.
Bruno Metsu
REPUBLIKA.CO.ID, DOHA--Bruno Lucas Felix Metsu, demikian nama lengkap pemberian orang tuanya. Namun publik sepak bola dunia lebih mengenalnya dengan Bruno Metsu. Namanya makin mencuat setelah ia berhasil membawa tim asuhannya, Senegal, masuk perempatfinal Piala Dunia 2002 silam. Keberhasilan membawa tim nasional sepak bola Senegal hingga ke perempatfinal Piala Dunia 2002 bisa dibilang sebagai prestasi terbesar Metsu sepanjang karirnya di dunia sepak bola.
Lebih dari 30 tahun berkarir, Metsu bukanlah pemain dan pelatih terkenal. Ia pernah bermain di klub papan bawah Prancis dan Belgia seperti Dunkerqe, Nice, Lille dan Anderlecht. Sejak 1988, ia menangani klub kelas dua Prancis, Beauvais, kemudian Lille, Valenciennes, Sedan, dan Valence. Sebelum menangani Senegal, ia sempat menangani negara kecil Afrika, Guinea, selama enam bulan.
Meski sukses melatih timnas Senegal, bukan berarti Metsu tidak menemui hambatan. Pertama kali tiba d Senegal, menurutnya, sama seperti pertama kali menangani klub Sedan. Semua orang menganggapnya sebagai makhluk asing dari luar angkasa. ''Mestinya, sebelum menilai seseorang, beri dia waktu untuk bekerja. Tapi biarlah, toh semua pun kemudian tahu apa yang telah saya perbuat,'' katanya.
Namun, nyatanya dalam waktu singkat Metsu berhasil menggaet simpati para pemain dan official tim Senegal. Bukan dengan pendekatan hirarkis dan militeristik, melainkan dengan pola keterbukaan dan saling menyayangi. Kepada para pemain, berkali-kali ia menegaskan, ''Aku bukan polisi, tapi pelatih. Dan kalian bebas mengekspresikan apa saja.''
Dengan pendekatan itu, Metsu berkeliling ke sejumlah klub papan bawah Prancis, dan berhasil membawa pulang para pemain yang sebelumnya enggan bergabung di tim nasional. Dalam menumbuhkan motivasi, disiplin dan tanggungjawab, dia tidak pernah melepaskan suasana rileks, senda gurau, dan kekeluargaan. Apapun persoalan yang dihadapi, selalu dipecahkan bersama.
Filosofi kepelatihan yang ada dalam diri Metsu sebenarnya kian tumbuh seiring dengan keterpesonaannya terhadap benua Afrika. Pria yang lahir di Coudekerque-Village, Prancis, pada 28 Januari 1954 ini sangat mengagumi budaya Afrika. ''Ada suatu misteri, nilai-nilai kemanusiaan, solidaritas, persahabatan, sesuatu yang sudha hilang di Eropa,'' katanya.
Di Afrika, menurutnya, pintu selalu terbuka. Di Eropa, pemain hanya akan mendatangi pelatih saat punya masalah. Sementara di Afrika, mereka akan mendatanginya kapan pun, untuk menyaksikan bagaimana sang pelatih bekerja. Pesona Afrika itu sangat menyetuh Metsu. ''Aku ini kulit putih berhati negro,'' tukasnya bangga.
Boleh jadi, sentuhan nilai-nilai Afrika ini pula yang membuatnya memeluk Islam pada 24 Maret 2002 silam. Asal tahu saja, lebih dari 90 persen penduduk Senegal adalah pemeluk Islam. Setelah masuk Islam, ia kemudian mengganti namanya dengan Abdul Karim.
Abdul Karim sendiri memang tak pernah mengungkapkan alasannya memeluk Islam. Baginya, agama adalah masalah privasi. Dia tak ingin mengumbar privasinya di depan publik.
Kini, ia hidup tenteram bersama istrinya, seorang perempuan Senegal bernama Rokhaya Daba Ndiaye. Mereka menikah dengan uang tunai 6 ribu euro sebagai mas kawin.
Rokhaya, bersama isteri para pemain Senegal, selalu setia memberi semangat pada tim nasional setiap kali mereka bertanding. Seperti pada ajang Piala Dunia 2002 di Korea Selatan dan Jepang. Tidak seperti pelatih tim negara lain yang melarang para pemainnya untuk mengajak serta para istri mereka, Abdul Karim justru menempatkan para istri dari skuad tim nasional Senegal dalam satu hotel yang sama dimana mereka menginap selama perhelatan Piala Dunia 2002.
Usai mengukir prestasi di Piala Dunia 2002, sejumlah klub dan negara berebut meminangnya. Kini ia dipercaya oleh Federasi Sepak Bola Qatar (QFF) untuk melatih tim nasional Qatar hingga 2014 mendatang. Dengan capaian prestasi yang pernah ia torehkan saat mengarsiteki tim nasional Senegal, tak mengherankan jika publik Qatar menaruh harapan besar pada diri Abdul Karim untuk mewujudkan impian lolos ke putaran final Piala Dunia 2014 di Brasil.
Lebih dari 30 tahun berkarir, Metsu bukanlah pemain dan pelatih terkenal. Ia pernah bermain di klub papan bawah Prancis dan Belgia seperti Dunkerqe, Nice, Lille dan Anderlecht. Sejak 1988, ia menangani klub kelas dua Prancis, Beauvais, kemudian Lille, Valenciennes, Sedan, dan Valence. Sebelum menangani Senegal, ia sempat menangani negara kecil Afrika, Guinea, selama enam bulan.
Meski sukses melatih timnas Senegal, bukan berarti Metsu tidak menemui hambatan. Pertama kali tiba d Senegal, menurutnya, sama seperti pertama kali menangani klub Sedan. Semua orang menganggapnya sebagai makhluk asing dari luar angkasa. ''Mestinya, sebelum menilai seseorang, beri dia waktu untuk bekerja. Tapi biarlah, toh semua pun kemudian tahu apa yang telah saya perbuat,'' katanya.
Namun, nyatanya dalam waktu singkat Metsu berhasil menggaet simpati para pemain dan official tim Senegal. Bukan dengan pendekatan hirarkis dan militeristik, melainkan dengan pola keterbukaan dan saling menyayangi. Kepada para pemain, berkali-kali ia menegaskan, ''Aku bukan polisi, tapi pelatih. Dan kalian bebas mengekspresikan apa saja.''
Dengan pendekatan itu, Metsu berkeliling ke sejumlah klub papan bawah Prancis, dan berhasil membawa pulang para pemain yang sebelumnya enggan bergabung di tim nasional. Dalam menumbuhkan motivasi, disiplin dan tanggungjawab, dia tidak pernah melepaskan suasana rileks, senda gurau, dan kekeluargaan. Apapun persoalan yang dihadapi, selalu dipecahkan bersama.
Filosofi kepelatihan yang ada dalam diri Metsu sebenarnya kian tumbuh seiring dengan keterpesonaannya terhadap benua Afrika. Pria yang lahir di Coudekerque-Village, Prancis, pada 28 Januari 1954 ini sangat mengagumi budaya Afrika. ''Ada suatu misteri, nilai-nilai kemanusiaan, solidaritas, persahabatan, sesuatu yang sudha hilang di Eropa,'' katanya.
Di Afrika, menurutnya, pintu selalu terbuka. Di Eropa, pemain hanya akan mendatangi pelatih saat punya masalah. Sementara di Afrika, mereka akan mendatanginya kapan pun, untuk menyaksikan bagaimana sang pelatih bekerja. Pesona Afrika itu sangat menyetuh Metsu. ''Aku ini kulit putih berhati negro,'' tukasnya bangga.
Boleh jadi, sentuhan nilai-nilai Afrika ini pula yang membuatnya memeluk Islam pada 24 Maret 2002 silam. Asal tahu saja, lebih dari 90 persen penduduk Senegal adalah pemeluk Islam. Setelah masuk Islam, ia kemudian mengganti namanya dengan Abdul Karim.
Abdul Karim sendiri memang tak pernah mengungkapkan alasannya memeluk Islam. Baginya, agama adalah masalah privasi. Dia tak ingin mengumbar privasinya di depan publik.
Kini, ia hidup tenteram bersama istrinya, seorang perempuan Senegal bernama Rokhaya Daba Ndiaye. Mereka menikah dengan uang tunai 6 ribu euro sebagai mas kawin.
Rokhaya, bersama isteri para pemain Senegal, selalu setia memberi semangat pada tim nasional setiap kali mereka bertanding. Seperti pada ajang Piala Dunia 2002 di Korea Selatan dan Jepang. Tidak seperti pelatih tim negara lain yang melarang para pemainnya untuk mengajak serta para istri mereka, Abdul Karim justru menempatkan para istri dari skuad tim nasional Senegal dalam satu hotel yang sama dimana mereka menginap selama perhelatan Piala Dunia 2002.
Usai mengukir prestasi di Piala Dunia 2002, sejumlah klub dan negara berebut meminangnya. Kini ia dipercaya oleh Federasi Sepak Bola Qatar (QFF) untuk melatih tim nasional Qatar hingga 2014 mendatang. Dengan capaian prestasi yang pernah ia torehkan saat mengarsiteki tim nasional Senegal, tak mengherankan jika publik Qatar menaruh harapan besar pada diri Abdul Karim untuk mewujudkan impian lolos ke putaran final Piala Dunia 2014 di Brasil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar