Nama Syekh Abdur Rauf Al-Fansuri As-Singkili yang memiliki nama panjang
Syekh Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Al-Fansuri Al-Singkili dilahirkan di
Fansur dan dibesarkan di Singkil, Aceh, pada awal abad ke-17 Masehi
Ulama besar asal Aceh ini sangat
terkenal dengan pemikirannya. Sejak kecil ia sudah mempelajari ilmu-ilmu
zahir seperti tata bahasa Arab, membaca Alquran dan tafsir, hadis dan
fikih, mantiq (logik), filsafat, geografi, ilmu falak, ilmu tauhid,
sejarah dan pengobatan.
Ia pun sempat mendalami ilmu-ilmu batin
seperti ilmu tasawwuf dan tarekat. Dalam laman www.ddii.acehprov.go.id
disebutkan, Abdul Rauf lalu menjadi ahli (pakar) dalam ilmu-ilmu
tersebut.
Di bidang keagamaan Abdul Rauf pertama
kali belajar pada ayahnya, Syehk Ali Fansuri yang bersaudara dengan
Syekh Hamzah Fansuri. Menginjak remaja Abdul Rauf menimba ilmu di Timur
Tengah.
Berawal dari melaksanaan ibadah haji, ia
lalu menetap selama 19 tahun di Timur Tengah. Nenek moyang Al-Singkili
dipercaya berasal dari Persia (Iran) dan datang ke Kesultanan Samudera
Pasai pada akhir abad ke-13. Mereka kemudian menetap di Fansur (Barus),
kota pelabuhan yang penting di pantai Sumatera Barat.
Tidak hanya di Makkah, ia juga
mempelajari ilmu agama dan tasawuf di Kota Madinah, di bawah bimbingan
guru-guru terkenal. Di Madinah ini pula Abdul Rauf berkesempatan berguru
pada khalifah (pengganti) dari tarekat Syattariyah bernama Ahmad
Kusyasyi dan juga Maula Ibrahim.
Hal ini terungkap dalam kata penutup
salah satu karya tasawuf yang menyebutkan guru dan tradisi pengajaran
yang diterimanya. Karya tasawufnya ini juga menjadi model pewarisan
sufisme di dunia sufi Melayu.
Dalam laman www.melayuonline.com
disebutkan bahwa Abdul Rauf juga berguru di beberapa kota di Timur
Tengah meliputi kota-kota di Yaman, Doha di Qatar hingga Kota Lohor di
India. Disebutkan pula, Abdur Rauf mengamalkan 11 tarekat, di antaranya
Syattariyah, Kadiriyah, Kubrawiyah, Suhrawardiyah, dan Naqsyabandiyah.
Ajaran tasawuf pada banyak karya Abdul
Rauf menekankan transendensi Tuhan di atas makhluk ciptaan-Nya. Di mana
ia menolak pandangan wujudiyyah, yang menekankan imanensi Tuhan dalam
makhluk ciptaan-Nya.
Dalam karyanya yang berjudul Kifayat Al-Muhtajin,
ia berpendapat bahwa Tuhan menciptakan alam semesta. Makhluk
ciptaan-Nya sebagai wujud yang mutlak tetap berbeda dari Tuhan.
"Diumpamakan dengan tangan dan bayangan, walau tangan sulit dipisahkan
dengan bayangan, bayangan bukan tangan yang sebenarnya," jelas dia.
Secara umum dan mudah dipahami bahwa
Abdul Rauf ingin mengajarkan tentang harmoni antara syariat dan sufisme.
Keduanya harus bekerja sama. Hanya melalui kepatuhan pada syariat maka
seorang yang berada di jalan sufi bisa menemukan hakikat kehidupannya.
Pandangan ini berseberangan dengan
pendekatan Nuruddin Al-Raniri. Namun, ia cenderung memilih jalan damai
dan sejuk untuk berinteraksi dengan aliran wujudiyyah. Ia tak secara
terbuka menyatakan menentang pandangan-pandangan lain. Jalan damai ini
lantas mengurangi pertentangan dalam Islam akibat tafsir yang kurang
tepat.
Sejalan dengan kepatuhan total pada
syariat, Abdul Rauf berpendapat bahwa dzikir penting bagi orang yang
menempuh jalan tasawuf, seperti terkandung dalam karyanya bertajuk Umdat Al-Muhtajin ila Suluk Maslak Al-Mufradin, di mana dasar dari tasawuf adalah dzikir yang berfungsi mendisiplinkan kerohanian Islam.
Dalam berdzikir ada dua metode yang
diajarkannya, yaitu dzikir keras dan dzikir pelan. Dzikir keras seperti
pengucapan "La ilaha illa Allah" sebagai penegasan akan keesaan Sang
Pencipta. Dzikir menurut dia bukanlah membayangkan kehadiran gambar
Tuhan melainkan melatih untuk memusatkan diri.
Di samping itu, Abdul Rauf berpandangan
bahwa tauhid menjadi pusat dari ajaran tasawuf. Pandangan-pandangan
dasar Abdul Rauf tentang tasawuf ini tertera dalam kitab Tanbih Al-Masyi.
