulama Mekah terkemuka saat itu, Syaikh Nawawi belajar di antaranya kepada as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan (mufti madzhab Syafi’i), as-Sayyid Muhammad Syatha ad-Dimyathi, Syaikh ‘Abd al-Hamid ad-Dagestani, dan lainnya.
Dari didikan tangan Syaikh Nawawi di kemudian hari bermunculan syaikh-syaikh lain yang sangat populer di Indonesia. Mereka tidak hanya sebagai tokoh ulama yang “pekerjaannya” bergelut dengan pengajian saja, tapi juga merupakan tokoh-tokoh terdepan bagi perjuangan kemerdekaan RI. Di antara mereka adalah; KH. Kholil Bangkalan (Madura), KH. Hasyim Asy’ari (pencetus gerakan sosial NU), KH. Asnawi (Caringin Banten), KH. Tubagus Ahmad Bakri (Purwakarta Jawa Barat), KH. Najihun (Tangerang), KH. Asnawi (Kudus) dan tokoh-tokoh lainnya.
Perjalanan ilmiah yang beliau lakukan telah menempanya menjadi seorang ulama besar. Di Mekah beliau berkumpul di “kampung Jawa” bersama para ulama besar yang juga berasal dari Nusantara, dan belajar kepada yang lebih senior di antara mereka. Di antaranya kepada Syaikh Khathib Sambas (dari Kalimantan) dan Syaikh ‘Abd al-Ghani (dari Bima NTB). Kepada para ulama Mekah terkemuka saat itu, Syaikh Nawawi belajar di antaranya kepada as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan (mufti madzhab Syafi’i), as-Sayyid Muhammad Syatha ad-Dimyathi, Syaikh ‘Abd al-Hamid ad-Dagestani, dan lainnya.
Dari didikan tangan Syaikh Nawawi di kemudian hari bermunculan syaikh-syaikh lain yang sangat populer di Indonesia. Mereka tidak hanya sebagai tokoh ulama yang “pekerjaannya” bergelut dengan pengajian saja, tapi juga merupakan tokoh-tokoh terdepan bagi perjuangan kemerdekaan RI. Di antara mereka adalah; KH. Kholil Bangkalan (Madura), KH. Hasyim Asy’ari (pencetus gerakan sosial NU), KH. Asnawi (Caringin Banten), KH. Tubagus Ahmad Bakri (Purwakarta Jawa Barat), KH. Najihun (Tangerang), KH. Asnawi (Kudus) dan tokoh-tokoh lainnya.
Pada periode ini, ajaran Ahlussunnah;
Asy’ariyyah Syafi’iyyah di Indonesia menjadi sangat kuat. Demikian pula
dengan penyebaran tasawuf yang secara praktis berafiliasi kepada Imam
al-Ghazali dan Imam al-Junaid al-Baghdadi, saat itu sangat populer dan
mengakar di masyarakat Indonesia. Penyebaran tasawuf pada periode ini
diwarnai dengan banyaknya tarekat-tarekat yang “diburu” oleh berbagai
lapisan masyarakat. Dominasi murid-murid Syaikh Nawawi yang tersebar
dari sebelah barat hingga sebelah timur pulau Jawa memberikan pengaruh
besar dalam penyebaran ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah. Ajaran-ajaran di
luar Ahlussunnah, seperti faham “non madzhab” (al-Lâ Madzhabiyyah) dan
akidah hulûl atau ittihâd serta keyakinan sekte-sekte sempalan Islam
lainnya, memiliki ruang gerak yang sangat sempit sekali.
• • •
Di wilayah timur Nusantara
ada kisah melegenda tentang seorang ulama besar, tepatnya dari wilayah
Makasar Sulawesi. Sosok ulama besar tersebut tidak lain adalah Syaikh
Yusuf al-Makasari. Agama Islam masuk ke wilayah ini pada sekitar
permulaan abad sebelas hijriah. Dua kerajaan kembar; kerajaan Goa dan
kerajaan Talo yang dipimpin oleh dua orang kakak adik memiliki andil
besar dalam penyebaran dakwah Islam di wilayah tersebut. Saat itu banyak
kerajaan-kerajaan kecil yang menerima dengan lapang dada akan kebenaran
ajaran-ajaran Islam. Tentu perkembangan dakwah ini juga didukung oleh
kondisi geografis wilayah Sulawesi yang sangat strategis. Di samping
sebagai tempat persinggahan para pedagang yang mengarungi lautan, daerah
Sulawesi sendiri saat itu sebagai penghasil berbagai komuditas,
terutama rempah-rempah dan hasil bumi lainnya.
Di kemudian hari kelahiran Syaikh Yusuf
menambah semarak keilmuan, terutama ajaran tasawuf praktis yang cukup
menjadi primadona masyarakat Sulawesi saat itu. Syaikh Yusuf sendiri di
samping seorang sufi terkemuka, juga seorang alim besar multi disipliner
yang menguasai berbagai macam disiplin ilmu agama. Latar belakang
pendidikan Syaikh Yusuf menjadikannya sebagai sosok yang sangat kompeten
dalam berbagai bidang. Tercatat bahwa beliau tidak hanya belajar di
daerahnya sendiri, tapi juga banyak melakukan perjalanan (rihlah
‘ilmiyyah) ke berbagai kepulauan Nusantara, dan bahkan sempat beberapa
tahun tinggal di negara timur tengah hanya untuk memperdalam ilmu agama.
