Sabtu, 10 Oktober 2009

Hanya Ingin Jadi Orang Baik

Hanya Ingin Jadi Orang Baik

eramuslim - Hari ini aku lelah fisik dan batin. Seharian tadi aku melangkahkan kaki untuk mencari barisan kata penyampai fakta. Tak mudah. Aku harus berlari, berkejaran dengan waktu dan debu. Aku harus berlomba, beradu dengan manusia, sekedar untuk mendapat rangkaian kalimat yang keluar dari mulut sang pejabat. Sekedar meminta ucapan dari sekumpulan orang yang mengaku orang baik. Padahal, sejarah memaparkan, sebagian mereka adalah pembual. Pembual besar.

Kadang aku harus sedikit merayu dan memaksa. Bukan apa-apa, tanpa rayu dan paksaan, ada narasumberku yang enggan membuka mulutnya. Padahal dari kalimatnya lah aku mendapat upah. Padahal dari ceritanya lah aku mendapat penghargaan. Sekedar ucapan, “berita kamu bagus.”

Tak jarang aku harus berpura-pura iba, mengumbar senyum dan seolah ikut merasai mereka yang memikul duka. Padahal kutahu luka mereka bukan sembarang luka. Luka mereka adalah luka teramat dalam yang tak akan pernah hilang. Luka yang tak pernah kering oleh panasnya matahari. Luka yang tak pernah bisa diterbangkan oleh angin.

Namun aku malah memaksanya kembali mengingat dan memaparkan lukanya. Tanpa hatiku memaknai, merasakan lukanya. Tanpa tanganku menawarkan, melingkarkan sebuah pelukan, memberikan sedikit rasa nyaman. Lagi-lagi demi sebuah pujian, demi sebuah kekaguman.

Pernah aku dihadapkan pada pilihan. Saat aku harus memutuskan satu saja dari dua. Saat kulihat luka menganga disekitarku, aku harus memilih. Mencoba mengobati luka mereka sesegera atau mendahulukan membuat cerita dari luka itu. Dan aku memilih mendapat acungan jempol, karena cerita ku memampangkan luka itu.

Seringkali aku memaksa membuka memori mereka. Kenangan yang tak ingin dibuka. Dan aku memaksanya membuka atau memaksaku membukanya. Tanpa seijin pemiliknya, tanpa merasai akibatnya. Dan itu demi sebuah cerita. Cerita yang membuatku dikejar kalimat berbunga.

Waktu lalu, aku juga pernah menjual kata-kata manis. Seolah aku adalah peri yang bisa membantu si kecil. Padahal tak lain itu adalah bagian dari strategi. Berpura-pura simpati. Kepura-puraan untuk mulusnya penyusunan sebuah kisah. Kisah sejati dan mengharukan. Demi tetesan air mata pendengar cerita. Indikator keberhasilan penyajian cerita duka.

Pernah aku menatap bencana dengan datar. Karena itu bukan bencanaku. Bencana itu milik tokoh dalam kisahku. Aku hanya sekedar menyampaikan bencana itu dengan kata-kata haru. Tambahan pemanis disana-sini. Menuntun si tokoh untuk berekspresi sesuai dengan skenarioku.

Seolah itu adalah fiksi, bukan nyata. Tak perlu dimaknai, tak perlu dihargai. Hanya dibungkus. Untuk santapan mata dan kuping sekumpulan orang yang dinamakan penonton. Penonton cerita. Makin banyak mereka, makin baguslah aku.

Tapi, hari ini aku lelah.

Hari ini, aku tiba-tiba saja ingin merenung. Merenungi makna hidupku, merasai peranku dalam perjalanan sang waktu. Kali ini aku merasa tak lagi berhati. Kali ini di kepalaku hanya ada obsesi. Obsesi dihargai manusia dan diimbali deretan angka di rekeningku setiap bulan berganti.

Hari ini aku hanya ingin mengingat. Merindui masa saat aku bercita sederhana. Menjadi orang baik. Orang yang memberi arti bagi orang lain. Tak pernah melukai, meski setitik. Tak pernah menyakiti, meski senoktah.

Padahal aku tak pernah ingin berpura-pura dalam hidupku. Aku ingin menjadi aku. Dengan idealismeku dulu. Menyampaikan apa yang perlu kusampaikan. Tak perlu menyampaikan kepalsuan. Aku ingin menyampaikan kebenaran. Jika kepalsuan itu harus disampaikan, semata untuk membuat si palsu terkuak. Aku ingin menjadi orang baik.

Padahal aku ingin, dengan peranku aku memberi secercah harap. Seberkas asa. Bagi mereka, Tuhan. Mereka yang dihempas duka, mereka yang terluka, mereka yang menahan jerit. Meski sekedar uluran tangan. Pelukan seorang saudara. Sekedar menenangkan. Meski hanya sementara. Menjadi orang baik.

Padahal, dengan peranku, aku bisa tulus berbagi dengan mereka. Membiarkan mereka membagi luka, memberi sedikit kehangatan. Dengan ikhlasku, dengan kerelaanku. Sebagai saudara, sebagai teman, sebagai tempat berbagi. Menjadi orang baik.

Padahal dengan peranku, aku tak usah berpura-pura. Aku bisa lebih memaknai senyumku untuk menghadiahkan sedikit bahagia dihati mereka. Dengan simpati yang tak lagi palsu. Sebenar-benarnya simpati.

Padahal dengan peranku, dengan kelurusan niatku, aku ingin membuat cerita-ceritaku bermakna. Membuat kisah-kisah dari tanganku dapat merubah dunia. Membuat manusia lain lebih merasa dan berterimakasih atas takdir mereka yang lebih. Membuat mereka berlomba menjadi orang baik.

Padahal dengan peranku, aku bisa mengungkap dusta dan mengusir si durjana. Dengan keteguhan dan keberanianku, aku bisa menghapus kotoran-kotoran dunia. Menuntut mereka untuk menjadi orang baik.

Wahai Penguasa Dunia, Penguasa Diriku…..

Ampuni aku yang telah menutup hati dan mengebalkan rasa. Ampuni aku yang tidak memaknai peranku. Aku mencintai peranku, Yang Maha Perkasa. Aku ingin lelah fisik dan batinku memberi arti, hanya bagiMu, Penulis Skenario sesungguhnya, bukan sekedar kekaguman para ciptaanmu.

Penguasaku, luruskan langkahku. Untuk menjadi ciptaanmu yang tak sia-sia. Yang tak terlupa oleh kecantikan fana. Yang tak membuat peranku, amanahMu, mengantarku pada amarahMu. Yang selalu diingatkan untuk menjadi orang baik. Seperti cita sederhanaku dulu.

Raja Dunia, tetapkan niatku untuk memaknai setiap detik peranku. Merasainya, menikmatinya, mensyukurinya sebagai sebuah kepercayaan-Mu padaku. Kuatkan aku untuk melangkahkan kakiku dan menghargai keringatku dengan harapan hanya balasan-Mu. Menjadi orang baik.

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah padaKu.” (Adz Dzariyaat:56)

kunci menggapai kemuliaan

Manusia yang mulia adalah yang menyadari dengan sepenuh hati bahwa ia
hanyalah hamba, benar-benar hamba, dalam pengertian hamba yang
sebenar-benarnya, baik secara teori maupun pengejawantahannya. Segala yang
ada, segala yang ada ditangannya, segala atribut yang disandangnya, semua
adalah milik Allah. Pun dirinya sendiri, jasadnya, jiwanya, segala
pembentuk diri ini adalah milik Allah. Semua milik Allah, maka
dileburkannya dirinya ke dalam qudrah kekuasaan Allah. Ia tidak banyak
angan-angan, ia tidak banyak memikirkan secara berlebihan tentang hari
esok, tentang bayangan dirinya esok hari. Ia hanya berfikir bagaimana
memberikan yang terbaik bagi kehidupan ini, semata-mata mengharap cinta
kasih-Nya, keridlaan-Nya, dan lebih dari itu karena mencintai Allah,
terpesona kepada keindahan Allah, mabuk kepayang dengan "kecantikan"
Allah. Di atas muka bumi ini, di dunia ini, ia serahkan semua perannya
kepada Allah. Mau jadi apa silahkan, terserah Allah. Ia siap menjalankan
segala perannya. Jadi apapun ia besok, terserah Allah. Ia hanya bisa
merencanakan, mengekspresikan apa yang diinginkannya, tetapi keinginannya
telah berlebur dengan keinginan Allah, dalam irodah Allah. Kalau ternyata
keinginannya tidak sama dengan keinginan Allah, ternyata apa yang
diharapkannya esok hari tidak terjadi, malah yang terjadi adalah
sebaliknya, malah yang terjadi adalah sesuatu yang sebelumnya tidak
kehendakinya, maka kita tetap ikhlas. Kita menerima semuanya dengan senyum
yang mengembang. Tidak ada yang buruk dengan apa yang terjadi. Yang buruk
adalah ketika kita mangkel, protes, berkeluh kesah atas ketentuan-Nya.
Sedang yang baik, yang mulia, yang tinggi derajatnya, yang memuncak
maqom-nya, adalah mereka yang ikhlas, yang bersyukur dikala susah maupun
senang, senang dalam kesusahan, senang dan bahagia dengan segala kehendak
Allah. Hidupnya hanya untuk Allah. Allahlah tujuan hidup, sebaik-baik
tujuan hidup. Sedang segalanya adalah wasilah, alat, sarana, bekal, modal
untuk mencapai tujuan hakiki, mencapai Allah.


Didik Anak Mencintai Al-Qur'an

alhikmah.com - Usia anak pra sekolah, diyakini banyak pihak sebagai masa emas,gold age. Masa paling baik untuk menampung dan menghafalkan sesuatu. Pada masa ini anak menyerap segala informasi yang ada. Ibarat spons menyerap semua air , tak peduli apakah itu air bersih atau air kotor. Daya hafal dan penalarannya berbanding terbalik. Daya hafalnya akan semakin berkurang sesuai dengan pertumbuhan usianya. Sebaliknya penalarannya semakin bertambah.

Orang tua muslim yang cerdas akan memanfaatkan masa ini dengan sebaik-baiknya.Dapat memilih sesuatu yang menjadi prioritas untuk dihafal oleh anak. Sering kita dengar sebagian orang tua yang memaksa anaknya untuk menghafal sesuatu yang kurang berguna. Misalnya nama-nama pahlawan, jenis-jenis musik, nama-nama artis. Sebenarnya semuanya bisa berkembang dan berubah sesuai dengan perkembangan masa. Pada satu sisi, kita mungkin bangga jika anak bisa menyebutkan nama-nama tersebut dengan tangkas. Tetapi sadarkah kita bahwa itu sama saja kita memfungsikan memori anak dengan "sampah" yang sama sekali tidak diperlukan bagi kehidupannya mendatang.

Orang tua perlu memperhatikan perbedaan kemampuan individual anak. Daya hafal tiap anak berbeda-beda. Tak perlu panik bila kita dapati anak kita tak sehebat anak tetangga. Tetapi perlu usaha dari orang tua dengan cara yang baik dan penuh kasih sayang. Dalam dunia pendidikan, teori conditioning mengatakan, seorang anak akan belajar dengan mudah bila dalam situasi yang menyenangkan, dan itu akan lebih berkesan dalam hidupnya. Segala permasalahan anak perlu disikapi dengan bijaksana.

Pada kenyataannya hafalan adalah suatu beban yang harus dipikul. Karena itu sebaik-baik beban adalah yang memang diperlukan sebagai bekal dimasa yang akan datang. Maka orang tua perlu seleksi terhadap materi yang dihafal anak baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Jangan sampai berlebihan sehingga melebihi kapasitas. Jika beban kelewat berat, fungsi kreatif dan emosi pikiran anak yang sesungguhnya sangat penting, tidak dapat berfungsi secara baik. Selain itu pada masa ini kepribadian anak sedang berkembang. Kepribadian sebagai bekal baginya dalam bersosialisasi dengan lingkungannya.

Hal-hal yang perlu dihafalkan dan sangat baik bagi anak kita misalnya ayat-ayat Al-Quran, doa-doa dan hadits. Ayat-ayat Al-Quran perlu dihafal sebagai bekal dalam hidupnya, tidak hanya untuk masa yang akan datang tetapi juga untuk kehidupan yang dilalui. Bukankah Allah menjanjikan ketenangan hati, lapang jiwa dan ketajaman akal bagi orang yang mencintai Al-Quran? Pada usia ini jiwa, hati dan fikiran mereka masih bersih.

Dalam sejarah para salafus sholeh telah berhasil mendidik anaknya untuk mencintai Al-Quran dan menghafalnya. Tanpa ada kesepakatan, bila ada yang belajar hadits atau ilmu yang lain seorang anak harus menghafal Al-Quran. Menurut Ibnu Khaldun, pengajaran orang tua terhadap anak tentang Al-Quran adalah syiar dalam agama Islam. Dan semua bidang ilmu boleh dikuasai tetapi harus dekat dulu dengan Al-Quran. Ibnu Sina juga berpendapat bila anak dipersiapkan untuk cinta pada Al-Quran dan bisa menguasai huruf hijaiyah maka ia akan mudah menguasai ilmu agama yang lain.

Rasulullah Salallahu alaihiwasalam bersabda, jika mampu mendidik anak dekat pada Al-Quran maka kita akan hidup di bawah naungan arsy Allah. Didiklah anakmu dalam tiga hal:

1. Mencintai nabimu

2. Mencintai agama

3. Membaca Al-Quran

Karena sesungguhnya orang yang mengamalkan Al-Quran akan berada di bawah naungan arsy Allah bersama para nabi yang suci. Pada saat tidak ada naungan kecuali naungan-Nya.

Doa sangat penting dihafalkan, karena ia merupakan wujud komunikasi seorang hamba kepada Tuhannya. Ada suatu pengakuan sadar bahwa dirinya adalah hamba, sementara yang diserunya adalah Tuhan, tempat ia menggantungkan hidup. Murtadha Mutahhari menjelaskan bahwa doa adalah suatu sebab atas takdir yang telah diputuskan. Doa merupakan salah satu sebab di semesta ini, yang memiliki pengaruh penting atas nasib manusia seperti dikemukakan sebuah hadits bahwa doa menolak qadha walaupun telah selesai diputuskan. Allah menegaskan dalam Al-Quran menegaskan, jika hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, sesungguhnya Aku dekat dan memenuhi doa orang yang memohon kepadaKu.

Alangkah bijaksana bila orang tua tidak hanya memerintah anak untuk menghafal atau membaca tetapi sekaligus memberikan pengertian tentang keutamaan-keutamaannya. Dan hal itu sangat dibutuhkan baginya. Jika hal ini mampu kita lakukan beban menghafal itu tidak lagi terasa berat tetapi sebaliknya seperti sesuatu yang menmang disenanginya. Memberikan sebuah pengertian tentang sesuatu secara tepat, akan membuat anak-anak kita 'menjadi lapar' dan beban hafalan itu berubah menjadi makanan yang diperlukan.

Menghidupkan Ruh Iman


alhikmah.com - Terkadang kita sering berfikir, “Bagaimana yaaa?? untuk menjadi sukses atau mendapatkan kesuksesan?” pertanyaan seperti ini adalah hal yang wajar karena setiap orang mendambakan hal itu. Tetapi kita sering lupa untuk mencapai itu semua diperlukan sebuah bahan bakar, dan bahan bakar yang paling pas dan paling ampuh yang Alloh SWT anugerahkan kepada kita adalah “IMAN”.

Setiap pribadi muslim harus meyakini bahwa nilai iman akan terasa kelezatannya apabila secara nyata dimanifestasikan dalam bentuk amal sholeh atau tindakan kreatif dan prestatif. Iman merupakan energi batin yang memberi cahaya pelita untuk mewujudkan identitas dirinya sebagai bagian dari umat yang terbaik.

Oleh karena itu, Iman tidak cukup hanya diartikan “Percaya atau Yakin”, karena apabila kita berhenti pada pengertian ini, Iblis lebih percaya dan berpengalaman dari pada kita. Iblis pernah berdialog dengan Allah sekaligus menunjukkan pembangkangannya. Agar kita tidak sama dengan Iblis, kata iman harus kita maknai lebih jauh. Iman berarti menempatkan diri secara merdeka, membebaskan diri dari segala belenggu ikatan kecuali mengikat diri dengan penuh cinta kepada Alloh SWT. Hal ini akan menyebabkan keberpihakan kita hanya kepada Allah dan Rasul-Nya sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadist.

Rasulullah SAW bersabda : “Yang dinamakan Iman itu adalah apabila kau meyakini didalam hati, menyatakannya dengan lidah dan melaksanakannya dengan perbuatan.” Kiranya perlu kita garis bawahi pada kalimat ucapan Rasulullah pada kalimat akhir yaitu : “melaksanakan dengan perbuatan” yang berarti ada gerakan aktif untuk mewujudkannya. Lebih dari itu, Alloh memberikan isyarat bahwa mereka hanya berkata “Aku beriman” , tetapi tidak konsekwen dalam perbuatannya termasuk kategori yang dimurkai Alloh. Iman merupakan tanda keberpihakan kepada Alloh dan Rasul-Nya. Keberpihakan itu dapat terlihat apabila diwujudkan dalam amal dan perbuatan iman dan amal bagaikan perbuatan iman dan amal bagaikan 2 sisi gelas yang diisi air, kalau gelas itu kita isi susu maka akan disebut segelas susu atau mungkin gelas tersebut kita isi dengan racun maka kita akan menyebutnya segelas racun tak peduli dari bahan apa gelas terbuat karena sebutan gelas itu tergantung pada isinya. Oleh karena itu iman adalah wadah yang akan menampung segala isinya yang sesuai. Jadi dapat kita garis bawahi, bahwa Iman adalah wadah, jasad adalah alat, perbuatan adalah isinya. Iman dan Islam bukan sekedar pengetahuan atau dalam bahasa asingnya knowledge. Kita tidak cukup kalau hanya sebatas “saya tahu-saya-saya tahu” atau I see, I see”. Anthony Robbins seorang trainer dan motivator, pernah menulis “You see in life, lots of people know what to do, but few people actually do what they know. Knowing is not enough! You must take action!”. (“Lihatlah, dalam kehidupan ini banyak orang yang tahu apa yang harus dikerjakan, tapi sedikit sekali yang mengerjakan apa yang dia tahu. Tahu saja tidak cukup! Anda harus berbuat!”) dengan kata lain, bahwa tidaklah sempurna Iman seseorang yang hanya meyakini dalam hati dan mengucapkan didalam perkataan, tetapi hampa dalam perbuatan. Pandai membuat pertanyaan tapi bodohnya dalam mewujudkannya dalam kenyataan.

Islam bukanlah sekedar seperangkat konsep normatif ideal, melainkan juga suatu bentuk praktek dari amal aktual, amal yang nyata. Dari akar kata iman kita mengenal kata Aman (damai dan tentram), sehingga seseorang seharusnya mampu mengaktualisasikan suasana damai dan selalu ingin pelita kedamaian. Ditangan orang beriman, sesuatu apapun tidak mungkin cacat atau rusak sehingga pantaslah orang tersebut diberi amanah karena dia sudah membuktikan dirinya sebagai Al-Amin (orang yang terpercaya) atau dapat diistilahkan credible.

Seorang pribadi muslim, sadar bahwa kehadiran dirinya dimuka bumi tidak lain hanya untuk mengabdi, sebagaimana Allah SWT berfirman “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”(Qs. Ad-Dzaariyaat:56) didalam ayat ini dinyatakan bahwa misi seorang pribadi muslim adalah sebagai pelayan Alloh. Apabila bekerja dan melayani itu adalah fitrah manusia yang enggan bekerja, malas dan tidak mendayagunakan seluruh potensi dirinya untuk menyatakan keimanan dalam bentuk amal prestatif, sesungguhnya dia selalu melawan fitrah dirinya sendiri, menurunkan derajat identitas dirinya sebagai manusia sempurna, kemudian runtuh dalam kedudukan yang lebih hina dari binatang (Qs. Al-A’raaf: 172). Manusia hanya dapat memanusiakan dirinya dengan Iman, Ilmu dan Amal.

Amal hanya mungkin berkualitas bila dibarengi dengan ilmu dan ilmu yang baik adalah ilmu yang bermanfaat dan memberikan nilai kepada alam. Bila ilmu dan manfaat telah kita miliki, selanjutnya adalah usaha kita untuk selalu mencari arah, tujuan dan kesempatan. Seorang pribadi muslim harus banyak belajar dan membaca, dia harus pandai membaca tanda-tanda kekuasaan Alloh yang akan membawanya lebih mengenali siapa hakikat dirinya. Selain itu ada suatu kegemaran tersendiri untuk lebih banyak membaca buku-buku yang merupakan jendela informasi dunia. Dan juga menjadi suatu hal yang wajib bagi dirinya untuk terus membaca, mengkaji, merenungi dan mengamalkan Al-Qur’an. Kewajiban membaca ini telah Alloh tuangkan didalam firman-Nya “Bacalah dan Tuhamulah Yang Maha Pemurah, yang mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Qs. Al’Alaq: 1-5).

Jadi jelaslah bahwa sekarang untuk menjadi orang yang berprestasi dan sukses ada tiga kata kunci yaitu “Iman, Ilmu dan Amal”. Orang-orang yang memiliki 3 kata kunci tersebut akan menjadi orang-orang yang tangguh walau harus menerjang badai. Mereka tidak mengenal kata pesimis. Tidak pernah lelah. Bagi mereka waktu adalah lembaran kertas untuk menulis tinta karya dan kerja nyata. Dan ilmu adalah pelita hati yang akan membawa kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.

RAHMAT ALLAH BAGI UMAT MUHAMMAD DENGAN DUA HARI RAYA (IDUL FITHRI DAN

RAHMAT ALLAH BAGI UMAT MUHAMMAD DENGAN DUA HARI RAYA (IDUL FITHRI DAN
IDUL ADHA)
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
^^^^^^^^

Dari Anas Radliallahu 'anhu ia berkata (artinya): "Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam datang ke Madinah sedang penduduknya memiliki dua hari
raya dimana mereka bersenang-senang di dalamnya di masa jahiliyah[1].
Maka beliau bersabda (artinya): "Aku datang pada kalian sedang kalian
memiliki dua hari yang kalian besenang-senang di dalamnya pada masa
jahiliyah. Sungguh Allah telah menggantikan untuk kalian yang lebih baik
dari dua hari itu yaitu : hari Raya Kurban dan hari Idul Fithri".
(Hadits Shahih, dikeluarkan oleh Ahmad (3/103,178,235), Abu Daud (1134),
An-Nasa'i (3/179) dan Al-Baghawi (1098).

Berkata Syaikh Ahmad Abdurrahman Al-Banna : "Maksudnya : Karena hari
Idul Fihtri dan hari raya Kurban ditetapkan oleh Allah Ta'ala, merupakan
pilihan Allah untuk mahluk-Nya dan karena keduanya mengikuti pelaksanaan
dua rukun Islam yang agung yaitu haji dan puasa. Pada dua hari tersebut,
Allah mengampuni orang-orang yang melaksanakan ibadah haji dan
orang-orang yang berpuasa, dan Dia menebarkan rahmat-Nya kepada seluruh
mahluk-Nya yang taat. Adapun hari Nairuz dan Mahrajan* merupakan pilihan
para pembesar pada masa itu yang tentunya disesuaikan dengan zaman,
selera dan semisalnya dari keistimewaan yang akan pudar. Maka perbedaan
keistimewaan dari Idul Fithri dan Idul Adha dengan hari Nairuz dan
Mahrajan sangat jelas bagi siapa yang mau memperhatikannya". [Fathur
Rabbani 6/119].

Bolehnya Mendengarkan Rebana Yang Dimainkan Anak Perempuan Kecil, Dari
Aisyah radliaalahu 'anha, ia berkata (artinya): "Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam masuk menemuiku sedangkan di sisiku ada dua anak
perempuan kecil yang sedang bernyanyi[2] dengan nyanyian Bu'ats. Lalu
beliau berbaring di tempat tidur dan memalingkan wajahnya. Masuklah Abu
Bakar, lalu dia menghardikku dan berkata : 'Seruling syaitan di sisi
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam !?' Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam kemudian menghadap ke Abu Bakar seraya berkata :'Biarkan kedua
anak perempuan itu'. Ketika beliau tidur, aku memberi isyarat dengan
mata kepada dua anak itu maka merekapun keluar". Dalam riwayat lain :
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Artinya : Wahai Abu
Bakar, setiap kaum memiliki hari raya, dan ini adalah hari raya kita".
[Kedua hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari 949,952,2097,3530,3931.
Diriwayatkan juga oleh Muslim 892. Ahmad 6/134 dan Ibnu Majah 1898]

Imam Al-Baghawi dalam "Syarhus Sunnah" (4/322) mengatakan : "Bu'ats[3],
adalah hari yang terkenal di antara hari-harinya bangsa Arab. Pada hari
itu suku Aus mendapatkan kemenangan yang besar dalam peperangan dengan
suku Khazraj. Peperangan antara kedua suku ini berlangsung selama 120
tahun sampai datang Islam. Syair yang didendangkan oleh kedua anak
perempuan itu berisi penggambaran (tentang) peperangan dan keberanian
serta menyinggung upaya untuk membantu tegaknya perkara agama.

Adapun nyanyian yang berisi kekejian, pengakuan berbuat haram dan
menampakkan kemungkaran dengan terang-terangan melalui ucapan, adalah
termasuk nyanyian yang dilarang. Tidak mungkin nyanyian seperti itu yang
di dendangkan di hadapan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu
dilalaikan untuk mengingkarinya.

Sabda beliau (artinya): "Ini adalah hari raya kita", beliau mengemukakan
alasan dari Aisyah bahwa menampakkan kegembiraan pada dua hari raya
merupakan syiar (slogan) agama ini, dan tidaklah hari raya itu seperti
hari-hari lain". [Selesai ucapan Imam Al-Baghawi].

Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata (artinya):
"Dalam hadits ini ada beberapa faedah : Disyariatkan untuk memberikan
kelapangan kepada keluarga pada hari-hari raya untuk melakukan berbagai
hal yang dapat menyampaikan mereka pada kesenangan jiwa dan istirahatnya
tubuh dari beban ibadah. Dan sesungguhnya berpaling dari hal itu lebih
utama. Dalam hadits ini juga menunjukkan bahwa menampakkan kegembiraan
pada hari-hari raya merupakan syi'ar agama.[4]



--------------------------
Disalin dari buku Ahkaamu Al' Iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthahharah edisi
Idonesia Hari Raya Bersama Rasulullah, oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali
Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, hal. 8-11 terbitan Pustaka Al-Haura',
penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Hussein
--------------------------
Foote Note
*Yaitu hari Nairuz dan hari Mahrajan. Lihat "Aunul Ma'bud" (3/485) oleh
Al-Adhim Abadai. Dalam riwayat lain ada lafadh :("dan keduanya bukanlah
penyanyi"). lihat "Syarhu Muslim" (6/182) oleh An-Nawawi. Lihat
"An-Nihayah" (1/139) oleh Ibnul Atsir Al-Jaziri Fathul Bari (2/443). Aku
telah menulis sebuah risalah tentang hukum duf (rebana).

Rabu, 07 Oktober 2009

Sayed Abul A'ala Maududi

Sayed Abul A'ala Maududi [2] (Urdu: سید ابو الاعلىٰ مودودی - alternative spellings of last name Maudoodi and Modudi) (September 25, 1903(1903-09-25) - September 22, 1979), also known as Molana (Maulana) or Shaikh Syed Abul A'ala Mawdudi, was a Sunni Pakistani journalist, theologian, Muslim Revivalist Leader and political philosopher, and a major 20th century Islamist thinker.[3] He was also a prominent political figure in his home country (Pakistan). He was also the founder of Jamaat-e-Islami the Islamic revivalist party.[4]

Biography

Timeline

  • 1903 - Born in Aurangabad, Hyderabad Deccan, India
  • 1918 - Started career as journalist in Bijnore newspaper
  • 1920 - Appointed as editor of the daily Taj, Jabalpur
  • 1925 - Appointed as editor daily Muslim
  • 1925 - Appointed as editor Al-jameeah, New Delhi
  • 1927 - Wrote the blockbuster book of the history Al- Jihad fil Islam
  • 1930 - Wrote and published the famous booklet Deenyat
  • 1932 - Started Tarjuman-ul-Qur'an from Hyderabad (India)
  • 1938 - Moved to “Pathankot”, established Darul Islam
  • 1941 - Foundation meeting of Jamaat-e-Islami Hind, appointed as Amir
  • 1942 - Jamaat's headquarters moved to Pathankot
  • 1943 - Started writing a Tafseer of the Qur'an called Tafhim-ul-Quran
  • 1947 - Jamaat-e-Islami Pakistan Headquarter moved to Lahore (Ichhra)
  • 1948 - Campaign for Islamic constitution and government
  • 1948 - Wrote a booklet Qadiani Problem
  • 1948 - Sentenced to Jail by the Government
  • 1949 - Government accepted Jamaat's resolution for Islamic Constitution
  • 1953 - Sentenced to death for his historical part in the agitation against Ahmadiyah. He was sentenced to death by a military court, but it never carried out;[5]
  • 1953 - Death sentence commuted to life imprisonment and later canceled.[5]
  • 1955 - Released from jail
  • 1958 - Jamaat-e-Islami banned by Martial Law Administrator Field Martial Ayub Khan
  • 1964 - Sentenced to jail
  • 1964 - Released from jail
  • 1971 - Ordered his followers to fight to save United Pakistan along with Pak Army.
  • 1972 - Completed Tafhim-ul-Quran
  • 1972 - Resigned as Ameer-e-Jamaat
  • 1979 - Departed to United States for Medical Treatment
  • 1979 - Died in United States [6]
  • 1979 - Buried in Ichhra, Lahore

Early life

Mawdudi was one of the descendants of Khwaja Qutb ad-din Mawdud al-Chishti, a notable of the Chishtiyya Tariqa. Hazrat Muinuddin al-Chishti of Ajmar (Rahmatullahi 'Alayh) was Qutb ad-din's caliph, one of those who were ordered and given permission by him to guide the people who wanted to learn.[citation needed]

Syed Abul A'ala Maududi was born on September 25, 1903 (Rajab 3, 1321 AH) in Aurangabad, then part of the princely state of Hyderabad (presently Maharashtra), India. Syed Abul A'ala Maududi was born to Maulana Ahmad Hasan, a lawyer by profession. Unfortunately, little is known regarding his mother. Given his later writings on gender and women, knowing the pattern of gender relations he witnessed in the home would be of value to scholars. Syed Abul A'ala Maududi was the youngest of his three brothers.[7] His father was "descended from the Chishti line of saints; in fact his last name was derived from the first member of the Chishti Silsilah i.e. Khawajah Syed Qutb ul-Din Maudood Chishti (d. 527 AH)[8]

At an early age, Maududi was given home education, he "received religious nurture at the hands of his father and from a variety of teachers employed by him."[8] He soon moved on to formal education, however, and completed his secondary education from Madrasah Furqaniyah. For his undergraduate studies he joined Darul Uloom, Hyderabad (India). His undergraduate studies, however, were disrupted by the illness and death of his father, and he completed his studies outside of the regular educational institutions.[7] His instruction included very little of the subject matter of a modern school, such as European languages, like English.[8] Also, he mastered so much Arabic that he translated Qasim Amin's The New Woman into Urdu when he was only 14[9] or, even more astonishing, about 3500 pages from the celebrated mystical Persian thinker Mulla Sadra's work Asfar, always in his youth.[10]

Journalistic career

After the interruption of his formal education, Maududi turned to journalism in order to make his living. In 1918, he was already contributing to a leading Urdu newspaper, and in 1920, at the age of 17, he was appointed editor of Taj, which was being published from Jabalpore (now Madhya Pradesh). Late in 1920, Maududi went to Delhi and first assumed the editorship of the newspaper Muslim (1921-23), and later of al-Jam’iyat (1925-28), both of which were the organs of the Jam’iyat-i Ulama-i Hind, an organization of Muslim religious scholars.[11]

Founding the Jamaat-e-Islami

In 1941, Maududi founded Jamaat-e-Islami (JI) in British India as a religious political movement to promote Islamic values and practices. After the Partition of India, JI was redefined in 1947 to support an Islamic State in Pakistan. JI is currently the oldest religious party in Pakistan.[12]

With the Partition of India, JI split into several groups. The organisation headed by Maududi is now known as Jamaat-e-Islami Pakistan. Also existing are Jamaat-e-Islami Hind, Bangladesh Jamaat-e-Islami , and autonomous groups in Indian Kashmir, also in Sri Lanka.All of them are closely linked and work in cohesion and harmony.[12]

Maududi was elected Jamaat’s first Ameer (President) and remained so until 1972 when he withdrew from the responsibility for reasons of health.[12]

Political Struggle

In the beginning of the struggle for the state of Pakistan, Maudidi and his party were not against the idea of creating a separate state of Pakistan. He did criticize other leaders of the Muslim league for wanting Pakistan to be a state for Muslims and not an Islamic state. After realizing that India was going to be partitioned and Pakistan created, he began to support the idea. Maududi moved to Pakistan in 1947 and worked to turn it into an Islamic state, resulting in frequent arrests and long periods of incarceration. In 1953, he was sentenced to death on the charge of writing a seditious pamphlet about the Ahmadiyya issue. He turned down the opportunity to file a petition for mercy, expressing a preference for death rather than seeking clemency. Strong public pressure ultimately convinced the government to commute his death sentence to life imprisonment. Eventually, his sentence was annulled.[11]

Last Days

In April 1979, Maududi's long-time kidney ailment worsened and by then he also had heart problems. He went to the United States for treatment and was hospitalized in Buffalo, New York, where his second son worked as a physician. During his hospitalization, he remained intellectually active.

Following a few surgical operations, he died on September 22, 1979, at the age of 76. His funeral was held in Buffalo, but he was buried in an unmarked grave at his residence in Ichhra, Lahore after a very large funeral procession through the city.[11]

Islamic beliefs and ideology

Maududi wrote over 120 books and pamphlets and made over a 1000 speeches and press statements. His magnum opus was the 30 years in progress translation (tafsir) in Urdu of the Qur’an, Tafhim al-Qur’an (The Meaning of the Qur'an), intended to give the Qur’an a practical contemporary interpretation. It became widely read throughout the subcontinent and has been translated into several languages.[11]

Jihad

Mawdudi believed that jihad was worldwide in scope

“A time will come when Communism will fear for its survival in Moscow, Capitalistic democracy will tremble for its safety in Washington and New York. ... The objective of Islamic Jihad is to put an end to the dominance of the un-Islamic systems of government and replace them with Islamic rule, Islam intends to bring about this revolution not in one country or in a few countries but in the entire world.”[13][14]

and explained jihad was not only combat for God but all effort that helped those waging combat (not undermining the importance of combat (Qita'al):

“In the jihad in the way of Allah, active combat is not always the role on the battlefield, nor can everyone fight in the front line. Just for one single battle preparations have often to be made for decades on end and the plans deeply laid, and while only some thousands fight in the front line there are behind them millions engaged in various tasks which, though small themselves, contribute directly to the supreme effort.”[13]

Islam

Mawdudi saw Muslims not as people who followed the religion of Islam, but as everything, "Everything in the universe is 'Muslim' for it obeys God by submission to His laws." The only exception to this universe of Muslims were human beings who failed to follow Islam. In regard to the non-Muslim:

“His very tongue which, on account of his ignorance advocates the denial of God or professes multiple deities, is in its very nature 'Muslim' ... The man who denies God is called Kafir (concealer) because he conceals by his disbelief what is inherent in his nature and embalmed in his own soul. His whole body functions in obedience to that instinct… Reality becomes estranged from him and he gropes in the dark".[15]

Sharia

Maududi believed that without Sharia law Muslim society could not be Islamic:

That if an Islamic society consciously resolves not to accept the Sharia, and decides to enact its own constitution and laws or borrow them from any other source in disregard of the Sharia, such a society breaks its contract with God and forfeits its right to be called 'Islamic.'"[16]

Islamic state

Maududi also believed that Islam required the establishment of an Islamic state. The state would be a "theo-democracy,"[17] and underlying it would be three principles: tawhid (oneness of God), risala (prophethood) and khilafa (caliphate).[18][19][20]

The "sphere of activity" covered by the Islamic state would be "co-extensive with human life ... In such a state no one can regard any field of his affairs as personal and private."[21]

The state would follow Sharia Islamic law, a complete system covering

family relationships, social and economic affairs, administration, rights and duties of citizens, judicial system, laws of war and peace and international relations. In short it embraces all the various departments of life ... The Sharia is a complete scheme of life and an all-embracing social order where nothing is superfluous and nothing lacking.[22]

Consequently, while this state has a legislature which the ruler must consult, its function "is really that of law-finding, not of law-making."[23]

Mawdudi believed that the sovereignty of God (hakimiya) and the sovereignty of the people are mutually exclusive.[24] Therefore, he declared Islamic democracy to be the antithesis of secular Western democracy which transfers hakimiya(God's sovereignty) to the people.[25]

Non-Muslims

The rights of non-Muslims are sacrosanct, and cannot be violated. In this book, Human Rights in Islam, he states, "...when we speak of human rights in Islam we really mean that these rights have been granted by God; they have not been granted by any king or by any legislative assembly. The rights granted by the kings or the legislative assemblies, can also be withdrawn in the same manner in which they are conferred. The same is the case with the rights accepted and recognized by the dictators. They can confer them when they please and withdraw them when they wish; and they can openly violate them when they like. But since in Islam human rights have been conferred by God, no legislative assembly in the world, or any government on earth has the right or authority to make any amendment or change in the rights conferred by God. No one has the right to abrogate them or withdraw them. Nor are they the basic human rights which are conferred on paper for the sake of show and exhibition and denied in actual life when the show is over. Nor are they like philosophical concepts which have no sanctions behind them."

The rights of non-Muslims are limited under Islamic state as laid out in Maududi's writings. Although non-Muslim "faith, ideology, rituals of worship or social customs" would not be interfered with, non-Muslims would have to accept Muslim rule. [26]

Non-Muslims would also have to pay a special tax known as jizya if they are able. This tax is applicable to all able adult Non-Muslims, except old and women, who do not render military service. Those who serve in military are exempted. It must be noted that all adult Muslim men are subject to compulsory military service, whenever required by the Islamic State. Jizya is thus seen as a protection tax payable to the Islamic State for protection of those those Non-Muslims adult men who do not render military service.[citation needed]

Maududi believed that copying cultural practices of non-Muslims was forbidden in Islam, having

very disastrous consequences upon a nation; it destroys its inner vitality, blurs its vision, befogs its critical faculties, breeds inferiority complexes, and gradually but assuredly saps all the springs of culture and sounds its death-knell. That is why the Holy Prophet has positively and forcefully forbidden the Muslims to assume the culture and mode of life of the non-Muslims.[27]

Maududi strongly opposed the Ahmadiyya sect and the idea that Ahmadiyya were Muslims. He preached against Ahmadiyya in his pamphlet The Qadiani Question and the book The Finality of Prophethood.[14]

Criticism and controversy

Political

A general complaint of one critic is that Maududi's theo-democracy is an

ideological state in which legislators do not legislate, citizens only vote to reaffirm the permanent applicability of God's laws, women rarely venture outside their homes lest social discipline be disrupted, and non-Muslims are tolerated as foreign elements required to express their loyalty by means of paying a financial levy.[28]

On a more conceptual level, journalist and author Abelwahab Meddeb questions the basis of Maududi's reasoning that the sovereignty of the truly Islamic state must be divine and not popular, saying "Mawdudi constructed a coherent political system, which follows wholly from a manipulation." The manipulation is of the Arabic word hukm, usually defined as to "exercise power as governing, to pronounce a sentence, to judge between two parties, to be knowledgeable (in medicine, in philosophy), to be wise, prudent, of a considered judgment." The Quran contains the phrase `Hukm is God's alone,` thus, according to Maududi, God - in the form of Sharia law - must govern. But Meddeb argues that a full reading of the ayah where the phrase appears reveals that it refers to God's superiority over pagan idols, not His role in government.

Those who you adore outside of Him are nothing but names that you and your fathers have given them. God has granted them no authority. Hukm is God's alone. He has commanded that you adore none but Him. Such is the right religion, but most people do not know. [Qur'an 12:40]

Quranic "commentators never forget to remind us that this verse is devoted to the powerlessness of the companion deities (pardras) that idolaters raise up next to God…"[29]

Clerical

Maududi is said to have received "sustained hostility" from the ulema.[30] Muhammad Yusuf Banuri(d. 1397/1977) is quoted as saying

"Great Muslim scholars of India of every madhhab congregated at Jamiyyat al-'Ulama' in Delhi on the 27th of Shawwal, 1370 (August 1, 1951) and reached the conclusion that Mawdudi and his Al-Jamaat al-Islamiyya caused the destruction and deviation of Muslims and published this fatwa (decision) in a book and in papers."[31] And the scholars of Pakistan passed a resolution that Mawdudi was a heretic who tried to make others heretics; this resolution was edited once again in the Akhbar al-Jamiyya in Rawalpindi on the 22nd of February, 1396 (1976)." [32]

He has been criticised by some Deobandi scholars, such as Allamh Yusuf Ludhyanwi,[33] for what was seen as disrespect towards the Sahabah (Companions of the prophet Muhammad) and the Mahdi.

Maududi has been criticised by salafist author Jamaal Ibn Fareehaan al-Haarithee for "rejection of the Dajjal", as Maududi is alleged to have claimed [34] that the prophet Muhammad "used to think that the Dajjaal (Anti-Christ) would come out in his time, or close to his time. However, 1350 years passed away and many long generations came and went, yet the Dajjaal did not come out. So it is confirmed that what the Prophet (sallallaahu ’alayhi wa sallam) thought did not prove true!!” [35] Maududi's alleged believed in this theory was explained by its being an "opinion and analogical deduction" of Muhammad while al-Haarithee considers this shirk (polytheism) as the Quran says “And he does not speak from his own desire. It is revelation inspired to him.” [36]

Other clerics who've criticizing Maududi are Shaykh Safi ur-Rahman Mubarakpuri - [37], Hammaad al-Ansaaree[38] and Al-Albaanee, Sanaullaah Amritsari [39]

In an article entitled Fatwa about the Deviation of Mawdudi, Mawdudi is accused of being "CIA agent"; of attempting to solve "the main principles of Islam" using "his own reason," and departing from "Islamic knowledge"; and of preaching revolution when, "Islam would spread not through revolution but through knowledge, justice and morals."[32]

[edit] Legacy

Mawdudi's influence was widespread. According to historian Philip Jenkins, Egyptians Hassan al-Banna and Sayyid Qutb read him. Qutb "borrowed and expanded" Mawdudi's concept of jahiliyya (pagan ignorance) being a modern as well as pre-Muhammadan phenomenon, and of the need for an Islamist revolutionary vanguard movement. His ideas influenced Abdullah Azzam, the Palestinian Islamist jurist, who in turn influenced the young Osama bin Laden during the anti-Soviet war in Afghanistan. The South Asian diaspora, including "significant numbers" in Britain, were "hugely influenced" by Mawdudi's work. Mawdudi even had a major impact on Shia Iran, where Ayatollah Ruhollah Khomeini is reputed to have met Mawdudi as early as 1963 and later translated his works into Farsi. "To the present day, Iran's revolutionary rhetoric often draws on his themes." [40]

Mostly, however, Mawdudi influenced South Asia. In Pakistan, Jamaati party members joined Pakistan's military and intelligence establishments in large numbers, which were "rife with hard-line Islamist views" by the 1970s.[40]

Jamaluddin Al Afghani

Jamaluddin Al Afghani (dan Kontribusinya pada Kebangkitan Dunia Islam)

Nama panjang beliau adalah Muhammad Jamaluddin Al Afghani, dilahirkan di Asadabad, Afghanistan pada tahun 1254 H/1838 M. Ayahanda beliau bernama Sayyid Safdar al-Husainiyyah, yang nasabnya bertemu dengan Sayyid Ali al-Turmudzi (seorang perawi hadits yang masyhur yang telah lama bermigrasi ke Kabul) juga dengan nasab Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib.

Pada usia 8 tahun Al-Afghani telah memperlihatkan kecerdasan yang luar biasa, beliau tekun mempela­jari bahasa Arab, sejarah, matematika, fil­safat, fiqh dan ilmu keislaman lainnya. Dan pada usia 18 tahun ia telah menguasai hampir seluruh cabang ilmu pengetahuan meliputi filsafat, hukum, sejarah, kedokteran, astronomi, matematika, dan metafisika. Al-Afghani segera dikenal sebagai profil jenius yang penguasaannya terhadap ilmu pengetahuan bak ensiklopedia.

Setelah membekali dirinya dengan seluruh cabang ilmu pengetahuan di Timur dan Barat (terutama Paris, Perancis), Al-Afghani mempersiapkan misinya membangkitkan Islam. Pertama-tama ia masuk ke India, negara yang sedang melintasi periode yang kritis dalam sejarahnya. Kebencian kepada kolonialisme yang telah membara dalam dadanya makin berkecamuk ketika Afghani menyaksikan India yang berada dalam tekanan Inggris. Perlawanan terjadi di seluruh India. Afghani turut ambil bagian dari periode yang genting ini, dengan bergabung dalam peperangan kemerdekaan India pada bulan Mei 1857. Namun, Afghani masih sempat pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji.

Sepulang dari haji, Afghani pergi ke Kabul. Di kota ini ia disambut oleh penguasa Afghanistan, Dost Muhammad, yang kemudian menganugerahinya posisi penting dalam pemerintahannya. Saat itu, Dost Muhammad sedang mempertahankan kekuasaannya dengan memanfaatkan kaum cendekiawan yang didukung rakyat Afghanistan. Sayang, ketika akhirnya Dost terbunuh dan takhtanya jatuh ke tangan Sher Ali, Afghani diusir dari Kabul.

Meninggalkan Kabul, Afghani berkelana ke Hijjaz untuk melakukan ziarah. Rupanya, efek pengusiran oleh Sher Ali berdampak bagi perjalanan Afghani. Ia tidak diperbolehkan melewati jalur Hijjaz melalui Persia. Ia harus lebih dulu masuk ke India. Pada tahun 1869 Afghani masuk ke India untuk yang kedua kalinya. Ia disambut baik oleh pemerintah India, tetapi tidak diizinkan untuk bertemu dengan para pemimpin India berpengaruh yang berperan dalam revolusi India. Khawatir pengaruh Afghani akan menyebabkan pergolakan rakyat melawan pemerintah kolonial, pemerintah India mengusir Afghani dengan cara mengirimnya ke Terusan Suez yang sedang bergolak.

Di Mesir Afghani melakukan kontak dengan mahasiswa Al-Azhar yang terkagum-kagum dengan wawasan dan ide-idenya. Salah seorang mahasiswa yang kemudian menjadi murid Afghani adalah Muhammad Abduh. Dari Mesir, Afghani pergi ke Istanbul untuk berdakwah. Di ibu kota Turki ini Afghani mendapat sambutan yang luar biasa. Ketika memberi ceramah di Universitas Konstantinopel, salah seorang ulama setempat, Syaikhul Islam, merasa tersaingi. Ia segera menghasut pemerintah Turki untuk mewaspadai gagasan-gagasan Afghani. Buntutnya, Afghani didepak keluar dari Turki. Pada tahun 1871.

Afghani menjejakkan kakinya di Kairo untuk yang kedua kalinya. Di Mesir Afghani melanjutkan dakwahnya yang pernah terputus dan segera mempengaruhi para mahasiswa dan ulama Al-Azhar. Tetapi, pemberontakan kaum nasionalis Mesir pada tahun 1882 berujung pada tindakan deportasi oleh pemerintah Mesir yang mencurigai Afghani ada di belakang pemberontakan.

Afghani dideportasi ke India, tetapi tak lama ia sudah berada dalam perjalanan ke London, kota yang pernah disinggahinya ketika ia berdakwah ke Paris. Di London ia bertemu dengan Muhammad Abduh, muridnya yang ternyata juga dikucilkan oleh pemerintah Mesir.

Dari London, Afghani bertualang ke Moskow. Ia tinggal selama empat tahun di St. Petersburgh. Di sini pengaruh Afghani segera menjalar ke lingkungan intelektual yang dipercaya oleh Tsar Rusia. Salah satu hasil dakwah Afghani kepada mereka adalah keluarnya izin pencetakan Al-Quran ke dalam bahasa Rusia.

Afghani menghabiskan sisa umurnya dengan bertualang keliling Eropa untuk berdakwah. Bapak pembaharu Islam ini memang tak memiliki rintangan bahasa karena ia menguasai enam bahasa dunia (Arab, Inggris, Perancis, Turki, Persia, dan Rusia).

Afghani menghembuskan nafasnya yang terakhir karena kanker yang dideritanya sejak tahun 1896. Beliau pulang keharibaan Allah pada tanggal 9 Maret 1897 di Istambul Turki dan dikubur di sana. Jasadnya dipindahkan ke Afghanistan pada tahun 1944. Ustad Abu Rayyah dalam bukunya “Al-Afghani; Sejarah, Risalah dan Prinsip-prinsipnya”, menyatakan, bahwa Al-Afghani meninggal akibat diracun dan ada pendapat kedua yang menyatakan bahwa ada rencana Sultan untuk membinasakannya.

JURNAL ANTI PENJAJAHAN

Salah satu bukti kejeniusan Jamaluddin Al-Afghani adalah Al-Urwatul Wutsqa, sebuah jurnal anti penjajahan yang diterbitkannya di Paris. Al-Afghani mendapat sokongan seorang ulama Mesir, Muhammad Abduh. Keduanya bersamaan menerbitkan majalah Al-Urwatul Wutsqa di Paris pada tahun 1884 selama tujuh bulan dan mencapai 18 nomor. Publikasi ini bukan saja menggoncang dunia Islam, pun telah menimbulkan kegelisahan dunia Barat. Meskipun majalah ini pada akhirnya tidak mampu mempertahankan penerbitannya oleh bermacam-macam rintangan, nomor-nomor lama telah dicetak ulang berkali-kali. Di mana-mana, terutama untuk pasaran dunia Timur, majalah ini dibinasakan penguasa Inggris. Di Mesir dan India penerbitan ini dilarang untuk diedarkan. Akan tetapi, penerbitan ini terus saja beredar meski dengan jalan gelap. Di Indonesia sendiri majalah ini berhasil masuk tidak melalui pelabuhan besar. Ia berhasil masuk lewat kiriman gelap melalui pelabuhan kecil di pantai utara, antaranya pelabuhan Tuban.

Jurnal ini segera menjadi barometer perlawanan imperialis Dunia Islam yang merekam komentar, opini, dan analisis bukan saja dari tokoh-tokoh Islam dunia, tetapi juga ilmuwan-ilmuwan Barat yang penasaran dan kagum dengan kecemerlangan Afghani. Selama mengurus jurnal ini, Afghani harus bolak-balik Paris-London untuk menjembatani diskusi dan pengiriman tulisan para ilmuwan Barat, terutama yang bermarkas di International Lord Salisbury, London.

AL AFGHANI DAN IBNU TAYMIYYAH

Tidak ada perbedaan diantara keduanya, kecuali bahwa Ibnu Taymiyyah (seperti kebanyakan ulama dari generasi awal) lebih banyak berhujjah dengan menggunakan dalil-dalil agama dan pendekatan logika (mantiqy) dalam menegakkan panji/bendera yang dibawanya, seperti yang kita bisa lihat dari karya-karya beliau. Sedangkan Al Afghani lebih kepada pendekatan provokasi (dalam term positif) atau membakar semangat, menyadarkan ummat atas realitas keterpurukan mereka, serta menjalin komunikasi dengan para ulama dan pemimpin kaum Muslimin.

BEBERAPA KONTRIBUSI AL-AFGHANI

Pertama; Perlawanan terhadap kolonial barat yang menjajah negri-negri Islam (terutama terhadap penjajah Inggris). Beliau turut ambil bagian dalam peperangan kemerdekaan India pada bulan Mei 1857, juga mengadakan ziarah ke negri-negri Islam yang berada di bawah tekanan imperialis dan kolonialis barat seperti tersebut di atas.

Kedua; upaya melawan pemikiran naturalisme di India, yang mengingkari adanya hakikat ketuhanan. Menurutnya, dasar aliran ini merupakan hawa nafsu yang menggelora dan hanya sebatas egoisme sesaat yang berlebihan tanpa mempertimbangkan kepentingan umat manusia secara keseluruhan.

Hal ini dikarenakan adanya pengingkaran terhadap hakikat Tuhan dan anggapan bahwa materi mampu membuka pintu lebar-lebar bagi terhapusnya kewajiban manusia sebagai hamba Tuhan. Dari situlah Al-Afghani berusaha menghancurkan pemikiran ini dengan menunjukkan bahwa agama mampu memperbaiki kehidupan masyarakat dengan syariat dan ajaran-ajarannya

Syech Hasan Al Banna

PROFIL Syech Hasan Al Banna







by asranibanua

Ia dilahirkan di desa Mahmudiyah kawasan Buhairah, Mesir tahun 1906 M. Ayahnya, Syaikh Ahmad al-Banna adalah seorang ulama fiqh dan hadits. Sejak masa kecilnya, Hasan al Banna sudah menunjukkan tanda-tanda kecemerlangan otaknya. Pada usia 12 tahun, atas anugerah Allah, Hasan kecil telah menghafal separuh isi Al-Qur’an. Sang ayah terus menerus memotivasi Hasan agar melengkapi hafalannya. Semenjak itu Hasan kecil mendisiplinkan kegiatannya menjadi empat. Siang hari dipergunakannya untuk belajar di sekolah. Kemudian belajar membuat dan memperbaiki jam dengan orang tuanya hingga sore. Waktu sore hingga menjelang tidur digunakannya untuk mengulang pelajaran sekolah. Sementara membaca dan mengulang-ulang hafalan Al-Qur’an ia lakukan selesai shalat Shubuh. Maka tak mengherankan apabila Hasan al Banna mencetak berbagai prestasi gemilang di kemudian hari. Pada usia 14 tahun Hasan al Banna telah menghafal seluruh Al-Quran. Hasan Al Banna lulus dari sekolahnya dengan predikat terbaik di sekolahnya dan nomor lima terbaik di seluruh Mesir. Pada usia 16 tahun, ia telah menjadi mahasiswa di perguruan tinggi Darul Ulum. Demikianlah sederet prestasi Hasan kecil.Selain prestasinya di bidang akademik, Ia juga memiliki bakat leadership yang cemerlang. Semenjak masa mudanya Hasan Al-Banna selalu terpilih untuk menjadi ketua organisasi siswa di sekolahnya. Bahkan pada waktu masih berada di jenjang pendidikan i’dadiyah (semacam SMP), beliau telah mampu menyelesaikan masalah secara dewasa, kisahnya begini:
Suatu siang, usai belajar di sekolah, sejumlah besar siswa berjalan melewati mushalla kampung. Hasan berada di antara mereka. Tatkala mereka berada di samping mushalla, maka adzan pun berkumandang. Saat itu, murid-murid segera menyerbu kolam air tempat berwudhu. Namun tiba-tiba saja datang sang imam dan mengusir murid-murid madrasah yang dianggap masih kanak-kanak itu. Rupanya, ia khawatir kalau-kalau mereka menghabiskan jatah air wudhu. Sebagian besar murid-murid itu berlarian menyingkir karena bentakan sang imam, sementara sebagian kecil bertahan di tempatnya. Mengalami peristiwa tersebut, al Banna lalu mengambil secarik kertas dan menulis uraian kalimat yang ditutup dengan satu ayat Al Qur’an, “Dan janganlah kamu mengusir orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya.”(Q. S. Al-An’aam: 52).
Kertas itu dengan penuh hormat ia berikan kepada Syaikh Muhammad Sa’id, imam mushalla yang menghardik kawan-kawannya. Membaca surat Hasan al Banna hati sang imam tersentuh, hingga pada hari selanjutnya sikapnya berubah terhadap “rombongan anak-anak kecil” tersebut. Sementara para murid pun sepakat untuk mengisi kembali kolam tempat wudhu setiap mereka selesai shalat di mushalla. Bahkan para murid itu berinisiatif untuk mengumpulkan dana untuk membeli tikar mushalla!Pada usia 21 tahun, beliau menamatkan studinya di Darul ‘Ulum dan ditunjuk menjadi guru di Isma’iliyah. Hasan Al Banna sangat prihatin dengan kelakuan Inggris yang memperbudak bangsanya. Masa itu adalah sebuah masa di mana umat Islam sedang mengalami kegoncangan hebat. Kekhalifahan Utsmaniyah (di Turki), sebagai pengayom umat Islam di seluruh dunia mengalami keruntuhan. Umat Islam mengalami kebingungan. Sementara kaum penjajah mempermainkan dunia Islam dengan seenaknya. Bahkan di Turki sendiri, Kemal Attaturk memberangus ajaran Islam di negaranya. Puluhan ulama Turki dijebloskan ke penjara. Demikianlah keadaan dunia Islam ketika al Banna berusia muda. Satu di antara penyebab kemunduran umat Islam adalah bahwa umat ini jahil (bodoh) terhadap ajaran Islam.
Maka mulailah Hasan al Banna dengan dakwahnya. Dakwah mengajak manusia kepada Allah, mengajak manusia untuk memberantas kejahiliyahan (kebodohan). Dakwah beliau dimulai dengan menggalang beberapa muridnya. Kemudian beliau berdakwah di kedai-kedai kopi. Hal ini beliau lakukan teratur dua minggu sekali. Beliau dengan perkumpulan yang didirikannya “Al-Ikhwanul Muslimun,” bekerja keras siang malam menulis pidato, mengadakan pembinaan, memimpin rapat pertemuan, dll. Dakwahnya mendapat sambutan luas di kalangan umat Islam Mesir. Tercatat kaum muslimin mulai dari golongan buruh/petani, usahawan, ilmuwan, ulama, dokter mendukung dakwah beliau.
Pada masa peperangan antara Arab dan Yahudi (sekitar tahun 45-an), beliau memobilisasi mujahid-mujahid binaannya. Dari seluruh Pasukan Gabungan Arab, hanya ada satu kelompok yang sangat ditakuti Yahudi, yaitu pasukan sukarela Ikhwan. Mujahidin sukarela itu terus merangsek maju, sampai akhirnya terjadilah aib besar yang mencoreng pemerintah Mesir. Amerika Serikat, sobat kental Yahudi mengancam akan mengebom Mesir jika tidak menarik mujahidin Ikhwanul Muslimin. Maka terjadilah sebuah tragedi yang membuktikan betapa pengecutnya manusia. Ribuan mujahid Mesir ditarik ke belakang, kemudian dilucuti. Oleh siapa? Oleh pasukan pemerintah Mesir! Bahkan tidak itu saja, para mujahidin yang ikhlas ini lalu dijebloskan ke penjara-penjara militer. Bahkan beberapa waktu setelah itu Hasan al Banna, selaku pimpinan Ikhwanul Muslimin menemui syahidnya dalam sebuah peristiwa yang dirancang oleh musuh-musuh Allah.
Dakwah beliau bersifat internasional. Bahkan segera setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, Hasan al Banna segera menyatakan dukungannya. Kontak dengan tokoh ulama Indonesia pun dijalin. Tercatat M. Natsir pernah berpidato didepan rapat Ikhwanul Muslimin. (catatan : M. Natsir di kemudian hari menjadi PM Indonesia ketika RIS berubah kembali menjadi negara kesatuan).Syahidnya Hasan Al-Banna tidak berarti surutnya dakwah beliau. Sudah menjadi kehendak Allah, bahwa kapan pun dan di mana pun dakwah Islam tidak akan pernah berhenti, meskipun musuh-musuh Islam sekuat tenaga berusaha memadamkannya.Mereka ingin memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci. (Q. S. Ash-Shaff:
Masa-masa sepeninggal Hasan Al-Banna, adalah masa-masa penuh cobaan untuk umat Islam di Mesir. Banyak murid-murid beliau yang disiksa, dijebloskan ke penjara, bahkan dihukum mati, terutama ketika Mesir di perintah oleh Jamal Abdul Naseer, seorang diktator yang condong ke Sovyet. Banyak pula murid beliau yang terpaksa mengungsi ke luar negeri, bahkan ke Eropa. Pengungsian bagi mereka bukanlah suatu yang disesali. Bagi mereka di mana pun adalah bumi Allah, di mana pun adalah lahan dakwah. Para pengamat mensinyalir, dakwah Islam di Barat tidaklah terlepas dari jerih payah mereka. Demikianlah, siksaan, tekanan, pembunuhan tidak akan memadamkan cahaya Allah. Bahkan semuanya seakan-akan menjadi penyubur dakwah itu sendiri, sehingga dakwah Islam makin tersebar luas.
Di antara karya penerus perjuangan beliau yang terkenal adalah Fi Dzilaalil Qur’an (di bawah lindungan Al-Qur’an) karya Sayyid Quthb. Sebuah kitab tafsir Al-Qur’an yang sangat berbobot di jaman kontemporer ini. Ulama-ulama kita pun menjadikannya sebagai rujukan terjemahan Al-Qur’an dalam Bahasa Indonesia. Di antaranya adalah Al-Qu’an dan Terjemahannya keluaran Depag RI, kemudian Tafsir Al-Azhar karya seorang ulama Indonesia Buya Hamka. Mengenal sosok beliau akanlah terasa komplit apabila kita mengetahui prinsip dan keyakinan beliau.
Berikut ini adalah prinsip-prinsip yang senantiasa beliau pegang teguh dalam dakwahnya:Saya meyakini: “Sesungguhnya segala urusan bagi Allah. Nabi Muhammad SAW junjungan kita, penutup para Rasul yang diutus untuk seluruh umat manusia. Sesungguhnya hari pembalasan itu haq (akan datang). Al-Qur’an itu Kitabullah. Islam itu perundang-undangan yang lengkap untuk mengatur kehidupan dunia akhirat.”
Saya berjanji: “Akan mengarahkan diri saya sesuai dengan Al-Qur’an dan berpegang teguh dengan sunah suci. Saya akan mempelajari Sirah Nabi dan para sahabat yang mulia.”
Saya meyakini: “Sesungguhnya istiqomah, kemuliaan dan ilmu bagian dari sendi Islam.”
Saya berjanji: “Akan menjadi orang yang istiqomah yang menunaikan ibadah serta menjauhi segala kemunkaran. Menghiasi diri dengan akhlak-akhlak mulia dan meninggalkan akhlak-akhlak yang buruk. Memilih dan membiasakan diri dengan kebiasaan-kebiasaan islami semampu saya. Mengutamakan kekeluargaan dan kasih sayang dalam berhukum dan di pengadilan. Tidak akan pergi ke pengadilan kecuali jika terpaksa, akan selalu mengumandangkan syiar-syiar islam dan bahasanya. Berusaha menyebarkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat untuk seluruh lapisan umat ini.”Saya meyakini: “Seorang muslim dituntut untuk bekerja dan mencari nafkah, di dalam hartanya yang diusahakan itu ada haq dan wajib dikeluarkan untuk orang yang membutuhkan dan orang yang tidak punya.
Saya berjanji: “Akan berusaha untuk penghidupan saya dan berhemat untuk masa depan saya. Akan menunaikan zakat harta dan menyisihkan sebagian dari usaha itu untuk kegiatan-kegiatan kebajikan. Akan menyokong semua proyek ekonomi yang islami, dan bermanfaat serta mengutamakan hasil-hasil produksi dalam negeri dan negara Islam lainnya. Tidak akan melakukan transaksi riba dalam semua urusan dan tidak melibatkan diri dalam kemewahan yang diatas kemampuan saya.”
Saya meyakini: “Seorang muslim bertanggung jawab terhadap keluarganya, diantara kewajibannya menjaga kesehatan, aqidah dan akhlak mereka.”
Saya berjanji: “Akan bekerja untuk itu dengan segala upaya. Akan menyiarkan ajaran-ajaran islam pada seluruh keluarga saya, dengan pelajaran-pelajaran islami. Tidak akan memasukkan anak-anak saya ke sekolah yang tidak dapat menjaga aqidah dan akhlak mereka. Akan menolak seluruh media massa, buletin-buletin dan buku-buku serta tidak berhubungan dengan perkumpulan-perkumpulan yang tidak berorientasi pada ajaran Islam.”
Saya meyakini: “Di antara kewajiban seorang muslim menghidupkan kembali kejayaan Islam dengan membangkitkan bangsanya dan mengembalikan syariatnya, panji-panji islam harus menjadi panutan umat manusia. Tugas seorang muslim mendidik masyarakat dunia menurut prinsip-prinsip Islam.”
Saya berjanji: “Akan bersungguh-sungguh dalam menjalankan risalah ini selama hidupku dan mengorbankan segala yang saya miliki demi terlaksananya misi (risalah) tersebut.”
Saya meyakini: “Bahwa kaum muslim adalah umat yang satu, yang diikat dalam satu aqidah islam, bahwa islam yang memerintahkan pemelukya untuk berbuat baik (ihsan) kepada seluruh manusia.”
Saya berjanji: “Akan mengerahkan segenap upaya untuk menguatkan ikatan persaudaraan antara kaum muslimin dan mengikis perpecahan dan sengketa di antara golongan-golongan mereka.”
Saya meyakini: “Sesungguhnya rahasia kemunduran umat Islam, karena jauhnya mereka dari “dien” (agama) mereka, dan hal yang mendasar dari perbaikan itu adalah kembali kepada pengajaran Islam dan hukum-hukumnya, itu semua mungkin apabila setiap kaum muslimin bekerja untuk itu.”

Ruhollah Khomeini

Ruhollah Khomeini

Ayatollah Ruhollah Musavi Khomeini
Ruhollah Khomeini

Masa jabatan
3 Desember 1979 – 3 Juni 1989
Presiden Abolhassan Banisadr
Mohammad Ali Rajai
Ali Khamenei
Perdana Menteri Mohammad Ali Rajai
Mohammad-Javad Bahonar
Mohammad-Reza Mahdavi Kani (sementara)
Mir-Hossein Mousavi
Pendahulu (Tidak ada; jabatan pertama)
Pengganti Ali Khamenei

Lahir 24 September 1902
Khomein, Provinsi Markazi
Meninggal 3 Juni 1989 (umur 86)
Tehran, Iran
Suami/Istri Khadijeh Saqafi Khomeini
Anak Ahmad, Mostafa & lainnya; cucu: Hassan, Hussein, Ali Khomeini & Ali, Zahra, Atefeh Eshraghi
Agama Usuli Twelver Shi'a Islam

Sayyid Ayatollah Ruhollah Khomeini (lahir di Khomein, Provinsi Markazi, 24 September 1902 – meninggal di Tehran, Iran, 3 Juni 1989 pada umur 86 tahun) ialah tokoh Revolusi Iran dan merupakan Pemimpin Agung Iran pertama. Lahir di Khomeyn, Iran. Ia belajar teologi di Arak dan kemudian di kota suci Qom, di mana ia mengambil tempat tinggal permanen dan bulai membangun dasar politik untuk melawan keluarga kerajaan Iran, khususnya Shah Mohammed Reza Pahlavi. Uji utama pertamanya – dan rasa politik pertama yang sesungguhnya – tiba pada 1962 saat pemerintahan Shah berhasil mendapatkan RUU yang mencurahkan beberapa kekuasaan pada dewan provinsi dan kota. Sejumlah pengikut Islam keberatan pada perwakilan yang baru dipilih dan tak diwajibkan bersumpah pada al-Qur'an namun pada tiap teks suci yang dipilihnya. Khomeini menggunakan kemarahan ini dan mengatur pemogokan di seluruh negara yang menimbulkan penolakan pada RUU itu.

Khomeini menggunakan posisi yang kuat ini untuk menyampaikan khotbah dari Faiziyveh School yang mendakwa negara berkolusi dengan Israel dan mencoba "mendiskreditkan al-Qur-an." Penangkapannya yang tak terelakkan oleh polisi rahasia Iran, SAVAK, memancing kerusuhan besar-besaran dan reaksi kekerasan yang biasa oleh pihak keamanan yang mengakibatkan kematian ribuan orang.

Khomeini terus susah selama tahun-tahun berikutnya dan pada peringatan pertama kerusuhan pasukan Shah bergerak ke kota Qom, menahan Imam sebelum mengirimnya ke pembuangan di Turki. Ia tinggal sebentar di sana selama sebelum pindah ke Irak di mana melanjutkan pergolakan untuk jatuhnya rezim Shah. Pada 1978 pemerintahan Shah meminta Irak untuk mengusirnya dari Najaf, lalu ia menuju Paris selama sementara profilnya berkembang sebagai refleksi langsung kejatuhan Shah. Peringatan menggelikan yang terkemudian di Persepolis mulai grate dengan orang banyak dan menyusul rangkaian kekacauan keluarga Shah meninggalkan negeri pada Februari 1979, meratakan jalan untuk kembalinya Khomeini dan 'Permulaan Revolusi Islamnya'. Disambut ratusan ribu rakyatnya di bandara dan ribuan lebih lanjut yang berjajar sepanjang jalan kembali ke Teheran. Ayatollah sudah sepantasnya memandang Iran sebagaimana dirinya, dan Khomeinipun menjadi pemimpin spiritual. Teheran menjadi kursi kekuatan, jauh dari jantung kota Qom.

Pada 1981 Irak menyerang Iran. Perang itu berlangsung 8 tahun penuh yang menghancurkan hidup jutaan muslimin pada kedua sisi tanpa keuntungannya pada tiap yang bertempur.

Khomeini meninggal di Teheran pada 3 Juni 1989.

"MAJELIS RASULULLAH SAW"

"MAJELIS RASULULLAH SAW"









"PERADABAN BARU ISLAM (FITRAH MANUSIA)"

Seaching Blog