La ilaha illa Allah menurut dia, memiliki empat tingkatan tauhid:
penegasan, pengesahan ketuhanan Allah, mengesahkan sifat Allah dan
mengesahkan dzat Tuhan.
Abdul Rauf sebelumnya sudah mendapatkan
ajaran tentang ilmu tasawuf tentang tarekat Syattariyyah dan tarekat
Qadiriyyah. Sampai akhirnya ia diberi ijazah dalam dua tarekat tersebut.
Karena itu, ia mendapat gelaran "Syekh" yang artinya pemimpin tarekat.
Dalam mempelajari tarekat ini Abdul Rauf juga belajar kepada dua orang
guru India yang berada di Tanah Arab; Syekh Badruddin Lahori dan Syekh
Abdullah Lahori.
Di bidang syariat, Abdul Rauf menyusun sebuah kitab yang lengkap membahas perkara syariat.
Hasil pemikirannya tentang hal-hal yang
terkait permasalahan kehidupan sehari-hari terangkum dalam kitab
berbahasa melayu dengan judul Mirat Al-Turab fi Tashil Ma‘rifah Al-Ahkam Al-Syar'iyyah li Al-Malik Al-Wahab (Cermin Para Penuntut Ilmu untuk Memudahkan Tahu Hukum-hukum Syara' dari Tuhan).
Dengan segala pengetahuan dan
pemahamannya, Abdul memilih tak membahas tentang tata cara ibadah,
melainkan menuliskan pandangannya terhadap hukum atau tata cara yang
aplikatif dalam menjalani kehidupan sehari-hari berdasarkan Alquran.
Dalam kitab Mirat Al-Turab dibahas tiga
hal utama, yaitu hukum perdagangan dan undang-undang sipil atau
kewarganegaraan, hukum perkawinan, dan hukum tentang jinayat atau
kejahatan.
Hukum perdagangan dan UU sipil mencakup
urusan jual beli, hukum riba, kemitraan dalam berdagang, perdagangan
buah-buahan, sayuran, utang-piutang, hak milik atau harta anak kecil,
sewa menyewa, wakaf, hukum barang hilang dan lainnya.
Di bidang hukum perkawinan dibahas
tentang nikah, wali, upacara perkawinan, hukum talak, rujuk, fasah dan
nafkah. Sedang hukum jinayat membahas tentang hukuman pemberontakan,
perampokan, pencurian, perbuatan zina dan hukum membunuh.
Dalam bidang tafsir Abdul Rauf menghasilkan karya berjudul Tarjuman Al-Mustafid. Sebuah karya terjemahan Alquran dalam bahasa Melayu dari kitab tafsir yang lain, atau disebut Tafsir Al-Jalalain.
Sampai akhir hayatnya, ia belum sempat
menyelesaikan tafsir ini sehingga karya ini lalu diselesaikan oleh
muridnya, Daud Rumi, dan beberapa pengarang lainnya.
Merintis tafsir Alquran dalam bahasa Melayu
Seperti tertulis dalam laman
www.psq.or.id, disebutkan bahwa hampir semua pengkaji sejarah Alquran
dan tafsir di Indonesia sepakat menjadikan Abdul Rauf Al-Singkili
sebagai perintis pertama tafsir di Indonesia, bahkan di dunia Melayu.
Tafsir yang bernama Tarjuman Al-Mustafid
ini sangat diterima dan mendapat tempat di kalangan umat Muslim. Tidak
hanya di Indonesia, tafsir ini pernah diterbitkan di Singapura, Penang,
Bombay, Istanbul, Kairo dan Makkah.
Dua pendapat besar dilontarkan para ahli tentang tafsir ini. Pertama, terjemahan tersebut lebih mirip sebagai terjemahan Tafsir Al-Baidhawi, yang juga mencakup terjemahan Tafsir Jalalain. Dan tafsir tersebut mengambil sumber dari berbagai karya tafsir berbahasa Arab.
Kedua, Tarjuman Al-Mustafid adalah
terjemahan Tafsir Jalalain. Dan hanya pada bagian tertentu saja tafsir
tersebut memanfaatkan Tafsir Al-Baidhawi dan Tafsir Al-Khazin. Lebih khusus disebutkan karya Syekh Abdul Rauf ini sebagai saduran daripada sebagai terjemahan.
Metodologi tafsir yang digunakan Abdul
Rauf dinilai sangat sederhana. Tafsir Al-Jalalain yang dikenal sangat
ringkas dan padat di tangan Abdul Rauf diterjemahkan menjadi lebih
ringkas. Ia menerjemahkan kata per kata tanpa menambahkan
pemahaman-pemahamannya sendiri. Penjelasan yang tidak perlu pada Tafsir
Al-Jalalain ditinggalkannya.
Waktu tepat kapan tafsir ini disusun
tidak pernah diketahui, karena Abdul Rauf tidak pernah menulis angka
tahun. Namun, rintisan tafsir ini diabadikan oleh seluruh pencinta
tafsir Alquran di Tanah Melayu, dengan menjadikan Tafsir Jalalain
sebagai tafsir standar atau tafsir pemula yang dipelajari di hampir
seluruh pesantren di Nusantara./ROL
Tidak ada komentar:
Posting Komentar