Perjalanan ilmiah Syaikh Yusuf di kepulauan Nusantara di antaranya ke Banten dan bertemu dengan Sultan ‘Abd al-Fattah (Sultan Ageng Tirtayasa), yang merupakan putra mahkota kerajaan Banten saat itu. Dengan orang terakhir ini Syaikh Yusuf cukup akrab, bahkan dengannya bersama-sama memperdalam ilmu agama. Selain ke Banten, Syaikh Yusuf juga berkunjung ke Aceh dan bertemu dengan Syaikh Nuruddin ar-Raniri. Darinya, Syaikh Yusuf mendapatkan ijazah beberapa tarekat, di antaranya tarekat al-Qadiriyyah. Walaupun sebagian ahli sejarah mempertanyakan kebenaran adanya pertemuan antara Syaikh Yusuf dengan Syaikh Nuruddin ar-Raniri, namun hal penting yang dapat kita tarik sebagai benang merah ialah bahwa jaringan tarekat saat itu sudah benar-benar merambah ke berbagai kepulauan Nusantara. Dan bila benar bahwa Syaikh Yusuf pernah bertemu dengan Syaikh Nuruddin al-Raniri serta mengambil tarekat darinya, maka dapat dipastikan bahwa ajaran-ajaran yang disebarkan Syaikh Yusuf di bagian timur Nusantara adalah ajaran Ahlussunnah; dalam akidah madzhab Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan dalam fikih madzhab Imam Muhammad ibn Idris as-Syafi’i.
Kepastian bahwa Syaikh Yusuf seorang Sunni tulen juga dapat dilihat dari perjalanan ilmiah beliau yang dilakukan ke Negara Yaman. Di negara ini Syaikh Yusuf belajar kepada tokoh-tokoh terkemuka saat itu. Di negara ini pula Syaikh Yusuf mendapatkan berbagai ijazah tarekat mu’tabarah. Di antaranya tarekat al-Naqsyabandiyyah, tarekat al-Syatariyyah, tarekat al-Sadah al-Ba’alawiyyah, tarekat al-Khalwatiyyah dan lainnya.
Perjalanan ilmiah Syaikh Yusuf di kepulauan Nusantara di antaranya ke Banten dan bertemu dengan Sultan ‘Abd al-Fattah (Sultan Ageng Tirtayasa), yang merupakan putra mahkota kerajaan Banten saat itu. Dengan orang terakhir ini Syaikh Yusuf cukup akrab, bahkan dengannya bersama-sama memperdalam ilmu agama. Selain ke Banten, Syaikh Yusuf juga berkunjung ke Aceh dan bertemu dengan Syaikh Nuruddin ar-Raniri. Darinya, Syaikh Yusuf mendapatkan ijazah beberapa tarekat, di antaranya tarekat al-Qadiriyyah. Walaupun sebagian ahli sejarah mempertanyakan kebenaran adanya pertemuan antara Syaikh Yusuf dengan Syaikh Nuruddin ar-Raniri, namun hal penting yang dapat kita tarik sebagai benang merah ialah bahwa jaringan tarekat saat itu sudah benar-benar merambah ke berbagai kepulauan Nusantara. Dan bila benar bahwa Syaikh Yusuf pernah bertemu dengan Syaikh Nuruddin al-Raniri serta mengambil tarekat darinya, maka dapat dipastikan bahwa ajaran-ajaran yang disebarkan Syaikh Yusuf di bagian timur Nusantara adalah ajaran Ahlussunnah; dalam akidah madzhab Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan dalam fikih madzhab Imam Muhammad ibn Idris as-Syafi’i.
Kepastian bahwa Syaikh Yusuf seorang Sunni tulen juga dapat dilihat dari perjalanan ilmiah beliau yang dilakukan ke Negara Yaman. Di negara ini Syaikh Yusuf belajar kepada tokoh-tokoh terkemuka saat itu. Di negara ini pula Syaikh Yusuf mendapatkan berbagai ijazah tarekat mu’tabarah. Di antaranya tarekat al-Naqsyabandiyyah, tarekat al-Syatariyyah, tarekat al-Sadah al-Ba’alawiyyah, tarekat al-Khalwatiyyah dan lainnya.
Latar belakang keilmuan Syaikh Yusuf ini
menjadikan penyebaran tasawuf di di wilayah Sulawesi benar-benar
dilandaskan kepada akidah Ahlussunnah. Ini dikuatkan pula dengan
karya-karya yang ditulis Syaikh Yusuf sendiri, bahwa orientasi
karya-karya tersebut tidak lain adalah Syafi’iyyah Asy’ariyyah. Kondisi
ini sama sekali tidak memberikan ruang kepada akidah hulûl atau ittihâd
untuk masuk ke wilayah “kekuasaan” Syaikh Yusuf al-Makasari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar