“Jadi, ada keseimbangan dakwah antara
wa’tashimu dan kalimatun sawa. Inilah salah satu buah manhajnya
Madrasah Hadhramaut, yang dulu pernah ditebar dengan penuh hikmah lewat
dakwah para wali di tanah Jawa, hingga berhasil mengislamkan hampir
seluruh penduduk Nusantara.”
Habib Hamid bin Ja’far lahir di
Bangkalan, Madura, pada 6 Desember 1981 M/11 Shafar 1402 H. Kakeknya,
yaitu Habib Umar, memang lahir di Pontianak, namun kemudian hijrah ke
Madura dan wafat di sana. Sang kakek adalah putra Pangeran Arya, yang
menjadi semacam qadhi di Kesultanan Pontianak. Nama asli Pangeran Arya
adalah Syarif Alwi bin Muhammad Al-Gadri (Tuan Mad Besar) bin Sulthan
Utsman Al-Gadri, sultan Pontianak yang ketiga.
Habib Hamid menjalani pendidikan awalnya
di Madrasah Al-Hamidiyah. Tahun 1992, saat ia memasuki kelas 3
ibtidaiyah, orangtuanya memasukkannya ke Pesantren Sidogiri.
Lulus tsanawiyah, tahun 1999, ia
mendapat tugas mengajar di Pesantren Al-Ihsan, Leces, Probolinggo.
Setelah itu ia mengajar di pesantren asuhan Habib Haidarah Al-Hinduan,
sambil meneruskan pelajarannya kepada sang pengasuh pesantren, hingga
2004.
Sewaktu di Sidogiri, ia sudah aktif
menulis dan berceramah, yaitu lewat Jam’iyyah Al-Muballighin, semacam
lembaga untuk pelatihan para muballigh di Pesantren Sidogiri. Itu
dijalaninya sejak kelas 6 ibtidaiyah. Sedang di tengah-tengah
masyarakat, yakni sewaktu liburan pondok, ia mulai terjun ceramah sejak
usia 16 tahun. Di Madura, saat usia 16 tahun itu, ia sempat membentuk
Forma, Forum Remaja Madura, yang masih eksis hingga sekarang.
Tahun 2004, atas jasa Habib Haidarah Al-Hinduan, gurunya saat di Situbondo, ia pun berangkat ke Hadhramaut.
Sarat Aktivitas
Sesampainya di Hadhramaut, Habib Hamid ditempatkan di furu’ (cabang) Darul Musthafa, kota Syihr.
Belum sampai dua bulan, ia mengajukan
diri untuk diuji pada semua displin mata pelajaran tingkat furu’,
seperti nahwu, fiqih, tauhid. Alhamdulillah, ia lulus dan tak lama
kemudian langsung dipindahkan ke Darul Musthafa, Tarim.
Di Tarim, di tahun kedua ia sudah membaca kitab Minhaj ath-Thalibin,
di bawah bimbingan beberapa guru. Selain guru utamanya, Habib Umar Bin
Hafidz, dan kakaknya, Habib Ali Masyhur Bin Hafidz, juga sejumlah guru
Darul Musthafa lainnya.
Ketika bacaannya pada kitab Minhaj
hampir khatam, yang ia tempuh selama sekitar dua tahun lebih, ia
menikah dengan salah seorang santriwati Daruz Zahra, asuhan Hababah Nur
binti Muhammad Al-Haddar, istri Habib Umar Bin Hafidz.
Setelah menikah, ia pulang ke Indonesia.
Selama di Hadhramaut, Habib Hamid aktif
sebagai aktivis organisasi. Ia menjadi salah seorang ketua HIPMI
(Himpunan Pelajar-Mahasiswa Indonesia) Yaman, yang sekarang berubah nama
menjadi PPI (Persatuan Pelajar Indonesia) Yaman. Ia juga kemudian
menjadi ketua pelajar Indonesia Darul Musthafa, tahun 2006-2007.
Selain tekun dalam mengikuti pelajaran
dan aktif berorganisasi, ia pun meneruskan kesukaannya dalam menulis. Ia
menulis, di antaranya, di An-Nadwah, terbitan HIPMI, dan di Anwar al-Ma’rifah, yang diterbitkan para pelajar Darul Musthafa, saat ia menjadi ketua pelajar Indonesia di Darul Musthafa Yaman.
Bukan hanya mengikuti pelajaran di Darul
Musthafa, ia juga aktif mengikuti pelajaran-pelajaran para ulama
lainnya di Hadhramaut, seperti Habib Hasan Asy-Syathiri, Habib Salim
Asy-Syathiri, Habib Abdullah Bin Syihab, dan Habib Abubakar ‘Adni
Al-Masyhur, yang tinggal di kota ‘Aden.
Dari Habib Abubakar, ia mendapat ijazah.
Ceritanya, suatu saat ia mempunyai sejumlah pertanyaan, khususnya
terkait Madrasah Hadhramaut. Dalam surat itu ia meminta ijazah kepada
Habib Abubakar. Suratnya pun dibalas oleh Habib Abubakar. Dalam surat
itu, Habib Abubakar sekaligus memberikan ijazah kepadanya.
Kalau Habib Abubakar datang ke Tarim, ia
meminta izin kepada Habib Umar untuk mengikuti setiap kegiatan atau
majelis yang diadakan Habib Abubakar secara penuh. Selama ia di
Hadhramaut, Habib Abubakar Al-Masyhur beberapa kali datang ke Tarim, dan
selama di Tarim rata-rata sekitar lima belas hari. Maka, selama sekitar
dua pekan itu ia selalu hadir di majelis-majelis Habib Abubakar,
rauhah, seminar, ceramah, dan sebagainya.
Kegemarannya dalam membaca membuatnya
juga aktif mengikuti pemikiran sejumlah ulama Timur Tengah
non-Hadhramaut lainnya. Selain sangat mengidolakan guru-gurunya saat di
Hadhramaut, ia juga menggandrungi pemikiran-pemikiran Syaikh Muhammad
Sa’id Ramadhan Al-Buthi, Syria, Syaikh Abdullah bin Mahfudz Bin Bayyah,
Mauritania, dan Syaikh Ali Jum’ah, Mesir.
Di matanya, para pemikir Ahlussunnah wal
Jama’ah yang mempunyai sanad mata rantai keilmuan itu memiliki
keselarasan pemikiran dengan ajaran kaum salafush shalih. Selain
mengoleksi kitab-kitab karya mereka, terutama karya Al-Buthi, yang
hampir lengkap ia miliki, ia juga aktif mengikuti pemikiran-pemikiran
mereka hingga sekarang lewat media internet.
Sepulangnya di Indonesia, setahun pertama ia banyak bolak-balik Jakarta-Madura.
Setelah setahun, akhirnya ia memutuskan
tinggal di Jakarta. Istrinya memang berasal dari keluarga Al-Haddad,
Kalibata, Jakarta Selatan.
Di Jakarta, ayah Muhammad dan Umar ini
kemudian mendirikan semacam institusi penelitian, yang ia namakan
“Al-Ghanna Foundation”, yang bergerak di bidang keilmuan, ta’ziyah, dan
dakwah.
Aktivitasnya dalam mengajar saat ini
antara lain membuka majelis mingguan setiap malam Senin di rumahnya. Di
antara kajiannya adalah tentang sirah shahabat, sejarah kehidupan para sahabat Nabi SAW. Di antara kitab yang ia gunakan adalah Tarikh al-Khulafa Ar-Rasyidin,
karya As-Suyuthi. Setiap Rabu pagi ia membuka pelajaran bahasa Arab,
fiqih, akhlaq, dan tafsir, juga di rumahnya. Dua minggu sekali ia
mengajar di Masjid Al-Fudhala’, Tanjung Priok, bergantian setiap
pekannya dengan K.H. Saifuddin Amsir.
Lewat Al-Ghanna pula ia membuat jaringan
satri dan alumni pesantren salaf, misalnya, lewat penulisan buku-buku
atau terjemah kitab-kitab, yang kemudian diterbitkan Nurani Publishing,
yang juga ia dirikan untuk kebutuhan menerbitkan buku-buku keislaman.
Saat ini, ia juga aktif sebagai pembina
keruhanian di Rijalul Anshar, sebuah lembaga otonom di bawah payung
organisasi GP Ansor, organisasi pemuda NU. Selain itu ia pun menjadi
pembina ubudiyah pada perguruan pencak silat Tiga Serangkai, yang
anggotanya kini mencapai puluhan ribu orang, yang tersebar di seluruh
Nusantara.
Madrasah Hadhramaut
Saat berangkat ke Hadhramaut, diakuinya,
itu bukan hanya karena adanya hubungan emosional, lantaran ia berdarah
Hadhramaut. Setidaknya, ada dua alasan hingga ia menempatkan Hadhramaut
sebagai pilihan terbaik.
Pertama, adanya sanad yang dimiliki para ulama Hadhramaut. Sanad ulama Hadhramaut bukan hanya bersifat formal, tapi juga sanad bi ma’nal kalimah,
sanad yang sesungguhnya, lewat pengajaran turun-temurun dari
anak-ayah-kakek dan seterusnya, baik dalam pemikiran, suluk, tarbiyah,
maupun dakwah.
Habib Hamid kemudian melanjutkan, “Kalau
dalam hadits, itu dari segi riwayah. Dari segi dirayah, dan ini alasan
kedua, dalam keilmuan, suluk, dan dakwah, Hadhramaut telah menjawab
semua yang saya butuhkan : pemikiran, ruhiyah, dakwah, dan sebagainya.
Manhaj mereka dapat mengikuti perkembangan zaman, yang dapat diterima
secara sadar oleh akal yang sehat, yang hadir sebagai manhaj yang lurus,
yang menjadi bukti bahwa ini adalah manhaj Nabawi.”
Benar yang dikatakannya. Tokoh-tokoh
utama Hadhramaut yang kini ada di sana memang dapat disaksikan dengan
mata kepala dan mata hati sebagai orang-orang yang kala kita
memandangnya saja dapat mengingatkan kita kepada Allah SWT. Mereka
benar-benar tampil di hadapan kita sebagai sosok-sosok yang memang
berhak untuk kita cintai.
Syuyukh, tuan-tuan guru tanah
Hadhramaut itu, melestarikan manhaj Nabawi dan manhaj para salafush
shalih dalam sebuah tatanan yang dalam istilah yang sering dikatakan
Habib Abubakar Adni Al-Masyhur, “Inilah Madrasah Hadhramaut.” Demikian
Habib Hamid menjelaskan.
Bukan Menjahati Orang-orang Kafir
Sosok-sosok
seperti Habib Umar Bin Hafidz, misalnya, menurut Habib Hamid,
benar-benar hadir di tengah-tengah masyarakat dunia sebagai figur yang
meneladani sosok rahmatan lil ‘alamin, Rasulullah SAW, yang tak lain
datuk mereka sendiri.
Karenanya, Habib Umar Bin Hafidz, dalam salah satu ceramahnya di New York, menyatakan, makna asyidda’u ‘alal kuffar
bukan berarti ketegasan kita dalam menghujat atau menjahati orang-orang
kafir, tetapi kita tegas di depan mereka bahwa kita ini punya prinsip.
Kita tunjukkan kepada mereka, inilah
akhlaq kita, inilah pemikiran kita, inilah jalan kita. Jangan sampai
saat kita berbaur dan bermuamalah dengan mereka kemudian akhlaq kita
meniru mereka. Di sini, tampak bahwa pemahaman beliau jauh dari
pemahaman untuk bersikap frontal.
Itu pula sebabnya, Habib Umar menggagas
sebuah pemikiran, yang kemudian diluncurkan secara institusional lewat
muridnya, Habib Ali Al-Jufri, tentang kalimatun sawa, kesamaan kata atau platform, yaitu antara umat Islam dan Kristen.
Saat ide kalimatun sawa tersebut diluncurkan, tak kurang dari 300 tokoh Kristen dunia mendukungnya secara penuh.
Bagaimanapun, agama Nasrani, awalnya,
diturunkan kepada Nabi Isa AS. Tentu, pasti saja masih terdapat hal-hal
yang sama di antara kedua ajaran agama besar dunia itu. Dan pada hal-hal
tersebut kedua umat beragama ini dapat bergandengan tangan.
Kalau Habib Umar dapat bergandengan
tangan dengan kalangan non-muslim, bagaimana mungkin beliau tidak dapat
bergandengan tangan dengan sesama muslim?
Karenanya, pada saat yang bersamaan, Habib Umar Bin Hafidz juga mengusung ide wa’tashimu
di setiap tempat yang ia singgahi. Wa’tashimu adalah kata-kata yang
dikutip dari sebuah ayat Al-Qur’an yang maknanya “bersatulah kalian”.
Lewat dakwahnya, Habib Umar tak henti
berupaya mempererat ukhuwah sesama umat Islam, terutama di kalangan
ulamanya, sebagai poros dakwah umat. Di Indonesia, kita mengenal Majelis
Muwashalah bayna al-‘Ulama’ wal Muslimin (majelis penghubung antar
sesama ulama dan umat Islam), yang juga didirikan Habib Umar. Institusi
tersebut kini mendapat sambutan hangat hampir seluruh ulama Nusantara.
Sehingga, terhadap perbedaan pendapat
sesama umat Islam, Habib Umar selalu berusaha menyikapinya dengan bijak.
Sarat nuansa rahmatan lil ‘alamin. Terhadap paham-paham umat yang
ekstrem, beliau selalu mengedepankan akhlaqul karimah.
Jadi, ada keseimbangan dakwah antara
wa’tashimu dan kalimatun sawa. Inilah salah satu buah manhaj Madrasah
Hadhramaut, yang dulu pernah ditebar dengan penuh hikmah lewat dakwah
para wali di tanah Jawa, hingga berhasil mengislamkan hampir seluruh
penduduk Nusantara. Mereka, para wali-wali itu, yang juga kaum sadah
‘Alawiyyin, tentunya terlahir pula dari didikan Madrasah Hadhramaut.
Dari sini, kita melihat bahwa Madrasah Hadhramaut, sebagai salah satu
manhaj dakwah, menjadi penting untuk ditekankan setiap insan dakwah di
Nusantara di setiap medan dakwah yang mereka geluti.
Kita, yang Ahlussunnah wal Jama’ah,
harus tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip Ahlussunnah wal
Jama’ah. Kalau pemikiran kita berbenturan di sana-sini dengan kalangan
Wahabi atau Syi’ah, misalnya, sikapi dengan akhlaq yang dicontohkan para
salaf Ahlussunnah wal Jama’ah.
“Orang bilang, Wahabi suka mengkafirkan.
Orang juga bilang, Syi’ah suka mencaci maki. Nah, menolak paham Wahabi
atau Syi’ah, harus dengan cara yang tidak sama dengan cara orang Wahabi
dan Syi’ah itu. Akhlaq yang dicontohkan Rasulullah SAW, yang kemudian
diteladani para ulama salaf Ahlussunnah wal Jama’ah, harus dikedepankan.
Dan ini pula salah satu buah manhaj Madrasah Hadhramaut,” ujarnya
memungkasi wawancara dengan alKisah.
Ismail Yahya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar