Selasa, 02 Agustus 2011

Luthfi Afandi, Perindu Tegaknya Syariat Islam

Wartaislam.com - Obsesinya adalah tegaknya Syariat dan Khilafah Islamiyah. Jika tercipta, maka persoalan umat yang mendera akan dapat diselesaikan secara baik. Kini, ia berjuang untuk mewujudkan semua itu.
Luthfi Afandi adalah sosok muda yang memiliki visi dan misi cukup kuat di dalam berdakwah. Tak mengherankan bila waktunya selama ini digunakan secara optimal untuk hal itu. Ia begitu menyadari bila untuk mengubah  kondisi umat Islam yang ada maka cara yang harus dilakukan adalah dengan dakwah. Ini sejak dulu telah dilakukan Rasulullah. Umat Islam akan berubah bila menang terjadi pengubahan dalam cara pandang atau pemikirannya. Masyarakat harus diajak memahami Islam secara utuh sehingga cara berpikirnya haruslah dengan pemahaman Islam yang baik.
“Masalah yang dihadapi umat saat ini berakar dari tidak tegaknya Syariat Islam. Sebagai contoh, pornografi dan seks bebas akan sulit diberantas, kendati para da’i telah berkoar-koar tentang dosa dan bahaya hal ini. Sayang karena di sini tak menggunakan aturan Islam maka tak ada hukum tentang perzinaan yang menyebabkan seks bebas semakin meningkat. Maka bila aturan Islam soal zina ditegakkan secara baik maka efek jera itu akan tercipta dengan sendirinya dan dosa pelakunya akan tertebus” terang pria yang lahir di Karawang, 1 Oktober 1978 kepada wartaislam.com di kantornya di Pasirkaliki 143 beberapa waktu lalu.
Terkait persoalan tersebut, ia pun bersama Tim Kajian Raperda Miras HTI Kota Bandung menjadi garda terdepan mengkritisi aturan yang menjadi produk hukum DPRD Kota Bandung ini. Kendati dalam draft telah terjadi perubahan dengan adanya Pelarangan, Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol namun pihaknya tetap bersikukuh menolak legalisasi miras. Artinya aturan boleh ada tetapi intinya melarang  miras dilegalisasi atau miras itu dilarang saja secara total. “Apa jadinya, jika aturan legalisasi miras terjadi maka bukan mustahil aturan kemaksiatan lainnya bisa muncul karena dipicu adanya hal ini. Narkoba saja yang dilarang dengan aturan hukum yang jelas masih banyak yang melanggar, apalagi ini dilegalkan. Bukankah ini berarti sama saja dengan memberi kesempatan orang untuk berbuat dosa ?” tegas putra bungsu pasangan Nanang (alm) dan Mardiyah.
Suami dari dr. Arti Rosaria Dewi ini menduga sepertinya ada berbagai kepentingan terjadi dalam soal miras ini. Penetapan peraturan tersebut yang terjadi tampak tarik ulur. Luthfi telah menegaskan baik dengan cara menulis di media massa maupun berdialog di TV atau radio swasta di Kota Kembang, tak ada satupun alasan yang bisa melegalkan miras dalam bidang apapun. Justeru miraslah penyebab hancurnya akhlak dan semangat masyarakat dalam bekerja. Ia mengutip  pernyataan Ketua Pansus Miras ini sendiri, jika miras dilarang total maka yang pasti miras akan hilang dari Kota Bandung ini. “Jadi kalau begitu, mengapa harus dilegalkan ?” Tanya ayah dari Muhammad Azka Afkari dan Ghiza Mursyida ini.
Namun begitu, Luthfi pun sadar jika dalam pertarungan ideologi tentu konskuensi pahit akan diterimanya. Oleh sebab itu bila aturan legalisasi miras itu gol maka ia bersama umat Islam tidak akan berhenti melakukan amar maruf nahyi munkar. Dia menyadari memaksakan kehendak pun tentu akan ada konsekuensinya pula. Hanya ia akan mengatakan kepada umat, patut dipertanyakan integritas dan kualitas para anggota dewan terutama yang muslim bila berani melegalkan aturan yang bertentangan dengan Hukum Allah. Dia mengatakan jika aturan itu digolkan maka bukan saja dosa bagi peminum, penjual, perusahaan yang memperoduksi miras, distributor tetapi anggota dewan yang melegalkannya pun akan tertimpa dosa pula dan anak cucu mereka akan mencatat jika orangtuanya/kakek neneknya telah mengeluarkan aturan yang justeru merusak akhlak anak-anak dan cucu mereka.
Pria yang mengajar  Pendidikan Agama Islam di Uinversitas Padjajaran ini menegaskan miras hanyalah satu satu problem umat. Masih banyak problem lain yang harus dihadapi. Hanya saja di negeri ini sulit untuk menciptakan kehidupan yang benar-benar islami karena cara pandang masyarakatnya masih jauh dari Islam itu sendiri. Untuk melihat sejauh mana kehidupan Islam itu tercipta secara baik melalui tiga komponen. Pertama, pemikirannya. Kedua, perasaannya dan ketiga, aturan yang ditegakkannya. Ketiga hal itu di Indonesia belum dapat diterapkan secara utuh. “Coba saja kita lihat, hukuman terhadap pelaku perzinaan saja dengan hukum rajam dianggap kejam. Sehingga inilah yang menyebabkan sebuah tantangan dakwah untuk menyadarkan masyarakat muslim untuk mengedpankan aturan Allah daripada sekedar mengedepankan perasaannya saja,” urai dai muda yang sempat pula menulis secara bersama rekannya dua buku yaitu “Gerakan Zakat untuk Indonesia” dan “Ilusi Negara Demokrasi.
Sehingga menurutnya, agar mampu menegakkan Syariat Islam maka perjuangan ini harus dilakukan segenap elemen umat Islam yang ada. Hal ini merupakan tanggung jawab seluruh umat Islam. HTI memposisikan diri sebagai leadership dalam hal ini. “Tak mengherankan jika sekitar tahun 80-an semasa mulai dikenal HTI hanya diikuti 2-3 orang saja kini telah banyak umat Islam yang tertarik dan bergabung dengan HTI karena rindu tegaknya Syariat dan Khilafah Islamiyah,” ujar lelaki yang menjadi Direktur WakafPro 99, Pimpinan Tabloid AL-HIKMAH, Humas HTI Jawa Barat, Ketua Tim Kajian Raperda Miras HTI Kota Bandung dan pengelola Social Entrepreneurship Leader (SEL).
Tidak hanya itu, Luthfi sendiri cukup peduli pula pada persoalan ekonomi umat. Ia melihat kemiskinan yang terjadi di negeri ini adalah kemiskinan kultural dan kemiskinan struktural. Jika kemiskinan kultural sebagai akibat dari kondisi orangtuanya, sehingga anaknya tercipta seperti itu. Sedangkan kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diciptakan sebagai akibat adanya aturan yang tidak pro rakyat dan lebih mengutamakan kaum kapitalis. Salah satu ciri sistem ekonomi kapitalis ini adalah kebijakan yang menghilangkan subsidi, sebagai contoh kenaikan harga BBM dan TDL yang terjadi akhir-akhir ini. Sehingga hubungan Pemerintah dengan rakyatnya bukan lagi antara pelayan dan yang dilayani namun sudah berubah menjadi hubungan penjual dan pembeli. Sehingga rakyat yang miskin tentu saja akan tersingkirkan. Sistem Kapitalis ini justeru menguntungkan pihak asing dan memiskinkan rakyat negeri ini karena keuntungannya bukan dirasakan rakyat tetapi malah bagi pihak asing. Satu contoh yang terjadi di Freeport atau lokasi SDA di seluruh Indonesia. “Padahal Rasulullah telah menegaskan bila almau (air), alkalaa (padang rumput dan an-naar (api atau sumber daya alam) harus dikuasai secara bersyarikat atau oleh Negara. Bukan justeru malah diberikan kepada pihak asing. Menurut pria yang gemar sayur asam ini, pihak asing lebih menekankan pada sisi profit oriented saja tanpa memikirkan kesejahteraan bagi rakyat di sekitar lokasi yang dieksploitasi. Akibatnya rakyat di sana bukannya sejahtera malah yang terjadi adalah kemiskinan.
Solusi untuk memecahkan problem ini adalah kembali kepada aturan Islam yang sesungguhnya ungkap pria yang telah menimba ilmu di SDN 5 Teluk Ambul dan MI Mathlaul Anwar, Karawang (1990), MTS Mathlaul Anwar (1993), MA Mathlaul Anwar (1996), Fakultas Hukum UNPAD  tamat tahun 2001 dan kini sedang menyelesaikan S2 di Unisba dengan mengambil Hukum Islam.
Kembali kepada persoalan umat yang ada, Luthfi baik secara lembaga atau persoarangan berupaya terus melakukan dakwah tiada henti. Ia pun terus berjuang pula untuk tegaknya Syariat dan Khilafah Islamiyah. Ada baiknya, tambahnya agar umat Islam sendiri sudah harus mengesampingkan perbedaan-perbedaan soal khilafiyah atau furuiyah yang dapat memecah persatuan umat Islam. Sudah seharusnya umat Islam mengokohkan ukhuwah Islamiyah untuk mewujudkan kehidupan yang benar-benar islami yang ada dalam lindungan Allah SWT.
Bahkan pemilik slogan hidup “Idealisme Seumur Hidup” mengungkapkan jika ulama memiliki posisi yang strategis di dalam menyampaikan dakwah. Ulama adalah sosok panutan atau teladan bagi umat. Materi dakwah yang disampaikan semestinya tidak sekedar pada tatanan rituial ibadah semata. Bukan berarti hal itu tidak baik, melainkan perlu pula menyadarkan umat dan mengubah pemikirannya tentang Islam. Sudah saatnya mereka kembali kepada aturan Islam yang sesungguhnya agar selamat dunia dan akhirat.
Menarik mengikuti perjalanan hidup Luthfi Afandi. Semula ia tak berpikir akan terjun ke dunia dakwah. Sebagai anak yang dididik dengan kejujuran dan kesederhanaan oleh kedua orangtuanya. Tidak lantas membuatnya menjadi remaja yang tampil dengan sosok utuh. Ia juga sempat ikutan nongkrong dengan anak-anak sebayanya, berkelahi di terminal bahkan merokok. Tetapi ia menyadari semua itu takkan berguna sehingga ia sadar untuk segera menggapai cita-citanya. Orangtuanya begitu menekankan dalam soal pendidikan. Lebih baik tidak membeli motor, kalaupun ada uangnya lebih baik untuk sekolah saja. Luthfi ingat betul itu, makanya ia berputar haluan dengan terjun sekolah secara baik sampai bercita-cita menjadi seorang pengacara karena ia merasa tidak ingin selalu dicap keluarga guru serta selalu lulus dari IAIN (UIN, red). Maka ia memilih Unpad dengan mengambil fakultas hukum.
Di tempat kuliah, apa yang dipelajarinya ternyata hukum-hukum sekuler bukan hukum Islam. Terlebih waktu di semester I, sang ayah wafat hingga hal ini yang membuatnya tak bisa kos seperti mahasiswa yang lain. Maka Mesjid Al-Jihad Unpad, di jalan Dipati Ukur, Kota Bandung menjadi pilihannya. Konsekuensinya ia harus siap membantu membersihkan mesjid, adzan, jadi imam dan dikondisikan menjadi dai. Di sinilah ia bersentuhan dengan dunia dakwah hingga dalam bulan Ramadhan ia disuruh menggantikan seniornya untuk ceramah tarawih yang dijemput dengan mobil. “Dapat dibayangkan oleh Akang sebagai pemula, ketika melakukan itu saya keluar keringat dingin dan kaki gemetar. Alhamdulillah hal itu dapat dilakukan secara baik sehingga sampai saat ini saya bisa melakukannya secara baik semoga Allah meridloi apa yang telah saya lakukan,” kenang pria yang memiliki tokoh idola Rasulullah dan Syekh Taqiyudin An-Nabhani.
Dari sinilah ia berkenalan dengan HTI melalui diskusi dan penajaman pemikiran, apalagi hukum sekuler yang dipelajari sangat bertentangan dengan garis perjuangan HTI tetapi itu tetap dipelajarinya sebagai upaya untuk mewujudkan amanah sang ayah. Namun dalam hati ia meyakini bagaimanapun Hukum Islamlah yang paling sempurna. Tak jarang hal ini yang menyebabkan ia berdebat dengan dosen hukumnya. “Biarpun hukum sekuler yang dipelajari saat itu namun saya tetap mengajak untuk menggunakan hukum Allah di dalam mengatasi persoalan masyarakat” ucapnya.
Pada akhirnya, Luthfi berujar bahwa setiap zaman tentu ada tantangannya. Orang yang memegang agama sama artinya memegang bara api. Melepas bara api tentu akan lepas dari rasa panas. Namun yang memegang tentu akan terasa panas. Maka untuk saat ini bisa lepas dari riba saja sudah luar biasa, mampu melakukan aktivitas muamalah secara Islami, luar biasa dan mampu mendidik anak secara islami, sungguh luar biasa. Sehingga sebagai muslim, sudah tentu harus memegang aturan Islam daan taat kepada Allah sebagai cermin dari diri seorang muslim yang mencintai Syariat Islam.***(WI-003)

Tidak ada komentar:

"MAJELIS RASULULLAH SAW"

"MAJELIS RASULULLAH SAW"









"PERADABAN BARU ISLAM (FITRAH MANUSIA)"

Seaching Blog