Berikut kami kutipkan Tanya Jawab Masalah Aqidah bersama Al-’Allamah Al-Faqih Al-Habib Zein bin Ibrahim bin Sumaith :
Apakah para nabi hidup dalam kubur mereka?
Para nabi, demikian pula orang-orang
yang mati syahid, hidup dalam kubur mereka dengan kehidupan alam
barzakh. Mereka mengetahui apa yang dikehendaki Allah untuk mereka
ketahui, yang terkait dengan keadaan-keadaan alam ini, Al-Qur’an yang
mulia menegaskan adanya kehidupan orang-orang yang mati syahid di alam
barzakh mereka.
Allah SWT berfirmah, “Dan janganlah kamu
mengatakan orang-orang yang terbunuh di jalan Allah (mereka) telah
mati. Sebenarnya (mereka) hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” – QS
Al- Baqarah (2): 154.
Tidak diragukan bahwa kehidupan para
nabi AS dan orang-orang pilihan yang mewarisi mereka lebih utuh dan
lebih sempuma daripada kehidupan orang- orang yang mati syahid, karena
mereka memiliki tingkatari yang lebih tinggi diban- ding orang-orang
yang mati syahid.
Dalilnya adalah firman Allah SWT, “Maka
mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberi nikmat oleh Allah,
(yaitu) para nabi, para pecinta kebenaran, orang-orang yang mati
syahid, dan orang-orang shalih. Mereka itulah teman yang
sebaik-baiknya.” – QS An-Nisa’ (4): 69.
Apakah adanya kehidupan mereka juga dinyatakan dengan jelas dalam as-sunnah?
Ya, dalam hadjs-hadis sahih dinyatakan
bahwa mereka tetap dalam kondisi hidup dan bahwasanya bumi tidak memakan
jasad mereka. Dari Anas RA, Nabi SAW bersabda, “Pada malam saat aku
mengalamjsra’, aku menemui Musa yang sedang berdiri di atas kubur- nya
di bukit pasir merah.” – Disampaikan oleh Muslim (2385).
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya
di antara hari-hari kalian yang paling utama adalah hari Jum’at. Maka,
perbanyaklah shalawat kepadaku, karena sesungguhnya shalawat kalian
disampaikan kepadaku.”
Para sahabat bertanya, “Bagaimana
shalawat kami disampaikan kepadamu sedang engkau sudah menjadi tulang
belulang?” Maksudnya, sudah usang.
Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah
mengharamkan bagi bumi memakan jasad para nabi.” – Disampaikan oleh Abu
Daud (1047), An-Nasa’i (1374), Ibnu Majah (1085), Ad-Darimi (1572), dan
Ahmad (4: dari hadits Aus bin Aus RA. Isnadnya shahih menurut Al-Allamah Arnauth dalam penjelasannya terhadap Al-Musnad.
Disebutkan pula dalam riwayat bahwa
mereka pun bershalawat dan amal kebajikan mereka tetap berlaku seperti
kehidupan mereka. Di antaranya adalah sabda Nabi SAW, “Para nabi hidup
di kubur mereka, mereka shalat.” Disampaikan oleh Abu Ya’la dalam
kitabnya, Al-Musnad (6:147), dari hadits Anas bin Malik RA. Pentahqiqnya
mengatakan, “Isnadnya shahih.”
Ulama mengatakan, ini tidak bertentangan
dengan ketentuan yang menyatakan bahwa akhirat bukan negeri taklif
(pembebanan) kewajiban tidak pula amal. Namun demikian amal dapat
terjadi tanpa ada pembebanan, tapi hanya untuk dinikmati.
Sebagaimana kehidupan para nabi AS yang
telah dipaparkan di atas juga tidak bertentangan dengan sabda Nabi SAW,
“Tidaklah ada seorang yang memberi salam kepadaku melainkan Allah
merigembalikan ruhku kepadaku hingga aku dapat menjawab salamnya.” –
Disam- paikan oleh Abu Daud (2041), Ahmad (2: 527), dan Baihaqi dalam
Asy-Syu’ab (2: 215) dari hadits Abu Hurairah RA.
Makna pengembalian di sini adalah
pengembalian makna ruh dari segi bahwa Rasulullaji SAW merasakan adanya
salam dari seorang di antara umat beliau yang memberi salam kepada
beliau. Hadits ini mengungkapkan sebagian (dengan lingkup kalimat ruh),
namun yang dimaksud adalah keseluruhan (diri Rasulullah SAW secara
utuh). Dalam hadits ini terdapat kata yang dinisbahkan tapi tidak
disebutkan, yaitu maksudnya: Allah mengembalikan makna ruh atau hal-hal
yang berkaitan dengannya, seperti bicara. Allah lebih mengetahui.
Di antara ulama ada yang mengatakan,
konsekuensi dari pengembalian ini menjadikan ruh Nabi SAW senantiasa
berada dalam tubuh beliau yang mulia, karena di antara makhluk yang ada
tidak lepas dari adanya orang yang bershalawat di antara umat beliau.
Dari Aisyah RA, ia mengatakan, “Aku
masuk rumahku yang di dalamnya Rasulullah SAW dan bapakku (Abu Bakar RA)
dimakamkan. Aku pun meletakkan (menanggalkan) pakaianku. Aku
mengatakan, sesungguhnya dia adalah suamiku dan bapakku.
Begitu Umar dimakamkan bersama mereka,
demi Allah, tidaklah aku masuk melainkan aku dalam keadaan berpakaian
yang tertutup rapat lantaran malu kepada Umar.” – Disampaikan oleh Imam
Ahmad (6: 202) dan Hakim (3:63,4: 8).
Ini menunjukkan bahwa Sayyidatuna Aisyah
RA tidak ragu bahwa Sayyidina Umar melihatnya. Maka dari itu, dia
menjaga diri dengan menutup rapat auratnya jika hendak menemuinya
setelah dimakamkan di rumahnya.
[Disadur dari buku Seribu Satu Jawaban Masalah-Masalah Aqidah Islam karangan Habib Zein bin Ibrahim bin Sumaith]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar