Rasulullah saw. bersabda: apakah kalian tahu apa yang dimaksud dengan
ghibah? Para sahabat menjawab: "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui"
beliau bersabda: "Engkau menyebutkan sesuatu kejelekan yang ada pada
saudaramu" para sahabat berkata:" wahai rasulullah bagaimana jika apa
yang dibicarakan tersebut ada padanya? maka rasulullah saw. bersabda:
"Apabila apa yang ada padanya sesuai dengan apa yang engkau bicarakan
maka engkau telah menggibahnya. Sedangkan apabila apa yang ada padanya
tidak sesuai dengan apa yang engkau katakan maka engkau telah berdusta
atasnya.” (H.R. Muslim/2589, Abu Daud 4874, Tirmidzi 1935)
Makna Ghibah
1. Secara bahasa, merupakan musytaq dari al-ghib,
artinya lawan dari nampak, yaitu segala sesuatu yang tidak diketahui
bagi manusia baik yang bersumber dari hati atau bukan dari hati. Maka
ghibah menurut bahasa ialah membicarakan orang lain tanpa
sepengetahuannya baik isi pembicaraan itu disenanginya ataupun tidak
disenanginya, kebaikan maupun keburukan.
2. Secara definisi ghibah
adalah seorang muslim membicarakan saudaranya sesama muslim tanpa
sepengetahuannya tentang hal-hal keburukannya dan yang tidak disukainya,
baik dengan tulisan maupun lisan, terang-terangan maupun sindiran.
Menurut Ibnu Mas’ud r.a. definisi ghibah adalah
”Ghibah
adalah engkau menyebutkan apa yang kau ketahui pada saudaramu, dan jika
engkau mengatakan apa yang tidak ada pada dirinya berarti itu adalah
kedustaan.”
Bentuk Dan Jenis Ghibah
Beberapa bentuk dan jenis ghibah, di antaranya:
1.
Aib dalam agama. Seperti kata-kata pada sesama muslim: Dia itu fasiq,
atau fajir (suka berbuat dosa), pengkhianat, zhalim, melalaikan shalat,
meremehkan terhadap najis, tidak bersih kalau bersuci, tidak memberikan
zakat pada yang semestinya, suka meng-ghibah, dan sebagainya.
2. Aib
fisik. Seperti kata-katamu pada sesama muslim: Dia itu buta, tuli, bisu,
lidahnya pelat/cadel, pendek, jangkung, hitam, gendut, ceking, dan
sebagainya.
3. Aib duniawi: Seperti kata-katamu pada sesama muslim:
Dia itu kurang ajar, suka meremehkan orang lain, tukang makan, tukang
tidur, banyak omong, sering tidur bukan pada waktunya, duduk bukan pada
tempatnya, dan sebagainya.
4. Aib keluarganya. Seperti kata-katamu pada sesama muslim: Dia itu bapaknya fasik, Cina, tukang batu, dan lain-lain.
5.
Aib karakter. Seperti kata-katamu pada sesama muslim: Dia itu buruk
akhlaqnya, sombong, pendiam, terburu-buru, lemah, lemah hatinya,
sembrono, dan lain-lain.
6. Aib pakaian. Kedodoran bajunya, kepanjangan, ketat, melewati mata kaki, kucel/dekil, dan sebagainya.
7.
Ghibah di kalangan ulama. Seperti kata-katamu pada sesama muslim:
Bagaimana sih kabarnya? (dengan maksud meremehkan), semoga Allah
memperbaikinya, semoga Allah mengampuninya, kita memohon ‘afiah dari
Allah, semoga Allah memaafkan kita karena kurang rasa malu, dan
sebagainya semua kata dan doa yang maksudnya mengecilkan kedudukan orang
lain.
8. Prasangka buruk tanpa alasan. Prasangka buruk merupakan ghibah hati.
9. Mendengar ghibah. Tanpa mengingkari/menegur, dan tidak meninggalkan majelis tersebut.
Hukum Ghibah
”Dan
janganlah sebagian kalian mengghibahi sebagian yang lain. Sukakah salah
seorang dari kalian memakan daging bangkai saudaranya yang telah mati,
pasti kalian membencinya. Maka bertakwalah kalian kepada Allah, sungguh
Allah Maha Menerima Taubat dan Maha Pengasih.”
Ghibah yang Diperbolehkan
Menurut Imam An-Nawawi dalam Al-Adzkar hal-hal yang dibolehkan ghibah itu ada enam;
Pertama
: Pengaduan, maka dibolehkan bagi orang yang teraniaya mengadu kepada
sultan (penguasa) atau hakim dan yang selainnya yang memiliki kekuasaan
dan kemampuan untuk mengadili orang yang menganiaya dirinya. Maka dia
(boleh) berkata : “Si fulan telah menganiaya saya demikian-demikian”.
Kedua
: Minta bantuan untuk mengubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku
kemaksiatan kepada kebenaran. Maka dia (boleh) berkata kepada orang yang
diharapkan kemampuannya bisa menghilangkan kemungkaran: “Si fulan telah
berbuat demikian, maka hentikanlah dia dari perbuatannya itu” dan yang
selainnya.
Ketiga : Meminta fatwa : Misalnya dia berkata kepada
seorang mufti: “Bapakku telah berbuat dzalim padaku, atau saudaraku,
atau suamiku, atau si fulan telah mendzalimiku, apakah dia mendapatkan
hukuman ini? dan bagaimanakah jalan keluar dari hal ini, agar hakku bisa
aku peroleh dan terhindar dari kedzaliman?” dan yang semisalnya. Tetapi
yang yang lebih hati-hati dan lebih baik adalah hendaknya dia berkata
(kepada si mufti): “Bagaimana pendapatmu tentang seseorang atau seorang
suami yang telah melakukan demikian..?” Maka dengan cara ini tujuan bisa
diperoleh tanpa harus menyebutkan orang tertentu, namun menyebutkan
orang tertentu pun boleh sebagaimana dalam hadits Hindun.
Dari
‘Aisyah berkata: Hindun istri Abu Sofyan berkata kepada Nabi saw. :
“Sesungguhnya Abu Sufyan seorang yang kikir dan tidak mempunyai cukup
belanja untukku dan untuk anak-anakku, kecuali jika saya ambil di luar
pengetahuannya”. Nabi saw. berkata: “Ambillah apa yang cukup untukmu dan
untuk anak-anakmu dengan cara yang baik” (jangan terlalu banyak dan
jangan terlalu sedikit).”
Keempat : Memperingatkan kaum muslimin dari kejelekan. Hal ini di antaranya:
Apa
yang telah dilakukan oleh para Ahlul Hadits dengan jarh wa ta’dil.
Mereka berdalil dengan ijma’ akan bolehnya bahkan wajibnya hal ini.
Karena para salaf umat ini senantiasa menjarh orang-orang yang berhak
mendapatkannya dalam rangka untuk menjaga keutuhan syari’at. Seperti
perkataan ahlul hadits: Si fulan pendusta”, “Si fulan lemah hafalannya”,
“Si fulan munkarul hafits”, dan lain-lainnya.
Contoh yang lain yaitu
mengghibahi seseorang ketika musyawarah untuk mencari nasihat. Dan
tidak mengapa dengan menta’yin (menyebutkan dengan jelas) orang yang
dighibahi tersebut. Dalilnya sebagaimana hadits Fatimah.
Fatimah
binti Qois berkata: Saya datang kepada Nabi saw. dan berkata:
“Sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah meminang saya. Maka Nabi saw.
berkata: “Adapun Mu’awiyah maka ia seorang miskin adapun Abul Jahm maka
ia tidak pernah melepaskan tongkatnya dari bahunya.” (Bukhori dan
Muslim). Dan dalam riwayat yang lain di Muslim (no 1480): “Adapun Abul
Jahm maka ia tukang pukul para wanita (istri-istrinya).”
Kelima :
Ghibah dibolehkan kepada seseorang yang terang-terangan menampakkan
kefasikannya atau kebid’ahannya. Seperti orang yang terang-terangan
meminum khamr, mengambil harta manusia dengan dzalim, dan lain
sebagainya. Namun diharamkan menyebutkan aib-aibnya yang lain yang tidak
ia nampakkan, kecuali ada sebab lain yang membolehkannya.
Keenam :
Untuk pengenalan. Jika seseorang terkenal dengan suatu laqob (gelar)
seperti Al-A’masy (si rabun) atau Al-A’aroj (si pincang) atau Al-A’ma
(si buta) dan yang selainnya maka boleh untuk disebutkan. Dan diharamkan
menyebutkannya dalam rangka untuk merendahkan. Adapun jika ada cara
lain untuk untuk mengenali mereka (tanpa harus menyebutkan cacat mereka)
maka cara tersebut lebih baik. (ARR)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar