Zainab
al-Ghazali adalah wanita luar biasa. Seperti Aisha Abd al-Rahman, tokoh
asal Mesir ini begitu gigih memperjuangkan persamaan hak kaum perempuan
berdasarkan keyakinannya, sesuai doktrin ajaran Islam yang benar. Oleh
karenanya, sejarah mencatat Zainab lebih dikenal sebagai aktivis Islam
ketimbang cendekiawan Islam.
Penjara dan siksaan,
tidak pernah mematahkan tekadnya bahkan membuatnya lebih kuat. Zainab
Al-Ghazali meninggalkan warisan berupa perjuangan membela Islam dan
reputasinya sebagai aktivis perempuan yang tanpa ragu melawan
sekularisme dan liberalisme dan menggantikannya dengan nilai-nilai
Islam.
Saat
menginjak usia remaja, Zainab aktif di organisasi Persatuan Kelompok
Feminis Mesir yang dibentuk oleh Huda Al-Sharawi tahun 1923. Namun tak
lama dia mengundurkan diri dari organisasi itu karena bersebarangan
pendapat mengenai perjuangan menuntut kesetaraan.
Dia
tidak setuju dengan ide-ide sekular tentang gerakan pembebasan
perempuan. Meski demikian, Al-Ghazali tetap menghormati Sharawi dan
menyebutnya sebagai seorang wanita yang memiliki komitmen dan keimanan
yang baik. Saat usianya 18 tahun (1936), dia mendirikan Asosiasi Wanita
Muslim untuk mengorganisasi kegiatan-kegiatan kaum perempuan yang sesuai
norma-norma Islam dan ditujukan untuk kepentingan-kepentingan Islam.
Dia
terlahir di wilayah Al-Bihira, Mesir pada 1917, dan merupakan keturunan
dari kalifah kedua Islam, Umar bin Khattab dan Hasan bin Ali bin Abi
Thalib.
Ketika
masih berusia sangat muda, 10 tahun, Zainab Al-Ghazali telah
memperlihatkan kepandaian dan kelancarannya dalam berbicara di depan
umum. Dan sepanjang hidupnya, dia lantas membentuk dirinya sebagai orang
yang berhasil belajar secara otodidak. Ambisinya yang kuat dan tekadnya
yang membara, membuatnya maju untuk mencapai jenjang pendidikan tinggi,
pada saat kaum wanita pada saat itu jarang yang mengenyam pendidikan
karena dianggap tabu.
Saat
menginjak usia remaja, Zainab aktif di organisasi Persatuan Kelompok
Feminis Mesir yang dibentuk oleh Huda Al-Sharawi tahun 1923. Namun tak
lama dia mengundurkan diri dari organisasi itu karena bersebarangan
pendapat mengenai perjuangan menuntut kesetaraan.
Dia
tidak setuju dengan ide-ide sekular tentang gerakan pembebasan
perempuan. Meski demikian, Al-Ghazali tetap menghormati Sharawi dan
menyebutnya sebagai seorang wanita yang memiliki komitmen dan keimanan
yang baik. Saat usianya 18 tahun (1936), dia mendirikan Asosiasi Wanita
Muslim untuk mengorganisasi kegiatan-kegiatan kaum perempuan yang sesuai
norma-norma Islam dan ditujukan untuk kepentingan-kepentingan Islam.
Zainab
Al-Ghazali selalu berusaha mengedepankan masalah keseimbangan antara
hal-hal yang bersifat religius dan modern. Ia mendapat pendidikan agama
pertama kali dari cendikiawan muslim terkemuka di Al-Azhar, Syeikh Ali
Mahfuz dan Mhammad al-Naggar.
Tidak
lama setelah ia mendirikan Asosiasi Wanita Muslim, Al-Ghazali langsung
melakukan sejumlah aksi dan mendapatkan dukungan dari Menteri Wakaf
untuk mendirikan 15 mesjid dan belasan mesjid lainnya yang dibiayai oleh
masyarakat umum.
Asosiasi
yang didirikannya melahirkan generasi dai-dai wanita yang
mempertahankan status perempuan dalam Islam serta meyakini bahwa agama
mereka memberikan peluang sebesar-besarnya bagi kaum perempuan untuk
memainkan peranan penting di tengah masyarakat, memiliki pekerjaan,
masuk ke dunia politik dan bebas mengeluarkan pendapatnya.
Dalam
sebuah wawancara tahun 1981, dia mengemukakan bahwa Islam telah
memberikan segalanya bagi kaum pria dan wanita. Islam memberikan
kebebasan, hak ekonomi, hak politik, hak sosial, maupun hak pribadi
kepada kaum Muslimah. Islam memberikan kaum wanita hak-hak tertentu di
dalam keluarga yang tidak dimiliki oleh komunitas lain. Para Muslimah
harus mempelajari Islam sehingga mereka mengetahui bahwa Islam telah
memberikan segalanya kepadanya.
Zainab
juga meyakini bahwa Islam tidak pernah melarang kaum wanita untuk
beraktivitas di masyarakat, bekerja mencari nafkah, masuk ke dunia
politik dan mengungkapkan gagasan-gagasannya. Dia percaya Islam
mengizinkan mereka untuk memiliki harta benda, berusaha pada bidang
perekonomian atau apapun kegiatan demi menunjang perkembangan masyarakat
Muslim. Meski begitu, dia berpendapat bahwa tugas utama seorang wanita
adalah menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya dan menjadi istri setiap
bagi suaminya. Jangan ada apapun yang menghalangi kaum wanita untuk
tidak menjalankan tugas yang satu ini.
Al-Ghazali
banyak dipengaruhi oleh pendiri Ihkwanul Muslimin, Syekh Hasan
al-Banna. Ia memegang teguh pandangannya bahwa tidak ada konflik antara
agama dan politik. Al-Ghazali adalah orang yang lantang mempertahankan
syariah dan kerap menghadapi masalah dengan rezim Mesir pada saat itu,
Presiden Gamal Abdul Naser. Dia mengalami hidup yang penuh siksaan dalam
tahanan rezim itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar