SEJARAH
bagi sebagian orang membosankan. Namun untuk Ali Anwar, sejarah adalah
mainan yang mengasyikkan. Ia menelusurinya ke ceruk terdalam, mengupas
lapisan masa lalu dengan penuh kesabaran. Begitulah, Ali sudah kepincut
cerita sejarah sejak remaja. Cerita tentang Bekasi tempo dulu yang
dituturkan oleh orang-orang tua di kampungnya membangunkan imajinasi
Ali. Ia hafal mulai dari kisah kejayaan Kerajaan Tarumanegara di masa
Raja Purnawarman hingga heroisme perjuangan melawan kompeni Belanda.
Suatu
ketika, Ali muda kecewa ketika mendapati kenyataan bahwa Bekasi kurang
diakui dalam peta kebudayaan nusantara dan sejarah pergolakan
kemerdekaan. Sejak itu, ia bertekad untuk mengabdikan diri, mengumpulkan
serpihan sejarah Bekasi yang terserak. "Waktu itu, K.H. Noer Ali
memberikan dorongan kepada saya untuk mendalami ilmu sejarah. Katanya,
harus ada orang Bekasi yang menulis sejarah kampungnya sendiri," kata
Ali mengenang wasiat K.H. Noer Ali, seorang tokoh masyarakat Bekasi.
Karya
tulis sejarahnya yang pertama adalah "Bekasi Lautan Api", sebuah
tulisan yang menggambarkan tentang pembumihangusan Bekasi oleh pasukan
sekutu pada 13 Desember 1945. Tulisan ini berhasil menjadi juara lomba
karya tulis tingkat pelajar dan mahasiswa yang diadakan oleh Kodam
V/Jaya, Jakarta, pada tahun 1984. Ketika itu, Ali baru memasuki bangku
kuliah di Universitas Indonesia pada Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu
Budaya.
Tulisan tersebut bersumber dari cerita
yang biasa didengar Ali dari orang-orang tua di kampungnya. Sejarah yang
dianggap biasa saja oleh para pencerita itu ternyata menjadi sorotan
media nasional dan internasional kala itu. Tulisan ini kemudian
dikembangkan Ali selama dua puluh tahun dan diterbitkan menjadi buku
berjudul Bekasi Dibom Sekutu : Pembumihangusan Kota dan Kampung-kampung
di Bekasi oleh Tentara Sekutu-Inggris, 13 Desember 1945, Bekasi terbitan
Komunitas Baca Bekasi, pada tahun 2006.
Proses
penggalian sejarah ini tidak mudah. "Kesulitannya adalah pengumpulan
data karena banyak yang tidak terdokumentasikan. Saksi sejarah pun
rata-rata sudah meninggal," kata pria kelahiran Bekasi, 12 Januari 1965
ini.
Kelangkaan data tak membuat semangat Ali
padam. Sebaliknya ia malah semakin bergairah. Ali melakukan pencarian
dengan enjoy, meminjam istilah anak muda masa kini. Kegiatan pencarian
data ia sebut sebagai tamasya ke masa lalu.
Berbagai
buku sejarah telah lahir dari tangannya, antara lain, Seri Sejarah
Peradaban Dunia, Gerakan Protes Petani Bekasi : Studi Kasus Awal
Masuknya Sarekat Islam di Tanah Partikelir, Sejarah Bekasi Sejak
Purnawarman sampai Orde Baru, Cuplikan Sejarah Patriotik Rakyat di
Bekasi, Benda Cagar Budaya Kabupaten Bekasi, Konflik Sampah Kota, dan
K.H. Noer Alie, Kemandirian Ulama Pejuang.
Bagi
suami Lisnarti Wardah ini, sejarah harus ditulis agar tidak pupus
ditempa waktu. Sejarah amat penting bagi generasi sesudahnya sebab
ingatan orang sangat terbatas. Ali memandang, penulisan sejarah sama
halnya dengan usaha mencari identitas kultural.
Bekasi,
kata dia, sampai saat ini tidak memiliki akar budaya yang jelas. Hal
ini disebabkan oleh banyak faktor. Salah satu faktor karena Bekasi yang
menjadi tempat berbaurnya berbagai macam kebudayaan di era kerajaan
Tarumanegara. Selain itu mayarakat juga banyak terpengaruh kebudayaan
asing akibat penjajahan. Ia mengusulkan perlu adanya rekonstruksi budaya
untuk menciptakan kesatuan budaya dan kultur. "Ini adalah tugas kita
bersama, terutama pemerintah daerah," kata pria yang sehari-hari bekerja
sebagai wartawan Koran Tempo.
Selain sibuk
mengeluti sejarah, Ali juga aktif di One Center Bekasi, Ketua Bekasi
Heritage, Ketua Komunitas Budaya Pangkalan Bambu, dan pengurus Badan
Kekeluargaan Masyarakat Bekasi (BKMB) Bhagasasi. (JU-16)***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar