Judul buku itu adalah Non Violent Soldier of Islam. Judul yang menyiratkan sebuah kenyataan getir bahwa seolah predikat "Non Violent" adalah berita besar kalau terkait dengan Islam. Buku yang saya dapat dari dosen saya ketika berkuliah di Kanada itu mengisahkan tentang sosok luar biasa asal India/Pakistan, Badshah Khan. Disayangkan, memang, di tengah hiruk pikuk gerakan Ahimsa yang dipilih Gandhi dan dikenal luas di dunia, nyaris tidak banyak yang diketahui orang tentang Badshah Khan.
Siapa sebenarnya Badshah Khan? Pria tinggi besar menjulang ini terlahir dari kalangan suku Pashtun, sebuah suku di perbatasan Afghanistan dan Pakistan yang terkenal gemar berperang. Mata dibalas mata seakan melengkapi rumus balas dendam turun temurun di antara suku Pashtun, atau Pashto. Jika nama Pashtun dan Badshah Khan relatif tidak dikenal, tetapi nama Taliban pastilah familiar. Hakikatnya Taliban juga berasal dari suku yang sama.
Namun Badshah Khan adalah sebuah anomali. Ke dalam suku yang memiliki karakter keras dan tak segan membalas dendam ini Khan malah memperkenalkan gagasan perdamaian dan antikekerasan. Bahkan, Khan dan Gandhi adalah kawan sejalan yang sama-sama berjuang untuk kaumnya, untuk kemerdekaan negaranya dari penjajahan kolonial Inggris ketika itu. India belum lagi lahir sebagai sebuah negara.
Di antara gagasan Khan yang luar biasa sekaligus dianggap tidak masuk akal oleh banyak orang di sukunya pada saat itu adalah pembentukan Khudai Khidmat Gar--Pasukan Pelayan Tuhan. Sekelompok orang yang dibentuk bukan untuk berperang bahkan ketika terpaksa harus berhadapan langsung dengan pasukan Inggris, mereka tidak boleh menyandang sebilah senjata pun! Orang-orang gila, begitu komentar banyak orang ketika itu.
Namun memang itulah prinsip Khan yang tidak segera dipahami orang: kekerasan hanya akan menghasilkan kekerasan yang sama. Jadi, dengan cara bagaimana Inggris bisa dihalau jika bukan melalui angkat senjata seperti perjuangan kemerdekaan yang terjadi di banyak tempat? Gerakan tanpa kekerasan adalah satu-satunya jawaban. Prinsip ini sejalan dengan Gandhi yang mempromosikan Ahimsa untuk menghentikan aksi brutal pemerintah kolonial Inggris.
Pelan-pelan gagasan yang semula tampak aneh ini malah mulai menunjukkan hasil. Menghadapi orang-orang yang tidak mau membalas dan mengangkat senjata rupanya membingungkan pihak penjajah. Tentu saja banyak korban jatuh di pihak Khan dengan Khudai Khidmat Gar-nya. Namun, sehebat apa pun tekanan yang diterima, tak satu pun dibalas kembali dengan penyerbuan dan pengerahan pasukan besar-besaran. Seiring waktu Inggris pun mundur dari negeri sari. Kelembutan ternyata memenangkan pertempuran.
Namun, konflik tidak lalu mereda. Daratan besar di Asia Selatan yang luas itu tercabik-cabik di antara kepentingan agama. Peristiwa yang terkenal dengan Partition ini menimbulkan luka sejarah yang luar biasa besar. Migrasi penduduk yang semula bersatu di bawah penjajahan Inggris tercerai-berai di antara kepentingan politik dan pada akhirnya membagi wilayah berdasarkan agama. Umat Hindu membentuk negara India, dan Muslim India pindah ke wilayah di seberangnya dan lalu mendirikan Pakistan.
Bagaimana nasib Gandhi dan Khan? Sesungguhnya kedua tokoh luar biasa yang dengan gerakannya berhasil mengusir koloni penjajah yang bersumpah setia kepada Ratu Inggris ini akhirnya menderita didera kepicikan berpikir kaumnya sendiri. Gandhi tewas oleh pengikut ekstremis Hindu yang tidak sepakat dengan Ahimsa-nya, sementara Khan dipenjarakan oleh para pemimpin Pakistan, republik baru yang ikut dia dirikan dengan menyumbangkan gagasan tanpa kekerasan.
Perjuangan Khan memberi mata baru bagi saya bahwa dunia ini seringkali memang membutuhkan orang-orang gila. Orang-orang dengan gagasan radikal tapi membumi–dapat dipraktikkan. Khan mengajarkan kita dan dengan sangat sukses memberikan contoh bahwa kelembutan mengatasi kekasaran dan kekerasan. Dalam kung fu, ilmu Tai-Chi yang berurat berakar pada gerakan-gerakan yang lembut terbukti mampu menghadapi jurus-jurus keras.
Sebagai seorang Muslim saya sering kali tidak paham dengan banyak pihak lainnya yang mengaku Islam tapi malah berbuat onar bahkan melukai kemanusiaan. Islam sangat menjunjung tinggi martabat manusia dan bahkan penghilangan jiwa itu termasuk dosa kemanusiaan yang luar biasa besar: terhadap siapa pun dan pengikut keyakinan mana pun! Jadi, atas dasar apa tindakan kekerasan itu dilakukan?
Dalam perjalanan pulang ke tanah air saya bertemu seorang mahasiswa teologi yang kuliah di salah satu universitas swasta di Yogyakarta. Bersama kami berdiskusi bahwa yang diperlukan umat beriman saat ini bukanlah lagi soal dominasi-subordinasi. Bukanlah bahwa agama yang satu lebih baik dibandingkan yang lain. Doktrin ini harus secara sadar kita kesampingkan agar bisa bersama-sama mewujudkan gagasan kemanusiaan yang universal. Bukankah sebenarnya hidup yang teramat singkat ini akan lebih baik diisi dengan kenikmatan persaudaraan, kasih sayang dan kerukunan? Sebagaimana pesan Khan, “Dunia saat ini semakin aneh. Anda menyaksikan begitu banyak perusakan dan kekerasan. Sementara kekerasan selalu menciptakan kebencian dan ketakutan. Saya percaya pada perjuangan tanpa kekerasan dan saya katakan bahwa tak akan pernah ada perdamaian serta ketenangan di dunia ini sebelum prinsip non-kekerasan ini terwujud, karena non-kekerasan itulah cinta yang membangkitkan jiwa manusia."
Persis sebagaimana disampaikan Gandhi, jalan non-kekerasan itu bukan salah satu jalan mewujudkan perdamaian, tapi satu-satunya jalan. (***)
Oleh: Salman Faridi,
Alumni Program Master Islamic Studies UIN Sunan Kalijaga-McGill University, Kanada,saat ini adalah CEO Bentang Pustaka Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar